BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, umat Islam apabila menghadapi suatu
persoalan langsung menanyakan kepada Rasulullah, dan Rasul-lah yang langsung
memberikan jawaban, terkadang dengan al-Qur’an yang turun berkenaan dengan
masalah tersebut (sebagai jawaban), dan terkadang dengan sunnah Rasulullah
dengan ketiga bentuknya yakni secara qauli (perkataan), fi’li
(perbuatan), dan taqriri (ketetapan). Adakalanya pula Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menunda masalah itu atau menunggu hingga turunnya wahyu.
Namun, semuanya berubah setelah Rasulullah Muhammad SAW meninggal
dunia dan mengakibatkan terputusnya wahyu, sehingga para sahabat dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang memerlukan penjelasan hukumnya, menempuh
jalan sebagai berikut: mencari ketentuan hukumnya dalam al-Qur’an, mencari
ketentuan hukumnya dalam Sunnah Rasul Allah, dan memusyawarahkan masalah itu,
di mana Khalifah mengundang para tokoh sahabat untuk dimintai pendapatnya
tentang hukum masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, sumber hukum pada masa
sahabat adalah sebagai berikut: al-Qur’an), sunnah Rasulullah, dan
al-Ijtihad serta al-Ra’yu.
Pada masa Mujtahidin, sumber-sumber hukum Islam bertambah
sesuai perkembangan dan kebutuhan zaman, yang penambahan ini pada hakikatnya
bukanlah sesuatu yang baru (bid’ah), melainkan sebagai pengembangan
dan penjabaran secara lebih konkrit dari sumber hukum ketiga, yaitu al-Ijtihad
wa al-Ra’yu yang telah diratifikasi oleh al-Qur’an, al-Sunnah dan atsar sahabat. Sumber-sumber hukum
yang bersifat ijtihadi ini dijadikan dasar dan pedoman oleh para Imam
Mujtahidin dan madzhabnya masing-masing. Dengan demikian jelaslah, bahwa
sumber-sumber hukum bagi semua madzhab ada yang sama dan ada yang berbeda. Yang
sama bahwa semua madzhab berdasarkan pada al-Qur’an, Sunnah Rasul, al-Qiyas dan
Ijma’.
Semua kembali berubah setelah para imam madzhab telah meninggalkan
dunia (wafat). Di mana umat Islam terus menemui permalasahan-permasalahan baru
yang dibutuhkan jawaban hukumnya. Oleh karenanya, muncullah al-masa`il
al-fiqhiyyah, yaitu problem-problem hukum Islam baru al-waqi’iyyah
(faktual) dan dipertanyakan oleh umat jawaban hukumnya karena secara eksplisit
permasalahan tersebut tidak tertuang di dalam sumber-sumber hukum Islam.
Dari paparan tersebut, terdapat tiga istilah penting dalam membahas
tentang hukum Islam, yakni ushul fiqh, fiqh dan masail fiqhiyyah. Untuk itulah
makalah ini akan dibahas tentang konsep dasar ushul fiqh, fiqh, dan masail
fiqhiyyah serta perbedaan dari ketiganya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
konsep dasar Fiqih?
2. Bagaimana
konsep dasar Ushul Fiqih?
3. Bagaimana
konsep dasar Masail Fiqhiyah?
4. Apa
perbedaan Fiqih, Ushul Fiqih, dan Masail Fiqihiyah?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan
penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk
menjelaskan konsep dasar Fiqih.
2. Untuk
menjelaskan konsep dasar Ushul Fiqih.
3. Untuk
menjelaskan konsep dasar Masail Fiqhiyah.
4. Untuk
mengetahui perbedaan antara Fiqih, Ushul Fiqih, dan Masail Fiqihiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Fiqih
1.
Pengertian ilmu fiqih
Kata fiqih secara arti berarti: “paham
yang mendalam”. Bila “paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat
lahiriah, maka fiqih berarti paham yang menyampaikan ilmu zhahir kepada ilmu
batin. Karena itulah al-Tirmizi menyebutkan “Fiqh tentang sesuatu” berarti
mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya.
Dalam definisi ini fiqh diibaratkan
dengan ilmu karena fiqh itu semacam ilmu pengetahuan. Memang fiqh itu tidak
sama dengan ilmu karena fiqh itu bersifat zanni,
karena ia adalah hasil ijtihadnya para mujtahid, sedangkan ilmu itu mengandung
arti suatu yang pasti atau qathi’y.
Namun karena zhann dalam fiqh itu
kuat, maka ia mendekat kepada ilmu, karenanya dalam definisi ini ilmu digunakan
juga untuk fiqh.
