BAB Ihttps://plus.google.com/u/0/117734609450688708337/videos#117734609450688708337/videos
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dakwah merupakan penentu segala pemikiran yang dengannya
setiap umat dan bangsa terdorong kepadanya. Kewajiban berdakwah didasarkan atas
suatu ajaran, bahwa Islam adalah agama risalah untuk umat manusia, sedangkan
umat manusia adalah pendukung amanat tersebut, yaitu sebagai penerus risalah
Islam (nabi) dalam segala dimensi ruang dan waktu. Dengan mengemban amanat ini,
da’i dituntut untuk mampu berpijak dan bertindak, mampu menyentuh dan
menyejukkan hati agar dakwahnya dapat diterima, sehingga membawa perubahan bagi
manusia.
Manusia dalam kodratnya diciptakan oleh Allah bukan hanya
sebagai makhluk individu, akan tetapi ia juga berperan sebagai makhluk sosial. Dalam
hubungan sesama manusia inilah manusia dihadapkan dengan warna-warna sosial,
yang kadang kala apabila disikapi secara berlebihan ataupun berbeda pandangan
maka akan terjadi konflik pribadi ataupun bahkan merembet pada konflik sosial.
Ketika seorang da’i melangkahkan kakinya untuk berdakwah,
tentu akan menjumpai berbagai macam corak manusia. Masing-masing corak itu
harus dihadapi dengan cara yang sepadan dengan tingkat kecerdasan, sepadan
dengan alam pikiran dan perasaan serta tabiat masing-masing. Oleh karena itu,
seorang da’i hendaknya mengetahui konsep serta prinsip-prinsip dakwah yang
sesuai dan tepat untuk diterapkan dalam masyarakat yang berbeda.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
penjelasan di atas ada beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini,
diantaranya:
1.
Bagaimanakah konsep berdakwah bagi umat Islam?
2.
Bagaimanakah prinsip-prinsip berdakwah bagi umat Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep
Dakwah
1.
Pengertian Dakwah
Ditinjau
dari segi etimologi atau asal kata (bahasa), dakwah berasal dari Bahasa Arab,
yang berarti “panggilan, ajakan atau seruan”.
Dalam
Ilmu Tata Bahasa Arab, kata dakwah berbentuk sebagai “isim mashdar”. Kata ini
berasal dari fi’il (kata kerja) “da’a-yad’u”, artinya memanggil, mengajak, atau
menyeru. Arti kata dakwah seperti ini sering dijumpai atau digunakan dalam ayat
Al Qur’an seperti dalam Surat Ali Imran ayat 104:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB
×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur
Ç`tã
Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari
yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.
Dakwah
menurut istilah mengandung arti yang beraneka ragam. Banyak ahli Ilmu Dakwah
memberikan definisi terhadap istilah dakwah terdapat beraneka ragam pendapat.
Menurut
Drs. Hamzah Yaqub dalam bukunya “Publistik Islam memberikan pengertian dakwah
dalam Islam ialah “mengajak umat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk
mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Dalam
Al Qur’an surat An Nahl ayat 125 disebutkan bahwa dakwah adalah mengajak umat
manusia ke jalan Allah dengan cara yang bijaksana, nasehat yang baik serta
berdebat dengan cara yang baik pula.
äí÷$# 4n<Î)
È@Î6y
y7În/u
ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$#
(
Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr&
“Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik.”
Definisi
yang lain, seperti definisi dakwah menurut Team Proyek Penerangan Bimbingan dan
Dakwah / khotbah Agama Islam (pusat) Departemen Agama RI Dalam bukunya
“Metodologi Dakwah Kepada Suku Terasing” adalah setiap usaha yang mengarah
untuk memperbaiki suasana kehidupan yang lebih baik dan layak, sesuai dengan
kehendak dan tuntunan kebenaran.
Dari definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa dakwah adalah:
a. Dakwah
adalah suatu usaha atau proses yang diselenggarakan dengan sadar dan terencana
b. Usaha
yang dilakukan adalah mengajak umat manusia ke jalan Allah, memperbaiki
situasi yang lebih baik (dakwah bersifat pembinaan dan pengembangan)
c. Usaha
tersebut dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tertentu, yakni hidup bahagia sejahtera
di dunia ataupun di akhirat.
