BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sudah
menjadi kodrat alam, sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan
manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama manusia adalah
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun rohani.
Hidup
bersama antara seorang pria dan wanita tersebut mempunyai akibat yang sangat
penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap
keturunannya serta anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu
peraturan yang mengatur tentang hidup bersama tersebut.Dengan demikian sejak
dulu kala hubungan pria dan wanita dalam perkawinan telah dikenal, walaupun
dalam sistem yang beraneka ragam, mulai dari yang bersifat sederhana sampai
kepada masyarakat yang berbudaya tinggi, baik yang pengaturannya melalui
lembaga-lembaga masyarakat adat maupun denganperaturan perundangan yang
dibentuk melalui lembaga kenegaraan serta ketentuan-ketentuan yang digariskan
agama.
Berkaitan dengan kawin mut’ah atau kawin kontrak yang
banyak terjadi di Indonesia dan fatwa
MUI yang mengharamkan adanya nikah mut’ah, namun masih banyak sebagian masyarakat yang melakukan
nikah mut’ah dengan tujuan hanya untuk mensejahterakan kehidupannya tanpa
berbuat zina, dan untuk mengkaji sejauh mana perkembangan nikah mut’ah ini maka
kami pemakalah mengkaji tentang nikah mut’ah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Nikah Mut’ah?
2.
Bagaimana hukum nikah Mut’ah?
3.
Bagaimana syarat dan rukun Nikah Mut’ah?
4.
Bagaimana nikah Mut’ah menurut Undang-Undang?
5.
Bagaimana perbedaan nikah Mut’ah dengan nikah Da’im?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian Nikah Mut’ah
2.
Untuk mengetahui hukum nikah Mut’ah
3.
Untuk mengetahui syarat dan rukun Nikah Mut’ah
4.
Untuk mengetahui nikah Mut’ah menurut Undang-Undang
5.
Untuk mengetahui perbedaan nikah Mut’ah dengan nikah
Da’im
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Nikah Mut’ah (Kawin
Kontrak Sementara)
Kawin
kontrak atau kawin perjanjian.[1]
Kamus arab mendefinisikan mut’ah sebagai “kesenangan, kegembiraan,
kesukaan”.[2] Kawin
mut’ah merupakan bentuk perkawinan haram yang dijalankan dalam waktu singkat
untuk mendapatkan sesuatu yang telah ditentukan.[3] Perkawinan
mut’ah adalah ikatan tali perkawinan antara seorang laki- laki dan wanita,
dengan mahar yang telah disepakati, yang disebut dalam akad, sampai pada batas
waktu yang telah ditentukan. Dengan berlalunya waktu yang telah disepakati,
atau pengurangan batas waktu yang diberikan oleh laki- laki, maka berakhirlah
ikatan pernikahan tersebut tanpa memerlukan proses perceraiaan. [4]
Ibnu Qudaimah
mengatakan:
نكاح المتعة ان يتزوج المرأةمدة, مثل أن يقول زوجتك
ابنتى شهراأوسنة أوإلى انقضاءالموسم أوقدوم الحاج وشبهه سواءكانت
المدةمعلومةأومجهولة.
artinya
“nikah Mut’ah adalah seseorang mengawini
wanita (dengan terikat) hanya waktu tertentu saja, misalnya (seorang wali)
mengatakan: saya mengawinakan putriku dengan engkau selama sebulan, atau
setahun, atau habis musim ini, atau sampai berakhir perjalanan haji ini dan
sebagainya. Sama halnya dengan waktu yang telah ditentukan atau yang belum ”[5]
Sayyid Saabiq
mengatakan:
نكاح
المتعة, أن يعقدالرجل على المرأةيوماأوأسبوعاأوشهرا, ويسمى بالمتعة, لأن الرجل
ينتفع ويتبلغ بالزواج ويتمتع إلى الأجل الدى وقته.