Ilmu Fiqh secara umum merupakan suatu
kumpulan ilmu yang sangat besar gelanggang pembahasannya, yang mengumpulkan
berbagai jenis Hukum Islam dan bermacam rupa aturan hidup, untuk keperluan
seseorang, segolongan dan semasyarakat dan seumum manusia.[1]
Fiqh menurut bahasa berarti: paham atau
pengertian yang mendalam, tentang maksud dan tujuan suatu perkataan dan
perbuatan, bukan hanya sekedar mengetahui lahiriyah perkataan atau perbuatan
itu. Pengertian Fiqh menurut istilah Ulama Syar’i (ahli hukum Islam), tidak
jauh berbeda dari pengertian lughowi (bahasa). Hanya saja pengertian istilah
ini, lebih terarah kepada pengertian khusus, dari pada umum, sehingga tidak
terjadi iltibas (tumpang tindih). Jelas bahwa yang dimaksud dengan ilmu fiqih
adalah pengetahuan yang mendalam tentang semua yang menyangkut hukum ajaran
agama, baik yang menyangkut keimanan yang menyangkut perbuatan.
Untuk lebih jelasnya tentang definisi
fiqih secara terminologi dapat dikemukakan pendapat para ahli fiqih terdahulu,
yaitu :
اَلْعِلْمُ
بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبَةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا
التَّفْصِيْلِيَّةِ.
Artinya
:
“Ilmu tentang hukum
syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diperoleh melalui
dalil-dalilnya yang terperinci.”
Sementara
itu, ulama lain mengemukakan bahwa fiqih adalah :
مَجْمُوْعَةُ
الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَةِ الْمُكْتَسَبَةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا
التَّفْصِيْلِيَّةِ.
Artinya
:
“Himpunan hukum syara’
tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diambil dari dali-dalilnya yang
terperinci.”
Definisi pertama menunjukkan bahwa fiqih
dipandang sebagai ilmu yang berusaha menjelaskan hukum. Sedangkan definisi
kedua menunjukkan fiqih dipandang sebagai hukum. Hal ini terjadi karena adanya
kemiripan antara fiqih sebagai ilmu dan fiqih sebagai hukum. Ketika fiqih
didefinisikan sebagai ilmu, diungkapkan secara deskriptif. Manakala
didefinisikan sebagai hukum dinyatakan secara deskriptif.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa
objek kajian fiqih ialah hukum perbuatan mukallaf, yakni halal, haram, wajib,
mandub, makruh, dan mubah beserta dalil-dalil yang mendasari ketentuan hukum
tersebut.
Dengan menganalisa beberapa definisi di atas dapat dirumuskan hakikat
dari fiqh itu sebagai berikut:
a.
Fiqh itu adalah ilmu tentang hukum
Allah.
b.
Yang dibicarakan adalah hal-hal
yang bersifat amaliyah furu’iyah.
c.
Pengertian tentang hukum Allah itu
didasarkan kepada dalil tafsili.
d.
Fiqh itu digali dan ditemukan
melalui penalaran dan istidlal seorang mujtahid atau faqih.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa fiqh itu adalah
“dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum
Allah”.
2.
Sumber-sumber hukum
Fiqih
Dengan memahamkan keterangan-keterangan
yang telah lalu ini nyatalah, bahwa: fiqih (yang diartikan menurut istilah ahli
Ushl) diambil atau dikeluarkan dengan jalan ijtihad dan sumber-sumbernya yaitu:
Kitabullah (Al-Qur’anul Kariem), Sunatur Rasul (Al hadist), serta
ditetapkan pula dengan Al ijma’ dan Ar ra’yu = al ijtihad.[2]
3.
Pembahasan-pembahasan fiqih.
Pokok
bahasan ilmu fiqih ialah Segala macam amal perbuatan orang-orang “mukallaf”,
baik yang berupa tuntunan pemerintah, seperti: shalat, puasa, zakat, haji dan
sebagainya: maupun yang berupa larangan seperti: pembunuhuhan, pencurian,
penipuan, tuduhan dan sebagainya. Demikian pula yang berupa takhyir (pilihan),
antara dua sesuatu, seperti: makan dan minum, berjalan, tidur, dan sebagainya.
Takhyir ini semuanya biasa disebut dengan “mubah” dikerjakan atau tidak oleh
seorang mukallaf, sama saja.[3]
4.
Masalah-masalah fiqih
Masalah-maslah
fiqih menurut Ahli Ushul ialah ketetapan-ketetapan dan keterangan-keterangan
fiqih. Sepert: niat itu wajib, wudhu’ itu syarat bagi shah sembahyang, dan
masuk waktu, adalah sebab bagi wajib sembahyang.[4]
5.