2. Hakikat
Dakwah
Jika
difahami dari penjelasan dalam pengertian dakwah sebelumnya, maka hakekat yang
paling penting adalah sebagai jalan Ketauhidan. Kata ketauhidan berasal dari
kata tauhid, dari bahasa Arab yang menunjukkan kepada kesendirian atau keesaan.
(Ahmad bin Fâris Zakariyâ, op. cit., VI, hlm. 90) Jadi yang dimaksud dengan
ketauhidan adalah adanya keyakinan atau kepercayaan bahwa Allah hanya satu dan
tiada satupun yang dapat menyamai-Nya.
Hal ini sesuai dengan Q.S al
Qashash: 87-88:
wur y7¯RÝÁt ô`tã ÏM»t#uä «!$# y÷èt/ øÎ) ôMs9ÌRé& øs9Î)
(
äí÷$#ur 4n<Î)
În/u
(
wur
¨ûsðqä3s? z`ÏB tûüÅ2Îô³ßJø9$# ÇÑÐÈ wur äíôs?
yìtB
«!$#
$·g»s9Î) tyz#uä ¢ Iw tm»s9Î) wÎ) uqèd 4 @ä. >äóÓx« î7Ï9$yd wÎ) ¼çmygô_ur
4
ã&s!
â/õ3çtø:$#
Ïmøs9Î)ur
tbqãèy_öè? ÇÑÑÈ
“Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari
(menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan
serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-sekali kamu
Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan. Janganlah kamu sembah di
samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.
bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”
Dua
ayat tersebut menunjukkan bahwa berdakwah adalah mengajak kepada umat manusia
agar tidak berbuat syirik atau menyekutukan Allah Swt, sebab kalau masih ada
sesembahan lain selain Dia, berarti sama saja memiliki dua keyakinan atau
kepercayaan.
Dengan
kata lain, bahwasanya ayat di atas memberi penjelasan bahwa agar menyeru
seluruh manusia untuk beribadah hanya kepada Allah semata, Dia tiada sekutu
bagi-Nya. Hal ini sesuai dengan Q.S al-Dzariyat: 56
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$#
}§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.”
Kata
ya’buduni disini berarti beribadah kepada-Ku. Kata ibadah berakar kata dari
‘abada - ya’budu-‘ibadatan, menurut bahasa berarti memperbudak, tunduk dan
taat, mempertuhankan, dan manasik. Ada ulama’ tidak sepakat arti ibadah ini, di
antara mereka misalnya, Ibnu Taimiyah: Ibadah dasar maknanya adalah merendahkan
diri, akan tetapi ibadah yang diperintahkan mengandung makna merendahkan diri
dan memberikan makna kecintaan. Jadi ibadah itu mengandung makna merendahkan
diri dan adanya kecintaan yang mendalam kepada Allah Swt.
Sehubungan
dengan hal tersebut Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa bagi siapa saja yang tunduk
dan merendahkan diri kepada manusia disertai dengan kebencian, ia bukan ‘abid
kepada manusia yang menjadi juragannya, begitu pula seseorang yang mencintai
sesuatu tanpa ketaatan dan ketundukan kepada sesuatu itu, berarti ia juga tidak
‘abid kepadanya. Oleh karena itu, jika kita beribadah kepada Allah, maka yang
paling dicintai, diagungi, ditaati secara sempurna dari segala sesuatu adalah
Allah Swt serta selalu merendahkan diri kepada-Nya.
Dari keterangan tersebut, dapat
difahami bahwa ibadah yang hakiki ada dua hal, yaitu:
a. Taat
dan tunduk kepada apa yang disyari’atkan oleh Allah, yang dibawa oleh
Rasul-Nya, baik perintah maupun larangan. Hal ini tercermin unsur ketaatan dan
ketundukan, karena tidak dapat disebut hamba yang taat dan tunduk, kalau tidak
mengikuti perintah-Nya dan membangkang syari’at-Nya.
b. Cinta
kepada syari’at Allah Swt. yang dibawa oleh Rasul-Nya bersumber dari hati yang
cinta kepada Allah Swt, karena Dialah yang menciptakan manusia dengan
sebaik-baik ciptaan, Dia memberi kelebihan dibanding dengan makhluk-makhluk
lain.