Artinya “perkawinan Mut’ah adalah adanya seorang pria
mengawi wanita selama sehari, atau seminggu. Dan dinamakan mut’ah karena laki-
laki mengambil manfaat serta merasa cukup dengan melangsungkan perkawinan
dengan bersenang- senang sampai kepada waktu yang telah ditentukan ”
Bertolak dari
definisi di atas, maka penulis menarik suatu pengertian bahwa nikah mut’ah
adalah suatu ikatan perkawinan yang terikat dengan waktu tertentu, sehingga
bila waktu tersebut sudah habis, maka perempuan yang telah dikawini itu
dinyatakan tertalak. [6]
2. Hukum Nikah Mut’ah Dalam Islam
Kawin mut’ah diperbolehkan pada masa awal pada
pembentukan ajaran Islam, sebelum Syari’ah Islam ditetapkan secara lengkap
sempurna. Kawin mut’ah diperbolehkan di hari- hari awal ketika seseorang
melakukan perjalanan atau orang- orang sedang berperang melawan musuh. Alasan
dibolehkannya Mut’ah adalah orang- orang yang masuk Islam dahulu, adalah tengah
dalam proses peralihan zaman dari Jahiliah ke zaman Islam. Pada zaman Jahiliah,
zina merupakan hal yang sangat wajar sampai tidak dianggap berdosa.
Lalu
turun larangan Islam tentang hubungan riba dan minuman keras secara bertahap
karena masyarakat sudah sangat akrab dengan riba dan minuman keras tersebut.
Sementara kawin Mut’ah hanya diperbolehkan di masa- masa awal Islam karena
orang- orang berjuang dimedan laga atau “Ghazwah”. Mereka yang imanya masih
lemah mencoba melakukajn zina dimasa perang. Sedang orang yang kuat imanya
menekan keinginannya dengan keras untuk mengendalikan hawa nafsunya. Abdullah
bin Mas’ud pernah berkata sebagai berikut: “kami pernah berperang bersama
Rasulallah SAW. Dan kami tidak menyertakan kaum perempuan. Maka kami bertanya
kepada beliau, akapah kami boleh mengebiri diri, Rasulallha SAW melarang kami melakukan
pengebiran itu, dan mengizini kami mengawini
perempuan untuk sementara waktu dengan memberikan pakaian”.[7]
Diriwayatkan
pula oleh Ali bin Abi Thalib; “Aku menjalankan kepada Ibnu Abbas pada waktu
perang Khibar”,
إن
رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن المتعة وعن لحوم الحور الألية زمن خبير
“sesungguhnya
Rasulullah SAW. Melarang kawin Mut’ah dan memakan daging keledai ” (H.R
Bukhari).
Syi’ah Imamiyah sebaliknya berpendapat bahwa
Rasulallah tidak pernah melarang pernikahan Mut’ah dan ia tetap halal sampai
kiamat. Bahkan Al- Qur’an sendiri merupakan sandaran hujjah syar’i yang tidak
terbantahkan melegalkan bentuk pernikahan mut’ah tersebut. Ayat Al- Qur’an yang
membolehkan nikah mut’ah sebagai hujah ulama Syi’ah Imamiyah di antaranya
sebagai berikut Q.s An- Nisa:24
àM»oY|ÁósßJø9$#ur z`ÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# wÎ) $tB ôMs3n=tB öNà6ãY»yJ÷r& ( |=»tGÏ. «!$# öNä3øn=tæ 4 ¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºs br& (#qäótFö6s? Nä3Ï9ºuqøBr'Î/ tûüÏYÅÁøtC uöxî úüÅsÏÿ»|¡ãB 4 $yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù Æèduqã_é& ZpÒÌsù 4 wur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJÏù OçF÷|ʺts? ¾ÏmÎ/ .`ÏB Ï÷èt/ ÏpÒÌxÿø9$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym
“
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak
yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas
kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu
untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka
isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[8]
Setelah Syari’ah sempurna, kawin Mut’ah
di kharamkan. Izin kawin sementara karena keadaan memaksa yang telah diberikan
Nabi itu segera dikharamkan setelah pembukaan kota Makkah, sebagaimana
diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib.