Keutamaan fiqih
Keutamaan
ilmu ini dapat diketahui dengan memahamkan hadits yang tertera di dalam
muqqadimah yakni: mengetahui sebagian
besar dan ilmu (hukum-hukum furu’) yang dikehendaki oleh agama. Tegasnya,
mengetahui jalan mendapat keselamatan dunia dan kemenangan akhirat.[5]
6.
Ruang lingkup pembahasan ilmu fiqih
Salah
satu kesimpulan dari pembahasan tentang ta’rif Ilmu Fiqih di atas ialah, bahwa
ruang lingkup pembahasan Ilmu Fiqih pada garis besarnya meliputi dua bidang
yang pokok yaitu pertama bidang ibadah atau hukum-hukum syari’ah yang
berhubungan dengan urusan akhirat, dan kedua bidang hukum-hukum syari’at
yang berhubungan dengan urusan dunia.[6]
Bidang
yang kedua yaitu, hukum-hukum yang berhubungan dengan urusan dunia dibagi
menjadi beberapa bagian yang terpenting dan yang umum ialah dibagi menjadi tiga
yaitu: bagian Mu’amalah, bagian Munakahah, dan bagian Jinayah. Sehingga pada
umumnya kandungan dari kitab-kitab fiqih secara garis besar terdiri dari 4
bagian, yaitu:
a.
Bagian Ibadah
Bagian
Ibadah, yaitu hukum-hukum syara’ yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,
yang jua dikatakan sebagai hukum-hukum yang bersangkutan dengan urusan akhirat,
seperti: Thoharoh, sholat, zakat, puasa, hajji, dan sebagainya.
b.
Bagian Mu’amalah
Bagian
Mu’amalah khusus membahas soal kebendaaan dan sol-soal yang bersangkutan dengan
kebendaan, seperti: hukum perkawinan, mislanya jual beli, sewa menyewa,
mudhorobah/qirodl (bagi untung), muzaro’ah (bagi hasil), salam, syuf’ah, hibah,
kafalah, dan sebagainya.
c.
Bagian Munakahah
Bagian
Munakahah meliputi aturan-aturan hukum nikah dan talak, seperti iddah, nasab
(keturunan), nafkah, pemeliharaan anak, perwalian, wasiat, waris dan
sebagainya.
d.
Bagian Jinayah
Bagian
Jinayah (hukum pidana) membahas soal-soal perbuatan pidana atau kejahatan,
seperti, pembunuhan pecurian, zina, minum-minuman keras menuduh zina dan
lain-lain.
7.
Tujuan dan hukum mempelajari ilmu fiqih
Dalam
uraian di atas telah dijelaskan bahwa Ilmu Fiqih adalah bagian dari Ilmu
syari’ah, yaitu bagian yang menyangkut bidang hukum yang berkaitan urusan
ibadah, Mua’malah, Munakahah, Jinayah, dll. Sedangkatkan syari’ah adalah
merupakan hukum-hukum atau ketentuan-ketentuan dari Allah yang diberikan kepada
Kaum Muslimin agar di ikuti dan dijadikan pedoman dalam kehidupan pribadinya
maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan
demikian dapat kita ketahui, bahwa mempelajari Ilmu fiqih adalah agar dapat
mengetahui mana yang diperintahkan atau mana yang dilarang mengerjakannya, mana
yang halal dan mana yang haram untuk dilakukannya, mana yang sah dan mana yang
batal atau fasid dari perbuatan yang telah dilakukannya. Juga dengan Ilmu fiqih
dapat diketahui aturan-aturan hidup yang penting, seperti masalah nikah, talak,
rujuk, masalah pemeliharaan jiwa, harta benda, keturuna,masalah kehormatan,
masalah hak dan kewajiban dalam masyarakat dan lain-lain. Di samping yang
berkaitan dengan hubungan langsung antara manusia dengan Allah SWT.
Adapun
hukum mempelajarinya, dapat dibedakan menjadi dua bagian, menurut kepentingan
bagi masing-masing orang mukallaf dari seluruh umat Islam. Bagian yang wajib
dipelajari oleh seluruh umat Islam ialah bagian yang harus diketahui dan
dikerjakan oleh seluruh mukallaf seperti urusan sholat, puasa, hak dan
kewajiban, suami istri dan sebagainya. Sedangkan yang tidak wajib diketahui
oleh seluruh umat, tetapi hanya wajib bagi sebagian umat, maka kewajiban
mempelajarinya hanya terbatas pada segolongan tertentu saja, seperti yang
menangkut urusan fasah, rujuk, aturan menjadi qadli atau imam dan sebagainya.[7]
B. Konsep Ushul Fiqih
1. Pengertian
ushul fiqih
Untuk mengetahui makna dari kata Ushul
Fiqih dapat dilihat dari dua aspek: Ushul Fiqih kata majemuk (murakkab), dan
Ushul Fiqih sebagai istilah ilmiah.