Mengajak
manusia kepada ke- tauhidan (Meng-Esakan Tuhan) pada hakekatnya untuk memenuhi
fitrah manusia, karena manusia dilahirkan di bumi ini telah membawa fitrah
beragama, yaitu untuk beriman kepada Allah semata.
Hakekat
dakwah, terpenting adalah untuk meluruskan dan mengarahkan serta mengajak
kepada manusia agar mengikuti agama tauhid, dengan meninggalkan segala bentuk
kemusyrikan.
3. Dasar
Hukum Dakwah
Titik
tolak untuk mendasari hukum dakwah adalah Al Qur’an dan As-Sunnah. Dari kedua
dasar hukum tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dakwah merupakan
suatu kewajiban bagi setiap manusia yang beragama Islam. Tak ada alasan lain
untuk meninggalkan kewajiban dakwah kecuali setelah manusia meninggalkan alam
yang fana ini. Beberapa dalil Al Qur’an menyebutkan kewajiban manusia dalam
dakwah. Dalil-dalilnya antara lain:
Surat Ali Imran ayat 110:
öNçGZä.
uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's?
Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur
ÆtB#uä
ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$#
tb%s3s9
#Zöyz
Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB
cqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçsYò2r&ur
tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik.”
Surat Ali Imran ayat 104:
`ä3tFø9ur
öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur
Ç`tã
Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar,
merekalah orang-orang yang beruntung.”
Surat At Tahrim ayat 6:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè%
ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR
$ydßqè%ur
â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur
$pkön=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâxÏî
×#yÏ©
w tbqÝÁ÷èt
©!$#
!$tB
öNèdttBr& tbqè=yèøÿtur $tB tbrâsD÷sã ÇÏÈ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.”
4. Tujuan
Dakwah
Dakwah merupakan suatu rangkaian
kegiatan atau proses, dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan ini
dimaksudkan untuk pemberi arah atau pedoman bagi gerak langkah kegiatan dakwah.
Sebab tanpa tujuan yang jelas seluruh aktivitas dakwah akan sia-sia. Apalagi
ditinjau dari segi pendekatan sistem (system approach), tujuan dakwah merupakan
salah satu unsur dakwah. Dimana antara unsur dakwah yang satu dengan yang lain
saling membantu, mempengaruhi, berhubungan. Tujuan
umum dakwah adalah mengajak umat manusia kepada jalan yang benar dan diridhai
Allah agar dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia maupun di akhirat. Tujuan
dakwah di atas masih bersifat ijmali atau umum, oleh karena iitu masih juga
memerlukan rumusan-rumusan secara terperinci pada bagian lain. Sebab menurut
anggapan sementara ini tujuan dakwah yang utama menunjukkan pengertian bahwa
dakwah kepada seluruh ummat baik yang sudah memeluk agama maupun yang dalam
keadaan kafir atau musyrik. Arti ummat atau kaum disini menunjukkan pengertian
seluruh alam atau setidaknya se alam dunia. Sedangkan yang berkewajiban
berdakwah ke seluruh ummat adalah Rasulullah dan utusan-utusan yang lain.
Tujuan khusus dakwah merupakan perumusan tujuan sebagai perincian daripada
tujuan umum dakwah. Tujuan ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan seluruh
aktivitas dakwah dapat jelas diketahui ke mana arahnya, ataupun jenis kegiatan
apa yang hendak dikerjakan, kepada siapa berdakwah, dengan cara yang bagaimana,
dan sebagainya secara terperinci.