أنه عزا مع
النبى صلى الله عليه وسلم فى فتح مكةفأدن لهم فى متعة النساء فقال:فلم يخرج حتى
حرمهارسول الله صلى الله عليه وسلم
“Sesungguhnya dia beserta
Nabi SAW. Ketika terjadi pertempuran untuk membuka kota Makkah. Nabi SAW.
Mengizinkan para sahabat untuk kawin Mut’ah. Lalu Ali berkata: “Maka Nabi SAW
tidak keluar dari kota Makkah itu sampai beliau mengharamkannya.”
Menurut riwayat lain Nabi berkata :
وأن الله حرم دلك إلى يوم القيامة
“dan
sesungguhnya Allah telah mengharamkan kawin Mut’ah sampai hari akhir”.
Islam inggin membangun sebuah masyarakat yang sejahtera.
Kawin Mut’ah jika dibolehkan, dapat menimbulkan lebih banyak masalah ketimbang
yang dapat dipecahkannya. Bila kawin Mut’ah itu tidak dilarang, akan
menimbulkan pelacuran. Para ulama telah sepakat menyatakan bahwa Kawin Mut’ah
itu dikharamkan. Hanya pendapat Abdullah Bin Abbas yang bertentangan dengan kesepakatan ini.
Namun segera setelah melihat kawatnya keadaan dan orang- orang menyalahgunakan
perkawinan Mut’ah ini yang hanya diperbolehkan di lingkungan wilayah
pertempuran yang bergolak, tak lama kemudian dia mengharamkannya. (diriwayatkan
oleh Bukhari).[9]
Namun begitu, sebagian ulama Mazhab Syi’ah masih memperbolehkan kawin Mut’ah
sampai hari ini, sekalipun jarang juga dipraktekkan.
·
Hukum
Nikah
Mut’ah
Untuk menetukan status hukum tentang nikah mut’ah,
maka dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam pendapat; yaitu:
a. Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Al- Latits dan Imam al- Auzza’iy
mengatakan; perkawinan mut’ah itu hukumnya haram. Pendapat ini didasarkan pada
beberapa Hadist yang antara lain berbunyi:
أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم حرم المتعة, فقال:أيهاالناس إنى كنت أدنت لكم فى
الإستمتاع,ألاوإن الله قد حرمها إلى يوم القيامة. رواه ابن ماجه
Artinya: “bahwasannya Rasulallha SAW mengharamkan kawin mut’ah, maka ia berkata:
Hai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu sekalian kawin mut’ah.
Maka sekarang ketahuilah, bahwa Allah mengharamkannya sampai hari kiamat.”
H.R. Ibnu Majah
b. Pengikut
Mazhab Syi’ah mengatakan ; perkawinan mut’ah dibolehkan dalam agama. Pendapat
ini didasarkan pada sebuah hadist yang berbunyi:
أن
عمرقال:متعتان كانتاعلى عهدرسول الله صلى الله عليه وسلم.أفأنهى عنهماوأعاقب
عليها؟ متعة النساء ومتعة الحج, ولأنه عقد على منفعة فيكون مؤقتاكالإجارة.
Artinya: “bahwasannya Umar berkata; Dua macam perkawinan mut’ah (yang pernah
terjadi) di masa Rasulallah SAW. Maka dapatkah aku melarangnya dan memberikan
sangsi hukum terhadap pelakunya? (keduaya itu) adalah perkawinan mut’ah
terhadap wanita (di waktu tidak bepergian) dan kawin mut’ah (pada waktu
bepergian) menunaikan ibadah haji. Karena hal itu, merupakan perkawinan yang
berguna (pada saat tertentu), maka perlu menentukan waktu berlakunya seperti
halnya sewa- menyewa ”[10]
c. Hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Zubair yang diperoleh dari Jabir bin Abdillah beliau
berkata: ” Kita para sahabat di zaman Abu Bakar melakukan Mut’ah dengan
segenggam kurma dan tepung sebagai mas kawinnya, kemudian Umar mengharamkannya
karena ulah Amr bin Khuraist. ”
d. Hadis
yang diriwayatkan oleh Atha’ beliau berkata: “Aku pernah mendengar perkataan
Jabir bin Abdillah yang isinya: “Kita lakukan mut’ah di zaman Nabi SAW dan
zaman Abu Bakar dan sampai permulaan kepemimpinan Umar, kemudian Umar melarang
orang- orang untuk melakukan nikah mut’ah tersebut”. Al- Zaila’i menambahkan
bahwa Abu Said Al- Khudri berkata: “Inilah pendapat yang di ikuti oleh orang-
orang Syiah ”[11]
3.
Syarat sah dan Rukun Nikah Mut’ah
1)
Syarat
Nikah Mut’ah
a) Baligh.
b) Berakal
c) Tidak
ada suatu halangan syari’ bagi terjadinya perkawinan tersebut seperti adanya
nasab, saudara sesusu, masih menjadi istri orang lain, iddah atau lainnya.
2)
Rukun
Nikah Mut’ah
Jurisprudensi Syiah mendiskusikan perkawinan
sementara dengan hati-hati dalam hubungannya dengan pernikahan permanen.
Seperti pernikahan permanen, mut’ah juga mempunyai rukun dan hukum yaitu :[12]
a. Formula
atau ijab qabul
Karena
ini adalah akad, maka mut’ah memerlukan pernyataan dan penerimaan seperti dalam
pernikahan permanen, pernyataan adalah prasyarat dari wanita. Ia harus terdiri
dari salah satu dari tiga formula berbahasa arab, yang juga dipakai oleh Syi’ah
dalam pernikahan permanen.
b. Orang
Pria
dapat melakukan akad mut’ah hanya dengan Muslimah atau salah seorang “ahli
kitab” tidak diperbolehkan untuk melakukan perkawinan sementara dengamn orang
kafir atau atau musuh dari keluarga nabi, jika pria itu mempunyai istri pemanen
yang bebas, dia tidak dapat melakukan akad mut’ah dengan budak tanpa seizindari
istrinya. Jika dia melakukannya, maka akadnya tidak sah atau ditangguhhkan
seraya menunggu izin istrinya.[13]
c. Periode
waktu (Mudda)
Periode
waktu pernikahan sementara harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga tidak
dimungkinkan lagi adanya penambahan atau pengurangan. Menurut Imam al-Ridha,”
mut’ah harus merupakan hal yang tetap untuk periode yang tetap. Selain itu,
Imam pernah ditanya apakah mungkin untuk melakukan mut’ah selama satu atau dua
jam saja.” Dia menjawab,” tidak ada batas waktu yang dapat dimengerti dari
“satu atau dua jam.”[14]
d. Mahar
Akad
harus menyebutkan mahar dari harta yang diketahui, entah itu dalam bentuk tunai
atau sejenisnya, yang jumlahnya tetap, tidak bisa ditambah atau dikurangi.
Untuk mengetahui harta itu, maka si wanita cukup melihatnya saja , tidak perlu
dityimbang, diukur atau dihitung.[15]
4.
Nikah
Mut’ah Di Tinjau dari UU No.1 TAHUN 1974
Perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974 adalah ikatan
lahir batin diantara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, sehingga perkawinan merupakan salah satu tujuan hidup manusia untuk
mencapai kebahagiaan lahir dan batin, khususnya dalam rangka melanjutkan atau
meneruskan keturunan dan diharapkan pula dengan adanya perkawinan mampu
mewujudkan masyarakat yang sejahtera baik lahir maupun batin. Dalam perkembangan
masyarakat sekarang ini, munculah istilah nikah mut’ah atau dalam bahasa
indonesianya kawin kontrak. Nikah mut’ah atau kawin kontrak tidak diatur dalam
UU No.1 tahun 1974, karena nikah mut’ah
merupakan sebuah fenomena baru dalam masyarakat. Nikah mut’ah menggambarkan
sebuah perkawinan yang didasarkan pada kontrak atau kesepakatan-kesepakatan
tertentu, yang mengatur mengenai jangka waktu perkawinan, imbalan bagi salah
satu pihak, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan lain-lain. Tujuan dari nikah mut’ah adalah untuk menyalurkan nafsu birahi, tanpa disertai
adanya keinginan untuk membentuk rumah tangga yang kekal, serta terkadang juga
tidak mengharapkan adanya keturunan. Nikah mut’ah merupakan perkawinan yang
bersifat sementara, dan sangat menonjolkan nilai ekonomi, menyebabkan
perkawinan ini berbeda dengan perkawinan.
Pada umumnya, sehingga nikah mut’ah dianggap
menyimpang dari tujuan perkawinan yang mulia. Kawin kontrak(Nikah mut’ah)
merupakan perkawinan berdasarkan kontrak yang dalam pelaksanaannya bersifat
sementara, dan lebih menonjolkan nilai ekonomi, sehingga sangat bertentangan
dengan perkawinan yang dikonsepkan dalam UU No.1 tahun 1974. Pelaksanaan kawin
kontrak sangat bertentangan dengan asas-asas perkawinan dalam UU No.1 tahun
1974. Beberapa asas tersebut diantaranya adalah:
a.
Tujuan
perkawinan
Menurut UU No.1 tahun 1974, setiap perkawinan harus
mempunyai tujuan membentuk keluarga/rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang tidak mempunyai tujuan ini, bukan perkawinan
dalam arti yang dimaksud dalam UU No.1 tahun 1974 Pelaksanaan kawin kontrak
sangat bertentangan dengan tujuan perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974.
Kawin kontrak hanya bertujuan untuk menyalurkan
kebutuhan biologis tanpa disertai keinginan untuk membentuk rumah tangga yang
bahagia dan kekal, serta sangat mengharapkan keuntungan secara ekonomi dari
dilaksanakannya perkawinan, selain itu memiliki keturunan bukan merupakan
tujuan utama dalam kawin kontrak.
b.
Perkawinan kekal
Menurut UU No.1 tahun 1974, sekali perkawinan
dilaksanakan, maka berlangsunglah perkawinan tersebut seumur hidup, tidak boleh
diputuskan begitu saja. Perkawinan kekal tidak mengenal batas waktu. Perkawinan
yang bersifat sementara sangat bertentangan dengan asas tersebut. Jika dilakukan
juga maka perkawinan tersebut batal. Kawin kontrak sangat bertentangan dengan
asas ini. Kawin kontrak merupakan perkawinan yang bersifat sementara, karena
jangka waktunya dibatasi. Kawin kontrak tidak bersifat kekal, apabila jangka
waktunya telah habis maka perkawinan dapat diputuskan.
c.
Perjanjian
Perkawinan
Mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang akan
melangsungkan perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan. Hal ini diatur
dalam pasal 29 UU No.1 tahun 1974 yang bunyinya:
Pasal 1, “Pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan. Setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
Pasal 2, “Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar
batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.”
Pasal 3, “Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.”
Pasal 4, “Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat
diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.” Menurut isi ketentuan pasal 29
tersebut, perjanjian perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1)
Dibuat pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan,
2)
Dalam bentuk tertulis disahkan oleh pegawai
pencatat,
3)
Isi perjanjian tidak melanggar batas-batas
hukum, agama, dan kesusilaan,
4)
Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,
5)
Selama
perkawinan berlangsung perjanjian tidak dapat diubah,
6)
Perjanjian
dimuat dalam akta perkawinan.
Dalam perjanjian perkawinan tidak termasuk taklik
talak. Taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria
setelah akad nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan
tertentu yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Isi perjanjian
perkawinan dapat mengenai segala hal, asal saja tidak melanggar batas-batas
hukum, agama, dan kesusilaan. Akibat hukum adanya perjanjian perkawinan antara
suami dan istri adalah sebagai berikut:
1)
Perjanjian
mengikat pihak suami dan istri,
2)
Perjanjian mengikat pihak ketiga yang
berkepentingan,
3)
Perjanjian hanya dapat diubah dengan
persetujuan kedua pihak suami dan istri, serta disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Dalam kawin kontrak juga terdapat perjanjian perkawinan. Namun
perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan perjanjian
perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974. Menurut UU No.1 tahun 1974, perjanjian
perkawinan diperbolehkan selama tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan
kesusilaan. Perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak sangat bertentangan
dengan batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Karena isi perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak
mengatur tentang jangka waktu/lamanya perkawinan, imbalan yang akan diperoleh
salah satu pihak, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan lain-lain. Dari
isi perjanjian perkawinan tersebut menyebabkan kawin kontrak menjadi perkawinan
yang bersifat sementara karena waktunya dibatasi, dan sangat menonjolkan nilai
ekonomi, sehingga sangat bertentangan dengan hukum, agama, dan norma-norma
kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Perkawinan yang sesuai dengan hukum,
agama, dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat adalah perkawinan yang
bersifat kekal, selama-lamanya, tidak hanya untuk kebahagiaan dunia tetapi juga
untuk akhirat. Isi perjanjian perkawinan yang bertentangan dengan batas-batas
agama, hukum dan kesusilaan tidak diperbolehkan, jadi dianggap tidak pernah ada
perjanjian perkawinan. Apabila perjanjian perkawinan tetap ada maka perkawinan tersebut
batal karena melanggar ketentuan UU No.1 tahun 1974.
Menurut Efa Laela Fakhriah, secara hukum bila
pernikahan berdasarkan kontrak dengan maksud mengadakan perjanjian untuk waktu
tertentu dan juga ada imbalan, jelas menyalahi UU No.1 tahun 1974 tentang
perkawinan. Jadi tidak ada perkawinan secara hukum. Apabila kawin kontrak
didasarkan pada hukum perjanjian, juga tidak bisa. Syarat sahnya perjanjian ada
4, yaitu sepakat kedua belah pihak, cakap dalam p erikatan, yang diperjanjikan adalah suatu hal tertentu,
dan perjanjian dilakukan atas kausa yang halal.
Perkawinan sendiri bukanlah perjanjian biasa, apalagi
melihat tujuannya untuk membangun sebuah keluarga. Artinya, kehidupan baru yang
dibangun bukanlah untuk kenikmatan sesaat atau dibangun berdasarkan kesepakatan
untuk waktu tertentu. Jadi kawin kontrak sendiri bukan bentuk yang disyaratkan
UU No.1 tahun 1974.
5.
Perbedaan Nikah Mut’ah Dengan Nikah
Daim.
1. Pada nikah biasa tidak terdapat
pembatasan waktu, misal untuk satu minggu, satu bulan, satu tahun dan
sebagainya.
Pada
nikah mut’ah terdapat pembatasan waktu.
3. Pada
nikah biasa secara otomatis antara suami istri saling mewarisi. Kalau dalam
nikah mut’ah tidak ada mawaris.
4. Pada
nikah biasa apabila terjadi talak dapat memutuskan akad perkawinan.dalam nikah
mut’ah sampai habisnya kontrak waktu.
5. Pada
nikah biasa mas kawin atau mahar harus disebutkan dalam akad dan hukumnya
sunnah. Sedang dalam nikah mut’ah mas kawin disebutkan sebelum lafadz akad
diucapkan.
6. Pada
nikah biasa iddah wanita tiga kali suci/haid.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Perkawinan mut’ah adalah ikatan tali
perkawinan antara seorang laki- laki dan wanita, dengan mahar yang telah
disepakati, yang disebut dalam akad, sampai pada batas waktu yang telah ditentukan.
Dengan berlalunya waktu yang telah disepakati, atau pengurangan batas waktu
yang diberikan oleh laki- laki, maka berakhirlah ikatan pernikahan tersebut
tanpa memerlukan proses perceraiaan
2.
Hukum
nikah mut’ah haram
Diriwayatkan
pula oleh Ali bin Abi Thalib; “Aku menjalankan kepada Ibnu Abbas pada waktu
perang Khibar”,
إن
رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن المتعة وعن لحوم الحور الألية زمن خبير
“sesungguhnya
Rasulullah SAW. Melarang kawin Mut’ah dan memakan daging keledai ” (H.R
Bukhari).
Namun ada perbedaan pendapat para ulama yang sebagian
menghalalkan nikah mut’ah
3.
Syarat
sah nikah mut’ah :
baligh, berakal, tidak ada suatu halangan syari’ bagi
terjadinya perkawinan tersebut seperti adanya nasab, saudara sesusu, masih
menjadi istri orang lain, iddah atau lainnya.
Rukun nikah Mut’ah :
Formula atau ijab qabul, orang, periode waktu (mudda),
mahar
4.
Perkawinan
sendiri bukanlah perjanjian biasa, apalagi melihat tujuannya untuk membangun
sebuah keluarga. Artinya, kehidupan baru yang dibangun bukanlah untuk
kenikmatan sesaat atau dibangun berdasarkan kesepakatan untuk waktu tertentu.
Jadi kawin kontrak sendiri bukan bentuk yang disyaratkan UU No.1 tahun 1974.
5.
Salah
satu perbedaan nikah mut’ah dengan nikah da’im : Pada nikah biasa tidak terdapat pembatasan waktu, misal
untuk satu minggu, satu bulan, satu tahun dan sebagainya. Pada nikah mut’ah terdapat pembatasan waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Asmin. 1986. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau
dari UU Perkawinan No.1 Tahun 1974. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Mahjuddin.
2003. Masailul Fiqhiyah. Jakarta: Kalam Mulia
Murata, Sachiko. 2001. Lebih Jelas Tentang Mut’ah Perdebatan
Sunni& Syiah. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Rahman. 2002. Penjelasan Lengkap Hukum- hukum Allah
(Syarianh). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Murtadho
Ja’far. 2002. Nikah Mut’ah Dalam Islam.
Surakarta: al- Hikamh
Mulia Siti Musdah. 2007. Pengesahan Kawin kontrak Pandangan Sunni dan Sy’iah. Yogyakarta:
Pilar Media
[1]
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2003), hlm. 51
[2]
Sachiko Murata, Lebih Jelas Tentang Mut’ah Perdebatan
Sunni& Syiah, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2001), hlm. 41
[3]
Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum- hukum Allah
(Syarianh), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 204
[4]
Ja’far Murtadho, Nikah
Mut’ah Dalam Islam, (Surakarta: al- Hikamh, 2002), hlm . 27
[5]
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2003), hlm. 51
[7]
Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum- hukum Allah
(Syarianh), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.204
[8]
Siti Musdah Mulia, Pengesahan Kawin kontrak Pandangan Sunni
dan Sy’iah ,(Yogyakarta: Pilar Media, 2007), hlm. 2
[9] Ibd, 205
[10]
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2003), hlm. 55
[11]
Ja’far Murtadho, Nikah Mut’ah Dalam Islam, (Surakarta:
al- Hikamh, 2002), hlm . 78- 79
[12] Sachiko
Murata, Lebih Jelas Mut’ah Perdebatan
Sunni & Syi’ah, (Jakarta:Srigunting 2001), hlm. 44
nice info gan, bagus artikelnya, menambah pengetahuan\
BalasHapusSouvenir Pernikahan Murah Kediri