Dari aspek pertama, Ushul Fiqih berasal
dari dua kata, yaitu kata ushul bentuk jamak dari ashl dan kata fiqih, yang
masing-masing memiliki pengertian yang luas. Ashl secara etimologi diartikan
sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah, ashl mempunyai
beberapa arti berikut ini :
a.
Dalil, yakni landasan
hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqih bahwa ashl dari wajibnya
shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul.
b.
Qa’idah, yaitu dasar
atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW:
بُنِيَ
الْاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسَةِ أُصُوْلٍ.
Artinya
:
“Islam itu didirikan
atas lima ushul (dasar atau fondasi)”.
c.
Rajih, yaitu yang
terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih:
اَلْأَصْلُ
فِى الْكَلاَمِ الْحَقِيْقَةُ.
Artinya
:
“Yang
terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.
Maksudnya
yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan
tersebut.
d.
Mustashhab, yakni
memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang
mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan
haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus
dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap
terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan
perkawinannya dianggap tetap.
e.
Far’u (cabang), seperti
perkataan ulama ushul :
اَلْوَلَدُ
فَرْعٌ لِلْأَبِ.
Artinya
:
“Anak
adalah cabang dari ayah”. (Al-Ghazali, I : 5)
Dari kelima pengertian ashl di atas,
yang bisa digunakan adalah dalil, yakni dalil-dalil fiqih.
Adapun fiqih, secara etimologi berarti
pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian tersebut
dapat ditemukan dalam al-Quran, yakni dalam surat Thaha (20): 27-28, An-Nisa
(4): 78, Hud (11): 91. Dan terdapat pula dalam hadits, seperti sabda Rasulullah
SAW :
مَنْ
يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ.
Artinya
:
“Apabila Allah
menginginkan kebaikan bagi seseorang. Dia akan memberikan pemahaman agama (yang
mendalam) kepadanya.” (HR. Al-Bukhari,
Muslim, Ahmad Ibnu Hanbal, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Adapun pengertian fiqih secara
terminologi, pada mulanya diartikan sebagai pengetahuan keagamaan yang mencakup
seluruh ajaran agama, baik berupa akidah (ushuliah) maupun amaliah (furu’ah).
Ini berarti fiqih sama dengan pengertian syari’ah Islamiyah. Pada perkembangan
selanjutnya, fiqih merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan
tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang
telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci.
Setelah dijelaskan pengertian ushul dan
fiqh, baik menurut bahasa maupun istilah maka di sini dikemukakan pengertian
Ushul Fiqih yang menjadi pokok bahasan pada bab ini. Para ahli hukum Islam,
dalam memberikan definisi Ushul Fiqih, beraneka ragam, ada yang menekankan pada
fungsi Ushul Fiqih itu sendiri, dan ada pula yang menekankan pada hakikatnya.
Namun, pada prinsipnya sama, yaitu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum
syara’ secara global dengan semua seluk beluknya.
Menurut Al-Baidhawi dari kalangan ulama
Syafi’iyah (juz I: 16) bahwa yang dimaksud dengan Ushul Fiqh itu adalah :
مَعْرِفَةُ
دَلاَئِلِ الْفِقْهِ اِجْمَالاً وَكَيْفِيَّةُ الْإِسْتِفَادَةِ مِنْهَا وَحَالُ
الْمُسْتَفِيْدِ.
Artinya
:
“Ilmu pengetahuan
tentang dalil fiqih secara global, metode penggunaan dalil tersebut, dan
keadaan (persyaratan) orang yang menggunakannya.”
Selain
itu, Ibnu Al-Subki (juz I: 25) mendefinisikan Ushul Fiqih sebagai :
دَلاَئِلُ
الْفِقْهِ اِجْمَالاً.
Artinya
:
“Himpunan dalil fiqih secara global.”
Jumhur
ulama Ushul Fiqih mendefinisikannya sebagai berikut :
اَلْقَوَاعِدُ
الَّتِىْ يَتَوَصَّلُ بِهَا اسْتِنْبَاطِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ مِنَ
الْأَدِلَّةِ.
Artinya
:
“Himpunan kaidah
(norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari
dalil-dalilnya.”
Pendapat ini dikemukakan oleh Syaikh
Muhammad Al-Khudhary Beik, seorang guru besar Universitas Al-Azhar Kairo.
Adapun Kamaluddin Ibnu Humam dari kalangan ulama Hanafiyah mendefinisikan Ushul
Fiqih sebagai:
اِدْرَاكُ
الْقَوَاعِدِ الَّتِىْ يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى اسْتِنْبَاطِ الْفِقْهِ.
Artinya
:
“Pengetahuan tentang
kaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian fiqih.”