5. Objek
dakwah
Yang
dimaksud dengan obyek dakwah adalah siapa yang diajak untuk melaksanakan ajaran
agama dengan baik. Adapun obyek dakwah adalah seluruh umat manusia. Hal itu
sesuai dengan:
·
Q.S. al-A’râf (7): 158,
Katakanlah: “Hai manusia
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua …
·
Q.S. Saba’ (34): 28,
Walaupun dakwah itu untuk seluruh
manusia, namun harus dijelaskan dari mana dakwah itu dimulai, maka perlu
dijelaskan sebagai berikut:
a. Kepada diri
sendiri
b. Kepada
keluarga
c. Sanak
keluarga dekat
d. Sebagian
kelompok
e. Seluruh umat
manusia
Objek dakwah amatlah luas, ia adalah
masyarakat yang beraneka ragam latar belakang dan kedudukannya. Berkait di
dalamnya manusia yang merupakan anggota masyarakat yang masing-masing mempunyai
kelainan individu. Manusia memang unik, unik tapi nyata. Unik karena
kompleksitas kepribadiannya yang saling berbeda antara orang yang satu dengan
orang yang lain, pribadi dimaksudkan disini adalah berbagai aspek dan
sifat-sifat psikis dari seseorang. Obyek dakwah adalah pribadi semacam tersebut
yang sangat beragam.
6. Metode
dakwah
Metode
dakwah adalah cara mencapai tujuan dakwah, untuk mendapatkan gambaran tentang
prinsip-prinsip metode dakwah harus mencermati firman Allah Swt, dan Hadits
Nabi Muhammad Saw :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“ Serulah [ manusia ]
kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik …….“ (An-Nahl [16]: 125)
Dari ayart tersebut dapat difahami prinsip
umum tentang metode dakwah Islam yang menekankan ada tiga prinsip umum metode
dakwah yaitu ; Metode hikmah, metode mau’izah khasanah, meode
mujadalah billati hia ahsan, banyak penafsiran para Ulama’ terhadap
tiga prinsip metode tersebut antara lain :
1. Metode hikmah
menurut Syekh Mustafa Al-Maraghi dalam tafsirnya mengatakan bahwa hikmah yaitu;
Perkataan yang jelas dan tegas disertai dengan dalil yang dapat mempertegas
kebenaran, dan dapat menghilangkan keragu-raguan.
2. Metode mau’izhah
hasanah menurut Ibnu Syayyidiqi adalah memberi ingat kepada orang lain dengan
pahala dan siksa yang dapat menaklukkan hati.
3. Metode mujadalah
dengan sebaik-baiknya menurut Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin
menegaskan agar orang-orang yang melakukan tukar fikiran itu tidak beranggapan
bahwa yang satu sebagai lawan bagi yang lainnya, tetapi mereka harus menganggap
bahwa para peserta mujadalah atau diskusi itu sebagai kawan yang saling
tolong-menolong dalam mencapai kebenaran. Demikianlah antara lain pendapat
sebagaian Mufassirin tentang tiga prinsip metode tersebut. Selain metode
tersebut Nabi Muhammad Saw bersabda :
مَنْ رَأَى
مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“ Siapa
di antara kamu melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu,
ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya, dan yang terakhir inilah selemah-lemah iman.”
(H.R. Muslim)
B. Prinsip-Prinsip
Berdakwah
1.
Mencari Titik Temu atau Sisi Kesamaan
Kita
menyaksikan pola dakwah Rasulullah sebelum masanya hijriah, tidak pernah
menyeru umatnya sendiri atau ahli kitab dengan sebutan orang-orang kafir,
musyrik atau munafik, melainkan dengan seruan yang sama dengan dirinya yaa
ayyuhan naas, “wahai manusa”. Bahkan untuk orang-orang munafik, sebelum
jatuhnya kota Mekkah Nabi Saw mempergunakan pangggilan yaa ayyuhal ladziina
aamanuu, “hai orang-orang yang beriman”, dan sama sekali tidak pernah
mengungkapkan secara terang-terangan kemunafikan mereka dengan menggunakan
panggilan yaaa ayyuhal munafiqun, “hai orang munafiq”. Akan tetapi
setelah sekian lama berdakwah dengan kelembutan dan ayat-ayat Ilahi sia-sia
menjelaskan kebenaran kepada mereka dan mereka tidak saja menolak kebenaran,
tetapi juga bersekongkol dan bersepakat membunuh Rasulullah. Baru Rasulullah
menyeru dengan kata-kata tegas dan jelas . “Hai orang- orang kafir” dan
manyatakan berlepas tangan dari tangan mereka da agama mereka. Ali Imran:64:
ö@è% @÷dr'¯»t É=»tGÅ3ø9$# (#öqs9$yès?