Sementara itu, Abdul Wahab Khalaf,
seorang guru besar hukum di Universitas Kairo Mesir menyatakan :
اَلْعِلْمُ
بِالْقَوَاعِدِ وَالْبُحُوْثِ الَّتِىْ يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى اسْتِفَادَةِ
الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا
التَّفْصِيْلِيَّةِ. أَوْ مَجْمُوْعَةُ الْقَوَاعِدِ وَالْبُحُوْثِ الَّتِىْ
يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى اسْتِفَادَةِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ
مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ.
Artinya
:
“Ilmu pengetahuan
tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum-hukum syara’ mengenai
perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan
kaidah-kaidah dan metode penelitian hukum syara’ mengenai perbuatan manusia
(amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci.”
Dari pengertian Ushul Fiqih di atas,
terdapat penekanan yang berbeda. Menurut ulama Syafi’iyah, objek kajian para
ulama ushul adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global); bagaimana cara
mengistinbath hukum; syarat orang yang menggali hukum atau syarat-syarat
seorang mujtahid. Hal itu berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh jumhur
ulama. Mereka menekankan pada operasional atau fungsi Ushul Fiqih itu sendiri,
yaitu bagaimana menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih dalam menggali hukum
syara’.
Dengan demikian Ushul Fiqih adalah ilmu
pengetahuan yang objeknya adalah dalil hukum atau sumber hukum dengan semua
seluk beluknya, dan metode penggaliannya. Metode tersebut harus ditempuh oleh
ahli hukum Islam dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Seluk beluk
tersebut antara lain menertibkan dalil-dalil dan menilai kekuatan dalil-dalil
tersebut.
Pada masa kini istinbath hukum yang
lebih relevan adalah istinbath dengan maksud syariah (ruh hukum), bahkan
cenderung menggunakan kaidah fiqhiyah seperti yang dilakukan oleh para perumus
kompilasi hukum Islam di Indonesia. Dalam merumuskannya, tampaknya mereka
mengacu pada kaidah-kaidah fiqhiyah yang dijadikan suatu kerang teori.
2.
Objek kajian Ushul Fiqih
Dari definisi Ushul Fiqih di atas,
terlihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian Ushul Fiqih secara garis
besarnya ada tiga :
a. Sumber
hukum dengan semua seluk beluknya.
b. Metode
pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya.
c. Persyaratan
orang yang berwewenang melakukan istinbath dengan semua permasalahannya.
Sementara itu, Muhammad Al-Juhaili
merinci objek kajian Ushul Fiqih sebagai berikut :
a. Sumber-sumber
hukum syara’, baik yang disepakati seperti Al-Quran dan Sunah, maupun yang
diperselisihkan, seperti istihsan dan maslahah mursalah.
b. Pembahasan
tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan
ijtihad.
c. Mencarikan
jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir, ayat dengan ayat
atau sunah dengan sunah, dan lain-lain baik dengan jalan pengompromian
(Al-jam’u’ wa At-taufiq), menguatkan salah satu (tarjih), pengguguran salah
satu atau kedua dalil yang bertentangan (nasakh / tatsaqut Ad-dalilain).
d. Pembahasan
hukum syara’ yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat
tuntutan, larangan, pilihan atau keringanan (rukhsah). Juga dibahas tentang
hukum, hakim, mahkum alaih (orang yang dibebani), dan lain-lain.
e. Pembahasan
kaidah-kaidah yang akan digunakan dalam mengistinbath hukum dan cara
menggunakannya.
3.
Tujuan dan fungsi Ushul
Fiqih
Para ulama ushul menyepakati bahwa Ushul
Fiqih merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah
sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, baik yang berkaitan
dengan masalah aqidah, ibadah, mu’amalah, ‘uqubah, maupun akhlak. Dengan kata
lain, Ushul Fiqih bukanlah sebagai tujuan melainkan hanya sebagai sarana.
Oleh karena itu, secara rinci Ushul Fiqih
berfungsi sebagai berikut:
a.
Memberikan pengertian
dasar tentang kaidah-kaidah dan metodologi para ulama mujtahid dalam menggali
hukum.
b. Menggambarkan
persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid, agar mampu menggali hukum
syara’ secara tepat, sedangkan bagi orang awam supaya lebih mantap dalam
mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid setelah mengetahui cara
yang mereka gunakan untuk berijtihad.
c. Memberi
bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan oleh
para mujtahid, sehingga dapat memecahkan berbagai persoalan baru.
d. Memelihara
agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil. Dengan berpedoman pada Ushul
Fiqih, hukum yang dihasilkan melalui ijtihad tetap diakui syara’.
e. Menyusun
kaidah-kaidah umum (asas hukum) yang dapat dipakai untuk menetapkan berbagai
persoalan dan fenomena sosial yang terus berkembang di masyarakat.
f. Mengetahui
keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka
gunakan. Dengan demikian, para peminat hukum Islam (yang belum mampu
berijtihad) dapat memilih pendapat mereka yang terkuat disertai alasan-alasan
yang tepat.