4n<Î) 7pyJÎ=2
¥ä!#uqy $uZoY÷t/
ö/ä3uZ÷t/ur wr& yç7÷ètR
wÎ)
©!$#
wur
x8Îô³èS ¾ÏmÎ/ $\«øx© wur xÏGt
$uZàÒ÷èt/ $³Ò÷èt/ $\/$t/ör& `ÏiB Èbrß
«!$#
4
bÎ*sù (#öq©9uqs? (#qä9qà)sù (#rßygô©$# $¯Rr'Î/ cqßJÎ=ó¡ãB
ÇÏÍÈ
Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah
(berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara
kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka
Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah)".
2.
Menggembirakan Sebelum Menakut-nakuti
Sudah
menjadi fitrah manusia suka kepada yang menyenangkan dan benci kepada yang
menakutkan, maka selayaknya bagi para da’i untuk memulai dakwahnya dengan
member harapan yang menarik, mempesona dan menggembirakan sebelum memberikan
ancaman.
Seorang
da’i seharusnya terlebih dahulu memberikan kabar gembira sebelum ancaman,
mendorong, beramal dan menyebutkan faedahnya sebelum menakut nakuti. Memberitahu
keutamaaan menyebarkan ilmu sebelum member peringatan kepada mereka tentang
besarnya dosa menyembunyikan ilmu dan memotivasi untuk melaksanakan shalat pada
waktnya sebelum memberikan peringatan tentang besarnya dosa meninggalkan
shalat.
Kita
memang tidak dapat menafikan manfaat tarhib, karena beragam tabiat
manusia. Akan tetapi, member kabar gembira terlebih dahulu sebelum peringatan
itu bisa membuat hati menerima dengan baik dan lega. Pemberian motivasi ini
bisa menumbuhkan harapan dan optimism seseorang.
3.
Memudahkan Tidak Mempersulit
Di
antara metode yang menyejukkan yang ditempuh oleh Rasulullah dalam berdakwah
yaitu mempermudah tidak mempersulit serta meringankan tidak memberatkan begitu
melimpah nash al-quran maupun teks as-Sunnah yang memberikan isyarat bahwa
memudahkan itu lebih disukai Allah daripada mempersulit.
Allah
berfirman:
&
3
ßÌã
ª!$#
ãNà6Î/
tó¡ãø9$#
wur
ßÌã
ãNà6Î/
uô£ãèø9$# ÇÊÑÎÈ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu.
ßÌã
ª!$#
br&
y#Ïeÿsä
öNä3Ytã
4
t,Î=äzur
ß`»|¡RM}$#
$ZÿÏè|Ê
ÇËÑÈ
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan
manusia dijadikan bersifat lemah.
4 $tB
ßÌã
ª!$#
@yèôfuÏ9
Nà6øn=tæ
ô`ÏiB
8ltym
Allah
tidak bermaksud menyulitkan kamu dan manusia teapi dia hendak membersihkan
kamu.
Dalam shohih Bukhori disebutkan
ketika Rasulullah mengutus sahabatnya (untuk berdakwah) bersabda:
يَسِّرُ
وا وَ لاَ تُعَسِّرُ وا وَ بَشِّرُوا وَ لَاتُنَفِرُوا
Mudahkan jangan kalian
mempersulit berikan kabar gembira jangan buat mereka lari.
4.
Memperhatikan Penahapan Beban dan Hukum
Untuk mejadikan aktivitas dakwah tidak memberatkan dan
menawan hati mad’u, para da’i harus meperhatikan prinsip hokum penahapan
baik dalam amar ma’ruf maupun nahi
mungkar. Hal ini sejalan dengan sunatullah dalam penciptaan makhluk dan
mengikuti metode perundang-undangan hokum Islam. Dengan mengetahui bahwa
manusia tidak senang untuk menghadapi perpindahan sekaligus dari suatu keadaan
kepada keadaan lain yang asing. Maka al-Quran tidaj diturunkan sekaligus,
melainkan surat demi surat dan ayat demi ayat, dan kadang-kadang menurut
peristiwa-peristiwa yang menghendaki diturunkannya, agar dengan cara demikian
lebih disenangi oleh jiwa dan lebih mendorong ke arah mentaatinya serta
bersiap-siap untuk meninggalkan ketentuan-ketentuan lama untuk menerima hokum
yang baru. Sebagai penahapan dalam hokum Islam, demikian pula aktivitas dakwah
dijalankan.
Dalam hal ini, barangkali contoh
yang paling tepat di antara penerapan terhadap pelarangan khamr,
larangan minuman khamr dan judi pada mulanya belum diharamkan dengan tegas
tetapi disebutkan bahwa pada khamr dan judi terdapat dosa yang besar dan
ada kegunaan bagi orang banyak. Kemudian setelah jiwa mereka bisa menerima
pertimbangan untung rugi minuman dan judi maka turun lagi firman Allah SWT:
sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu
(dari mengerjakan pekerjaan itu).
5.
Memperhatikan Psikologi Mad’u
Mengingat
bermacam-macam tipe manusia yang dihadapi da’i dan berbagai jenis antara dia
dengan mereka serta berbagai kondisi psokologis mereka, setiap da’i yang
mengharapkan sejuk dalam aktivitas dakwahnya harus memperhatikan kondisi
psikologis mad’u.
Mohammad
Natsir mengemukakan pendapat yang berkaitan dengan kondisi psikologis mad’u ini
bahwa: pokok persoalan bagi seorang pembawa dakwah ialah bagaimana menentukan
cara yanb tepat dan efektif dalam menghadapi suatu golongan tertentu dalam
suatu keadaan dan suasana tertentu.
Seorang
da’i harus memperhatikan kedududkan sosial penerima dakwah. Jika seorang da’i
mencium adanya sikap memusuhi Islam dalam diri penerima dakwah, maka dengan
alas an apa pun dia tidak boleh memperburuk situasi. Dia mesti berusaha
sebisa-bisanya untuk menghilangkan sikap permusuhan tersebut.
Oleh
karena itu, untuk mencapai keberhasilan dalam pengembangan agama Islam, maka
perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Diperlukan
dakwah dan strategi yang jitu, sehingga perubahan yang ada akibat jalannya
dakwah tidak terjadi secara frontal, tetapi bertahap sesuai fitrah manusia.
b. Dakwah
Islam seharusnya dilakukan dengan menyejukkan, mencari titik persamaan bukan
perbedaan, meringankan bukan memberatkan, memudahkan bukan mempersulit,
menggembirakan bukan menakut-nakuti, bertahap dan berangsur-angsur bukan secara
frontal, sebagaimana pola dakwah yang dialankan oleh Radulullah saw, ketika
mengubah kehidupan jahiliah menjadi kehidupan Islamiyah.
c. Dalam
dakwah tidak mengenal kata keras kalau yang dimaksud kasar dan frontal.[1]
Prinsip-prinsip
dakwah menurut Achmad Mubarok dalam pengantarnya di buku Psikologi Dakwah terangkum
dalam:
1. Berdakwah
itu harus dimulai dari diri sendiri (ibda’ binafsi) dan kemudian menjadikan
keluarganya sebagai contoh bagi masyarakat.
2. Secara
mental da’i harus siap menjadi ahli waris para nabi yakni mewarisi perjuangan yang
beresiko. Semua nabi harus mengalami kesulitan dalam berdakwah kepada kaumnya
meski sudah dilengkapi mukjizat.
3. Dai
harus menyadari bahwa masyarakat membutuhkan waktu untuk dapat memahami pesan
dakwah. Oleh karena itu, dakwah pun harus memperhatikan tahapa-tahapan
sebagaimana dahulu nabi Muhammad harus melalui tahapan periode Makkah dan
Madinah.
4. Da’i
juga harus menyelami alam pikiran masyarakat sehingga kebenaran Islam tidak
disampaikan dengan menggunakan logika masyarakat.