4.
Sumber pengambilan
Ushul Fiqih
Dari definisi (pengertian) Ushul Fiqih
di atas, dapat disimpulkan bahwa sumber pengambilan Ushul Fiqih itu berasal
dari :
a. Ilmu
Kalam (theologi)
b. Ilmu
Bahasa Arab
c. Tujuan
syara’ (maqashid Asy-Syari’ah)
Hal itu disebabkan bahwa sumber hukum
(dalil hukum) yang merupakan objek bahasan Ushul Fiqih diyakini dari Allah SWT
berbentuk Al-Quran dan Sunah. Pembuat hukum adalah Allah, tiada hukum lain
kecuali dari Allah SWT. Hal tersebut merupakan bahasan Ilmu Kalam.
Ushul Fiqih juga membahas dalalah
lafadz. Penggunaan lafadz, ruang lingkup lafadz, seperti ‘amm dan khash, dan
sebagainya. Ini berarti berkaitan dengan ilmu bahasa Arab. Selanjutnya,
pengetahuan hukum tidak terlepas dari tujuan hukum (maqashid Asy-Syariah) dan
hakikat hukum. Pengetahuan tentang ini diperlukan agar mampu menetapkan hukum
yang tepat dan mengandung kemaslahatan.[8]
C. Konsep Masail Fiqhiyyah
1.
Pengertian masail fiqhiyyah
Masail
merupakan jama’ taksir dalam bahasa arab dari kata masalah yang artinya perkara
(persoalan).[9]
Badudu
dan Moch Zain menyebut masalah dengan persoalan, problema dan perkara. Fiqhiyah
yang artinya pemahaman yang mendalam tentang hukum-hukum islam. Jadi rangkaian
kata Masail Fiqhiyah, berarti persoalan hukum islam yang selalu dihadapi oleh
umat islam, sehingga mereka beraktifitas dalam kehidupan sehari-hari, selalu
bersikap dan berperilaku sesuai dengan tuntutan islam.
Kajian
masail fiqhiyah, sering tidak hanya membahas persoalan filth (hukum islam),
tetapi sering juga membahas persoalan aqidah (kepercayaan) dan persoalan akhlak
(moral), maka disebut juga dengan masail al-diniyyah al-hadisah, masailul
al-diniyah al-‘asriyyah dan masailul al-diniyyah al-waqi ‘iyyah.[10]
Ormas
Nadhatul Ulama (NU), lebih suka menyebut dengan Bahsul al-Masail (pembahasan masalah keagamaan), yang kegiatan ini
ditangani oleh suatu lajnah (lembaga) di bawah kepengurusan NU, yang menangani bahsul masail al-diniyyah al-waqi‘iyyah
(pengkajian massalah keagamaan yang aktual) dan bahsul masail al-diniyyah al-maudu ‘iyyah (pengkajian maasalah
keagamaan yang konseptual).[11]
2.
Metode kajian masail
fiqhiyah
Masalah
keagamaan yang aktual (baru), lebih banyak menggunakan metode ijtihad dari pada
metode istimbat. Metode ijtihad yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah
masalah-masalah yang tidak ada ketentuannya dalam nash, sedangkan dihadapi dan
dilakukan oleh umat manusia, karena sangat dibutuhkan dalam kelangsungan
hidupnya. Tetapi metode istimbat adalah upaya maksimal untuk menarik suatu
ketentuan hukum dari nash yang ada, baik nash al-Qur’an atau Hadist.
Tempatnya
pembahasan Masail Fiqhyyah lebih banyak menggunakan metode ijtihad, karena
kebanyakan masalahnya tidak ditemukan ketentuannya dalam nash.
Sebenarnya
produk fiqh klasik banyak juga bersumber dari produk penalaran intelektual
(upaya rasionalisasi para ulama) berdasarkan logika keilmuan. Bahkan imam
syafi’i sendiri sering menggunakan metode ijtihad dengan cara menggunakan
instrumen istiqra’ ( riset atau penelitian) dalam menentukan suatu ketetapan hukum,
misalnya: ketika menentukan asa haid seorang wanita serta menentukan 1 ramadhan
dan 1 syawal.
Dalam
menentukan hukum berdasarkan hasil ijtihad (penalaran rasional) ada beberapa
rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar antara lain:[12]
a.
Tidak boleh merusak ketentuan
dasar yang berkaitan dengan aqidah (kepercayaan Islam)
b.
Tidak boleh mengurangi
atau menghilangkan martabat manusia, lalu disamakan dengan martabat hewan.
c.
Tidak boleh
mendahulukan kepentingan kepentingan perorangan atas kepentingan umum.
d.
Tidak boleh
mengutamakan hal-hal yang masih samar-samar kemanfaatnya atas hal-hal yang
sudah nyata kemanfaatnya.
e.
Tidak boleh melanggar
keutamaan dasar akhlakul alkarimah (moralitas manusia).
Abdul
al-Qadir Ahmad ‘Ata mengatakan, pembahasan masalah aktual yang tidak ada
nashnya, sekurang-kurangnya ada tiga macam cara yang harus dilakukan ketika
menentukan hukumnya dengan menggunakan metode ijtihad, antara lain:
a.
Harus selalu menjaga
dasar-dasar aqidah Islam: yaitu tidak boleh ada produk hukum yang dapat
melemahkan atau merusaknya, sehingga dapat menggantikan dengan kepercayaan yang
musyrik atau ateis.
(ان
تتاْصل فئ وجدان المسلم تكوينه عقد ة الاسلام)
Artinya:
“Produk hukum itu harus meneguhkan hati orang
muslim, agar kepercayaan islamnya tetap kuat dalam dirinya”.[13]
b.
Hukum menghindari dan
menolak perbuatan sesak yang pernah dilakukan oleh ahlu al-kitab atau
orang-orang musyrik.
Ini
didasarkan turunya ayat 222 dari surat al-Baqarah yang melarang mengumpuli
istri tatkala haid. Yaitu ketika ada beberapa sahabat yang bertanya kepada nabi
dengan mengatakan, yang artinya:
“Hai
rasulullah, apakah tidak boleh mengumpuli istri kami karena (harus) kami
berbeda sikap dengan (perbuatan) orang yahudi? Ketika itu, wajah Rasulullah
berubah menjadi pucat, maka turunlah ayat al-qur’an yang melarang perbuatan
tersebut. (mendengar larangan pada ayat yang telah turun), sehingga orang
yahudi terkejud dan ketakutan, hingga mereka saling memberi tahu (berita
tersebut)”.
c.
Harus selalu
mengutamakan kehidupan yang bermoral,
“Menciptakan
orang muslim yang dalam kehidupannya selalu mengutamakan kehidupan yang
bermoral”.[14]
Yusuf
Qardawi menambahkan satu lagi ketentuan yang harus dijadikan dasar pertimbngan
ketika metode ijtihad dilakukan dalam menentukan suatu hukum, yaitu selalu
mencari kemudahan dari kesulitan yang dialami manusia ketik hukum tersebut
diterapkan. Hal ini berdasarkan sebuah hadist bersumber dari Anas yang
mengatakan, yang artinya:
“Permudahlah
dan jangan mempersulit, serta hiburlah dan jangan menjauhi”. (HR. Bukhara
Muslim)
3.
Tujuan dan manfaat
masail fiqhyah
Untuk
itu tujuan mempelajari masail fiqhiyah secara garis besar diorientasikan kepada
mengetahui jawaban dan mengetahiui proses penyelesaian masalah melalui
metodologi ilmiah, sistematis dan analisis. Dari sudut fiqh penyelesaian suatu
masalah dikembalikan kepada sumber pokok (Al-Qur’an dan Al-Sunnah), ijma’,
qiyas dan seterusnya.
a.
Tujuan mempelajari
masailul fiqh
1)
Untuk beribadah
2)
Untuk mengetahui dan
mengidentifikasi masalah-masalah fiqh yang berkembang ditengah masyarakat
3)
Untuk mengkaji dan
merumuskan persoalan-persoalan atau permasalahan yang bersifat amaliyah.[15]
b.
Manfaat mempelajari
masailul fiqh
1)
Menambah wawasan bagi
intelektual dalam menyelesaikan suatu permasalahan fiqh kontemporer
2)
Menjawab persoalan
siswa
3)
Menjawab pertanyaan
masyarakat.[16]
D. Perbedaan Fiqih, Ushul Fiqih, dan Masail
Fiqhiyyah
Pada pembahasan sebelumnya, telah dipaparkan tentang konsep ushul fiqih,
fiqih, dan masail fiqhiyyah. Sedangkan di bawah ini adalah perbedaan ushul
fiqih, fiqih, dan masail fiqih yang disajikan dalam bentuk tabel agar
mempermudah pemahaman tentang perbedaan ketiganya.
No
|
Disiplin Ilmu
|
Fiqih
|
Ushul Fiqih
|
Masail Fiqhiyyah
|
1
|
Definisi
|
Ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan
perbuatan manusia (mukallaf) yang diambil/diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terinci.
(diperoleh hukum dari dalil).
|
Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode
penggalian hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari
dalil-dalil yang terperinci (dalail & kaidah dapat digunakan untuk
menetapkan hukum).
|
Berarti persoalan hukum islam yang selalu dihadapi
oleh umat islam, sehingga mereka beraktifitas dalam kehidupan sehari-hari,
selalu bersikap dan berperilaku sesuai dengan tuntutan Islam.
|
2
|
Objek kajian
|
Hukum perbuatan mukallaf (muslim/muslimahyang sudah baligh) yakni
halal,haram wajib, mandub, makruh dan mubah serta dalil-dalil yang mendasari
ketentuan hukum tersebut.
|
·
Materia: berupa teks/
dalil-dalil
·
Forma: kaidah ushul.
|
·
Masalah keagamaan
yang aktual (baru) yang meliputi: hukum islam, persoalan aqidah (kepercayaan)
dan persoalan akhlak (moral).
|
3
|
Metode
|
·
Istinbath
·
Melalui dalil
spesifik (dalil rujukan)
·
Menggunakan
kaidah-kaidah pencetusan hukum dan metode pengambilan dalil yang terdapat
dalam ilmu Ushul Fiqh.
|
Manhaj:
·
Ijtihad
·
Aspek ushul
fiqh(‘urf/a’dah,syadzu zari’ah,mashlahah mursalah,istihsan,istishab,dan
lain-lain).
|
·
Ijtihad
·
Istimbat
|
4
|
Sumber
|
Al-Qur’an dan Hadits
|
Al-Qur’an dan Hadits
|
Al-Qur’an dan Hadits
|
5
|
Tujuan
|
Menerapkan hukum syariat Islam atas semua tindakan dan ucapan manusia,
sehingga ia merupakan rujukan.
|
·
Menetapkan hukum
·
Dijadikan sebagai
acuan norma.
|
Mengidentifikasi
masalah-masalah fiqih yang berkembang di tengah masyarakat.
|
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari parapan pada pembahasan sebelumnya,
maka dapat disimpulkan bahwa dalam kajian hukum Islam terdapat istilah Fiqih, Ushul
Fiqih, dan Masail Fiqhiyah. Ketiga istilah tersebut memiliki perbedaan walaupun
sama berada dalam ruang lingkup hukum Islam. Fiqih merupakan ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan
perbuatan manusia (mukallaf) yang diambil/diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terinci
(diperoleh hukum dari dalil).
Dalam pengambilan hukum, diperlukan
adanya kaidah-kaidah serta metode-metode yang dapat dijadikan pengambilan hukum
tersebut. Ushul Fiqih berkaitan dengan ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah
dan metode penggalian hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah)
dari dalil-dalil yang terperinci (dalail & kaidah dapat digunakan untuk
menetapkan hukum).
Namun, seiring dengan perkembangan zaman
yang menyebabkan muncul problematika yang semakin kompleks dalam masyarakat dan
hal tersebut memerlukan keputusan (penjelasan) mengenai hukumnya, muncul Masail
Fiqhiyah. Masail Fiqhiyah berarti persoalan hukum Islam yang selalu dihadapi
oleh umat islam, sehingga mereka beraktifitas dalam kehidupan sehari-hari,
selalu bersikap dan berperilaku sesuai dengan tuntutan Islam.
Fiqh, Ushul Fiqih, dan Masail Fiqhiyah
memiliki persamaan karena ketiganya termasuk dalam kajian hukum Islam dan
memiliki sumber pokok dalam pengambilan hukumnya yakni al-Qur’an dan Hadits.
Sedangan perbedaan Fiqih, Ushul Fiqih, dan Masail Fiqhiyah terletak pada
definisi, objek kajian, metode, dan tujuan.
[1] Hasbi As-Shiddeqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1957), hlm. 22
[2] Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 36
[3] Muhammadiyah, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta, 1993),
hlm. 5
[4] Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 39
[5] Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 38
[6] Abdul Mudjib, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta,1982),
hlm. 17
[7] Ibid., hlm. 20
[8] Rahmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 17-25
[9] Mahmud Yusuf, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan
Penyelenggaraan, Penerjeman dan Penafsiran al-Qur’an), hlm. 161
[10] Mahjuddin, Masailil Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2008), hlm. 1
[11] Ahmad Zahro, Lajnah
Bahsul Masail Madhatul Ulama, 1926-1996 (disertasi doktor), IAIN Sunan Kalijogo
Yogyakarta, 2001, hal xiii
[12] Ibid., hlm. 3-5
[13] Mahjuddin, Op. Cit., hlm. 2
[14] Ibid., hlm. 3
[15] http://srirahmadhena.wordpress.com/2010/02/09/pengantar-masailul-fiqh/
(diakses Kamis, 6 Oktober 2011)
[16] Ibid.,
syukron katsiir...
BalasHapusSukron...
BalasHapus