5. Dalam
menghadapi kesulitan, dai harus bersabar, jangan bersedih atas kekafiran
masyarakat, karena sudah menjadi sunnatullah bahwa setiap pembawa kebenaran
akan dilawan oleh orang kafir. Seorang dai hanya bisa mengajak, sedangkan yang
memberi petunjuk adalah Allah.
6. Citra
positif dakwah akan sangat melancarkan komunikasi dakwah, sebaliknya citra
buruk akan membuat semua aktivitas dakwah menjadi kontradiktif. Dalam hal ini,
keberhasilan membangun komunitas Islam, meski kecil akan sangat efektif untuk
dakwah.
7. Dai
harus memperhatikan tertib urutan pusat perhatian dakwah, yaitu prioritas
pertama berdakwah dengan hal-hal yang bersifat universal yakni kebajikan, baru
kepada amar ma’ruf kemudian nahi munkar.
Sedangkan prinsip-prinsip dakwah jika ditinjau dari makna
persepsi dari masyarakat secara
jama’ adalah:
a. Dakwah
sebagai tabligh, wujudnya adalah ketika mubaligh menyampaikan ceramah atau
pesan dakwah kepada masyarakat
b. Dakwah
sebagai ajakan
c. Dakwah
sebagai pekerjaan menanam, dapat diartikan mendidik manusia agar mereka
bertingkah laku sesuai dengan hukum Islam
d. Dakwah
sebagai akulturasi nilai
e. Dakwah
sebagai pekerjaan membangun.[2]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konsep
dakwah
Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwah konsep dakwah terdapat hal-hal di
bawah ini:
a. Pengertian
dakwah
Dakwah adalah suatu proses penyampaian, ajakan atau
seruan kepada orang lain atau kepada masyarakat agar mau memeluk, mempelajari,
dan mengamalkan ajaran agama secara sadar, sehingga membangkitkan dan mengembalikan
potensi fitri orang itu, dan dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat.
b. Hakikat
dakwah
Hakekat dakwah, terpenting adalah untuk meluruskan dan
mengarahkan serta mengajak kepada manusia agar mengikuti agama tauhid, dengan
meninggalkan segala bentuk kemusyrikan.
c. Dasar
hukum dakwah
Titik tolak untuk
mendasari hukum dakwah adalah Al Qur’an dan As-Sunnah. Dari kedua dasar hukum
tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dakwah merupakan suatu kewajiban
bagi setiap manusia yang beragama Islam.
d. Tujuan
Dakwah
Dakwah merupakan suatu
rangkaian kegiatan atau proses, dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.
Tujuan ini dimaksudkan untuk pemberi arah atau pedoman bagi gerak langkah
kegiatan dakwah.
e. Objek
dakwah
Yang dimaksud dengan
obyek dakwah adalah siapa yang diajak untuk melaksanakan ajaran agama dengan
baik. Adapun obyek dakwah adalah seluruh umat manusia.
f. Metode
dakwah
Metode dakwah adalah
cara mencapai tujuan dakwah, untuk mendapatkan gambaran tentang prinsip-prinsip
metode dakwah harus mencermati firman Allah Swt, dan Hadits Nabi Muhammad Saw.
2. Prinsip-prinsip
dakwah
a. Mencari
Titik Temu atau Sisi Kesamaan
b. Menggembirakan
Sebelum Menakut-nakuti
c. Memudahkan
Tidak Mempersulit
d. Memperhatikan
Penahapan Beban dan Hukum
e. Memperhatikan
Psikologi Mad’u
DAFTAR
RUJUKAN
Ilahi,
Wahyu. 2010. Komunikasi Dakwah. Bandung: PT Remaja Rosda Karya
Munir,
M. 2006. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana
Chadijah Nasution, 1978, Bercerita Sebagai Metode Dakwah,
Jakarta: Buan
Bintang.
Slamet.
1994. Prinsip-prinsip Metodologi Dakwah. Surabaya: Al-Ikhlas
Syukir,
Asmuni. 1983. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya: Al-Ikhlas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar