PESAN SINGKAT

Rabu, 14 Desember 2011

Keluarga Berencana (KB)

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pengalaman keberhasilan Indonesia dalam menekan pertumbuhan penduduk lewat program keluarga berencana (KB) masih menjadi acuan bagi negara berkembang lain untuk belajar. Akan tetapi, pencapaian tersebut masih perlu ditingkatkan lagi, mengingat saat ini indikator kependudukan yang dulu signifikan sekarang stagnan. Menurut Kepala BKKBN, Sugiri Syarief, sampai saat ini hampir 5.000 pejabat dan pengelola program kependudukan dan KB dari 94 negara telah datang ke Indonesia untuk bertukar pengalaman bagaimana Indonesia mengelola program KB. Indonesia dianggap berhasil melakukan konsolidasi yakni dengan melibatkan tokoh keagamaan, tokoh masyarakat, serta swasta dalam program KB walau struktur sosial ekonomi masyarakat masih beragam dengan kondisi geografis yang terpencar.
Kini, keberhasilan Indonesia dalam program KB mendapat tantangan cukup besar. Sejak sistem sentralisasi bergeser menjadi desentralisasi, banyak kepala daerah yang enggan mendukung program KB karena dianggap sebagai kegiatan menghambur-hamburkan uang. Pola pikir seperti itu merupakan cermin kurangnya pemahaman sebagian masyarakat terhadap peran KB.
Lebih dari sekadar upaya kuantitatif untuk menurunkan angka kelahiran dan kematian, peran Keluarga Berencana sebenarnya bersifat kualitatif dalam hal perbaikan penanganan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. Ini yang dicapai lewat pengaturan saat kehamilan, jarak kelahiran, dan jumlah anak.[1]

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana pengertian Keluarga Berencana dan Kependudukan ?
2.    Bagaimana pengertian Sentralisasi IUD?
3.    Bagaimana pelaksanaan Program Nasional Kependudukan Nasional Keluarga Berencana serta Sentralisasi IUD?

C.  Tujuan
1.      Mengetahui  pengertian Keluarga Berencana dan Kependudukan.
2.      Mengetahui pengertian Sentralisasi IUD.
3.      Mengetahui pelaksanaan Program Keluarga Berencana serta Sentralisasi IUD.























BAB II
PEMBAHASAN
A.  Keluarga Berencana (KB)
1.    Pengertiannya
Istilah Keluarga Berencana (KB), merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris “Family Planning”; yang dalam pelaksanaannya di negara-negara Barat mencakup dua macam metode (cara); yaitu:
a.    Planning Parenthood
Pelaksanaan metode ini menitik beratkan tanggung jawab kedua orang tua untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang aman, tenteram, damai, sejahtera, dan bahagia; walaupun bukan dengan jalan membatasi jumlah anggota keluarga. Hal ini, lebih mendekati istilah Bahasa Arab yang artinya “mengatur keturunan”.
b.    Birth Control
Penerapan metode ini menekankan jumlah anak, atau menjarangkan kelahiran, sesuai dengan situasi dan kondisi suami-istri. Hal ini, lebih mirip dengan istilah Bahasa Arab yang artinya “membatasi keturunan”. Tetapi dalam prakteknya di Negara barat, cara ini juga membolehkan pengguguran kandungan (abortus dan menstrual regulation), pemandulan (infertilitas) dan pembujangan.[2]
Untuk menjelaskan pengertian Keluarga Berencana di Indonesia, maka penulis mengemukakannya dengan pengertian umum dan khusus; yaitu:
a.    Pengertian Umum
Keluarga Berencana ialah suatu usaha yang mengatur banyaknya jumlah kelahiran sedemikian rupa, sehingga bagi ibu maupun bayinya, dan bagi ayah serta keluarganya atau masyarakat yang bersangkutan, tidak akan menimbulkan kerugian sebagai akibat langsung dari kelahiran tersebut.
b.    Pengertian Khusus
Keluarga Berencana dalam kehidupan sehari-hari berkisar pada pencegahan konsepsi atau pencegahan terjadinya pembuahan, atau pencegahan pertemuan antara sel mani dari laki-laki dan sel telur dari perempuan sekitar persetubuhan.
Dari pengertian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa Keluarga Berencana adalah istilah yang resmi digunakan di Indonesia terhadap usaha-usaha untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga, dengan menerima dan mempraktekkan gagasan keluarga kecil yang potensial dan bahagia.[3]

2.    Keluarga Berencana dan Kependudukan
Pertambahan penduduk di Indonesia, semakin lama semakin menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan, karena tidak sesuai dengan peningkatan perekonomian Negara. Pertambahan penduduk lebih cepat, sedangkan perekonomian Negara jauh lebih ketinggalan daripadanya.
Kalau hal tersebut di atas tidak segera ditanggulanginya, maka akan berpengaruh negatif terhadap pembangunan nasional; karena pemerintah bisa kewalahan menyediakan sarana perekonomian, fasilitas kesehatan, sarana pendidikan, tempat wisata dan sebagainya.
Dengan menyadari ancaman yang bakal terjadi, maka pemerintah menjadikan Program Keluarga Berencana sebagai bagian dari pembangunan Nasional, yang kegiatannya dimulai sejak Pelita I yang lalu.
Dalam kegiatan selanjutnya, Keluarga Berencana di Indonesia mengalami proses yang tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang lainnya; yaitu sangat ditentukan oleh alasan kesehatan. Tetapi perkembangan selanjutnya, semakin disadari lagi, bahwa permasalahannya bertambah luas; di mana Keluarga Berencana dianggap sebagai salah satu cara untuk menurunkan angka kelahiran, sebagai suatu sarana untuk mengendalikan pertambahan penduduk yang semakin pesat.
Sejak tahun 1957, sudah ada perkumpulan swasta yang bergerak di bidang Keluarga Berencana (KB), yang bernama “Perkumpulan keluarga Berencana Indonesia (PKBI)”. Tetapi ketika itu, pemerintah belum melembagakannya, karena faktor suasana politik yang belum memungkinkannya.
Ketika tahun 1967, baru terlihat ada persiapan-persiapan menuju kepada pelaksanaan program tersebut. Dan sejak itu pula, pemerintah mulai mendorong masyarakat Indonesia, untuk menciptakan iklim, yang dapat menguntungkan pelaksanaan progran KB secara Nasional. Maka pada tahun 1968, presiden menginstruksikan kepada Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat, melalui SK. Presiden No. 26 tahun 1968, yang bertujuan untuk membentuk suatu lembaga resmi pemerintah, yang bernama “Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN)”, yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan Keluarga Berencana. Kemudian pada tahun 1969, program tersebut mulai dimasukkan ke dalam program pembangunan Nasional pada Pelita I.
Dan kira-kira satu tahun sesudahnya, maka pemerintah menganggap perlu membentuk suatu Badan Pemerintah, yang diberi nama dengan “Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)”; yang bertugas untuk mengkoordinir semua kegiatan KB di Indonesia. Maka sejak itu pula, masalah kependudukan di Indonesia sudah bisa terkendalikan dengan baik. Serta seluruh lembaga pemerintah dan swasta, mangambil bagian untuk menyukseskan pembangunan Nasional di bidang kependudukan.
Apabila laju pertumbuhan penduduk sudah dapat dikendalikan dengan program KB, maka pemerintah sudah bisa mengupayakan peningkatan kualitas penduduk, dengan cara menyediakan fasilitas perekonomian, kesehatan, pendidikan dan sebagainya; sehingga pada masa yang akan datang, penduduk indonesia semakin tinggi kualitas hidupnya dan semakin maju tingkat kecerdasannya. 

3.    Hukumnya
Pelaksanaan KB dibolehkan dalam ajaran Islam karena pertimbangan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Artinya, dibolehkan bagi orang-orang yang tidak sanggup membiayai kehidupan anak, kesehatan dan pendidikannya agar tak menjadi akseptor KB. Bahkan menjadi dosa baginya, jikalau ia melahirkan anak yang tidak terurusi masa depannya; yang akhirnya menjadi beban yang berat bagi masyarakat, karena orang tuanya tidak menyanggupi biaya hidupnya, kesehatan dan pendidikannya. Hal ini berdasarkan pada sebuah ayat Al-Qur’an yang berbunyi:


 




Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (QS An-Nisa: 9).

Ayat ini menerangkan bahwa kelemahan ekonomi, kurang stabilnya kondisi kesehatan pisik dan kelemahan intelegensi anak, akibat kekurangan makanan yang bergizi, menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Maka di sinilah peran KB untuk membantu orang-orang yang tidak dapat menyanggupi hal tersebut, agar tidak berdosa di kemudian hari bila meninggalkan keturunannya.
Dalam ayat lain disebutkan juga:


Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan... (QS Al-Baqarah: 233).
Ayat ini menerangkan bahwa anak harus disusukan selama dua tahun penuh. Karena itu, ibunya tidak boleh hamil lagi sebelum cukup umur bayinya dua tahun. Atau dengan kata lain, penjarangan kelahiran anak minimal tiga tahun, supaya anak bisa sehat dan terhindar dari penyakit, karena susu ibulah yang paling baik untuk pertumbuhan bayi, dibandingkan dengan susu buatan.
Mengenai alat kontrasepsi yang sering digunakan ber-KB, ada yang dibolehkan dan ada pula yang diharamkan dalam Islam.
Selanjutnya, alat kontrasepsi yang dibolehkannya adalah:
a.    Untuk Wanita; seperti:
1)      IUD (ADR);
2)      Pil;
3)      Obat suntik;
4)      Susuk;
5)      Cara-cara tradisional dan metode yang sederhana; misalnya minum jamu dan metode klender (metode Ogino Knans).
b.    Untuk Pria; seperti:
1)      Kondom;
2)      Coitus Interruptus (Azal menurut Islam).
Cara ini disepakati oleh Ulama Islam bahwa boleh digunakan, berdasarkan dengan cara yang telah dipraktekkan oleh para Sahabat Nabi semenjak beliau masih hidup, sebagaimana keterangan sebuah Hadits yang bersumber dari Jabir, artinya:
 Kami pernah malakukan ‘azal (coitus interruptus) di masa Rasulullah SAW, sedangkan Al Qur’an (ketika itu) masih selalu turun. HR. Bukhari-Muslim. Dan pada Hadits lain mengatakan: Kami pernah melakukan ‘azal (yang ketika itu) Nabi mengetahuinya, tetapi ia tidak pernah melarang kami. HR. Muslim, yang bersumber dari ‘Jabir juga.

Hadits ini menerangkan bahwa boleh melakukan cara kontrasepsi berupa coitus interruptus, karena tidak ada ayat yang malarangnya, padahal ketika Sahabat melakukannya, Al-Qur’an masih selalu turun. Karena itu, seandainya perbuatan tersebut dilarang oleh Allah, maka pasti ada ayat yang turun untuk mencegah perbuatan itu. Begitu juga halnya sikap Nabi ketika mengetahui, bahwa banyak di antara Sahabat yang melakukan hal tersebut, maka beliau pun tidak melarangnya; pertanda bahwa melakukan ‘azal dibolehkan dalam Islam untuk ber-KB.
Sedangkan alat kontrasepsi yang dilarang dalam Islam; adalah:
a.       Untuk Wanita; seperti:
1)      Menstrual Regulation (MR) atau pengguguran kandungan yang masih muda;
2)      Abortus atau pengguguran kandungan yang sudah bernyawa;
3)      Ligasi tuba (mengikat saluran kantong ovum) dan tubektomi (mengangkat tempat ovum). Kedua istilah tersebut disebut sterilisasi.
b.      Untuk Pria; seperti vasektomi (mengikat atau memutuskan saluran sperma dari buah zakar). Dan cara ini juga disebut sterilisasi.
Ada pun dasar dibolehkannya KB dalam Islam menurut dalil akli, adalah karena pertimbangan kesejahteraan penduduk yang diidam-idamkan oleh bangsa dan negara. Sebab kalau pemerintah tidak melaksanakannya, maka keadaan rakyat di masa datang, dapat menderita. Oleh karena itu, pemerintah menempuh suatu cara untuk mengatasi ledakan penduduk yang tidak seimbang dengan perekonomian nasional, dengan mengadakan program KB, untuk mencapai kemashlahatan seluruh rakyat. Upaya pemerintah tersebut, sesuai dengan Qaidah Fiqhiyah yang artinya:
Kebijaksanaan Imam (pemerintah) terhadap rakyatnya bisa dihubungkan dengan (tindakan) kemaslahatan.

Pertimbangan kemashlahatan ummat (rakyat), dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk menetapkan hukum Islam menurut Madzhab Maliky; yang disebutnya sebagai Mashlahah Mursalah atau Istishlah. Tentu saja, di Negara Indonesia yang tercinta ini, pemerintah sebagai pelaksana amanah rakyat, berkewajiban untuk melaksanakan program KB, sesuai dengan petunjuk GBHN. Maka program tersebut hukumnya boleh dalam Islam, karena pertimbangan kemashlahatan ummat (rakyat).

B.  Sterilisasi (Pengakhiran Kesuburan)
1.    Pengertiannya
Sterilisasi merupakan suatu tindakan/metode yang menyebabkan seorang wanita tidak dapat hamil lagi.
Meskipun sterilisasi merupakan tindakan untuk memandulkan wanita atau pria, tetapi tidak dapat disamakan pengertainnya dengan istilah infertilitas; karena istilah tersebut dapat diartikan sebagai berikut:
Infertilitas (kemandulan) menyatakan berkurangnya kesanggupan untuk berkembang biak, tanpa melalui proses operasi.
Jadi perbedannya adalah sterilisasi merupakan pemandulan dengan cara yang disengaja. Maka dapat diketahui bahwa infertilitas (kemandulan) menjadi dua macam; yaitu:
a.       Infertilitas primer; adalah kemandulan yang sama sekali tidak pernah hamil.
b.      Infertilitas sekunder; adalah keadaan wanita yang sudah pernah hamil, lalu menjadi mandul karena faktor umur yang sudah lanjut.

2.    Motivasi dan Cara Pelaksanaannya
Dilaksanakannya sterilisasi karena dilandasi oleh beberapa faktor; antara lain:
a.       Indikasi Medis; yaitu biasanya dilakukan terhadap wanita yang mengidap penyakit yang dianggap dapat berbahaya baginya; misalnya:
1)      Penyakit Jantung;
2)      Penyakit ginjal;
3)      Hypertensi dan sebagainya.
b.      Sosio Ekonomi; yaitu biasanya dilakukan, karena suami istri tidak sanggup memenuhi kewajiban bila mereka melahirkan anak, karena terlalu miskin.
c.       Permintaan Sendiri; yaitu dilakukan, karena permintaan oleh yang bersangkutan, meskipun ia tergolong mampu ekonominya. Karena mungkin istri atau suaminya ingin mengarahkan kegiatannya yang lebih banyak di luar rumah tangganya, maka ia tidak ingin mempunyai anak.
Ada beberapa cara yang sering dilakukan dalam proses sterilisasi wanita; antara lain:
a.       Cara Radiasi; yaitu merusak fungsi ovarium, sehingga tidak dapat lagi menghasilkan hormon-hormon, yang mengakibatkan wanita menjadi menupause.
b.      Cara Operatif, yang terdiri dari beberapa teknik, antara lain:
1)      Ovarektomi; yaitu mengangkat atau memiringkan kedua ovarium, yang efeknya sama dengan cara radiasi;
2)      Tubektomi; yaitu mengangkat seluruh tuba agr wanita tidak bisa lagi hamil, karena saluran tersebut sudah bocor,
3)      Ligasi Tuba; yaitu mengikat tuba, sehingga tidak dapat lagi dilewati ovum (sel-sel telur).
c.    Cara Penyumbatan Tuba; yaitu menggunakan zat-zat kimia untuk menyumbat lubang tuba, dengan teknik suntikan.
Mengenai cara yang biasa dilakukan dalam proses sterilisasi pria, adalah vasektomi; dengan teknik membedah dan membuka vas (bagian dalam buah pelir), kemudian diikat atau dijepit, agar tidak dilewati lagi sperma.

3.    Hukumnya
Dari berbagai cara yang dilakukan oleh Dokter Ahli dalam upaya sterilisasi, baik yang dianggapnya aman pemakaiannya, maupun yang penuh resiko, kesemuanya dilarang menurut ajaran Islam; karena mengakibatkan seseorang tidak dapat mempunyai anak lagi.
Pemandulan yang dibolehkan dalam ajaran Islam, adalah yang sifatnya berlaku pada waktu-waktu tertentu saja (temporer) atau menurut istilah agama bukan sifat yang selama-lamanya. Artinya, alat kontrasepsi yang seharusnya dipakai oleh istri atau suami dalam ber-KB, dapat dilepaskan atau ditinggalkan, bila suatu ketika ia menghendaki anak lagi. Maka alat kontrasepsi berupa sterilisasi, dilarang digunakan dalam Islam, karena sifatnya pemandulan untuk selama-lamanya, kecuali kalau alat tersebut dapat disambung lagi, sehingga dapat disaluri ovum atau sperma, maka hukumnya boleh, karena sifatnya sementara.
Tetapi kalau kondisi kesehatan istri atau suami yang terpaksa, sehingga diadakan hal yang tersebut, menurut hasil penyelidikan seorang dokter yang terpercaya, baru dibolehkan melakukannya, karena dianggap dharurat menurut Islam. Sedangkan pertimbangan darurat, membolehkan melakukan hal-hal yang dilarang; sebagaimana keterangan Qaidah Fiqhiyah yang artinya:
Keadaan darurat membolehkan (melakukan hal-hal) yang dilarang (dalam Agama).[4]

C.  Kependudukan Dan Keluarga Berencana
1.    Program Nasional Kependudukan dan Keluarga Berencana
Dari data-data pada tabel I dan II pada bab ini dapat dilihat:
a)      Bahwa penyebaran dan kepadatan penduduk Indonesia tidak merata, sebab lebih dari 60% penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa yang luasnya hanya sekitar 7% dari luas tanah air;
b)      Bahwa dalam masa 50 tahun terakhir ini (tahun 1930-1980), pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami kenaikan yang cukup tinggi, yaitu: 1,5% untuk tahun 1930-1961, 2,1% untuk tahun 1961-1971, dan 2,3% untuk tahun 1971-1980.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan program transmigrasi dan Keluarga Berencana masih belum berhasil sebagaimana yang diharapkan, padahal pemerintah telah mencanangkan program nasional Kependudukan dan Keluarga Berencana yang mempunyai tujuan demografis, yakni penurunan tingkat pertumbuhan penduduk sebanyak 50% pada tahun 1990 dari keadaan tahun 1971. Itu berarti laju pertumbuhan penduduk Indonesia bisa direm/ditekan sampai sekitar sampai sekitar 1% per tahun sejak tahun 1990. Sudah tentu program nasional Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) itu hanya bisa berhasil dengan baik, apabila mendapat respons yang positif dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari kalangan pribumi (warga negara asli) atau WNI keturunan asing dan warga negara asing yang tinggal di Indonesia.
Mengingat umat Islam di Indonesia merupakan kelompok mayoritas, maka respons positif dan partisipasi aktif dari para ulama dan cendekiawan Muslim sangat diharapkan, demi suksesnya program nasional KKB ini. Sebab suara/fatwa mereka sebagai informal leader sangat diperhatikan oleh umat Islam, karena pelaksanaan program KKB ini tidak hanya menyangkut aspek medis, sosial ekonomi, dan budaya saja, melainkan juga berkaitan dengan aspek agama yang cukup sensitif, yakni masalah hukum halal/haramya.
Karena itu, Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga yang menyuarakan aspirasi umat Islam harus berani mengeluarkan fatwa tentang program KKB, terutama hukum ber-KB, dan cara-cara kontrasepsi yang mana benar-benar boleh dan yang mana haram, dan juga pandangan Islam terhadap gagasan melembagakan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS), yang hanya menghendaki catur warga untuk setiap keluarga, yakni bapak, ibu dan dua anak saja.
Namun, fatwa-fatwa agama baik oleh MUI, lembaga lainnya, atau oleh ulama perorangan harus berdasarkan dalil-dalil agama yang cukup kuat dengan memperhatikan situasi dan kondisi bangsa Indonesia serta budayanya, dan bukan fatwa untuk sekadar legitimasi guna memenuhi pesanan sponsor.

2.    Keluarga Berencana Menurut Pandangan Ulama Islam
Ulama yang membolehkan
a)    Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya’ Ulu muddin” dinyatakan bahwa tidak dilarang karena kesukaran yang dialami si ibu disebabkan sering melahirkan. Motifnya antara lain:
1)      Untuk menjaga kesehatan sang ibu, karena seringnya melahirkan.
2)      Untuk menghindari kesulitan hidup, karena banyak anak.
3)      Untuk menjaga kecantikan si Ibu
b)   Syekh Mahmud Saltud
Pengaturan kelahiran menurut beliau tidak bertentangan dengan ajaran islam. Umpamanya menjarangkan kelahiran karena situasi dan kondisi khusus baik yang hubungannya dengan keluarga yang nersangkutan maupun ada kaitannya dengan kepentingan masayarkat dan negara, alasan yang lain dibolehkan yaitu karena suami dan istri mengidap penyakit yang mengkhawatirkan menular pada anaknya.
c)    Syeh Al-Hairi (Mahfudi besar Mesir)
Menurut beliau KB hukumnya boleh apabila dengan ketentuan:
1)   Untuk menjarangkan anak.
2)   Untuk menghindari suatu penyakit, bila ia mengandung.
3)   Untuk menghindari kemudharatan, bila ia mengandung dan melahirkan dapat membawa kematiannya.
4)   Untuk menjaga kesehatan ibu.
5)   Untuk menghindari anak dari cacat fisik bila suami atau istri mengidap penyakit kotor.

Ulama’ yang melarang
a)    Proft. Dr. M. S. Madkour Guru Besar Hukum Islam pada fakultas hukum. Alasan KB dilarang menurut beliau yaitu: Hal-hal yang mendesak membenarkan pernuatan yang dilarang.
b)   Abu ‘Ala al-Maududi (pakistan), menurut beliau islam suatu ajaran agama yang berjalan sesuai dengan fitrah manusia. Beliau berkata barang siapa yang mengubah kehendak tuhan dan menyalahi undang-undang fitrah adalah memenuhi perbuatan setan.[5]


D.  Sterilisasi dan IUD
1.    Sterilisasi di Indonesia
Sterilisasi ialah memandulkan lelaki atau wanita dengan jalan operasi (pada umumnya) agar tidak dapat menghasilkan keturunan. Sterilisasi berbeda dengan cara-cara/alat-alat kontrasepsi lainnya yang pada umumnya hanya bertujuan menghindari/menjarangkan kehamilan untuk sementara waktu saja. Sedangkan sterilisasi ini, sekalipun secara teori orang yang disterilisasikan masih bisa dipulihkan lagi (reversable), tetapi para ahli kedokteran mengakui harapan tipis sekali untuk bisa berhasil.
Sterilisasi pada lelaki disebut vasektomi atau vas ligation. Caranya ialah memotong saluran mani (vas deverens) kemudian kedua ujungnya diikat, sehingga sel sperma tidak dapat mengalir keluar penis (urethra). Sterilisasi lelaki termasuk operasi ringan, tidak memerlukan perawatan di rumah sakit dan tidak mengganggu kehidupan seksual. Lelaki tidak kehilanga sifat kelelakiannya karena operasi. Nafsu seks dan potensi lelaki tetap, dan waktu melakukan koitus, terjadi pula ejakulasi, tetapi yang terpancar hanya semacam lendir yang tidak mengandung sel sperma.
Lelaki yang disterilisasi itu testis-nya (buah pelir) masih tetap masih tetap berfungsi, sehingga lelaki masih mempunyai hormon yang diperlukan. Juga kepuasan seks tetap sebagaimana biasa. Demikian pula kelenjar-kelenjar yang membuat cairan putih tidak berubah, sehingga pada waktu puncak kenikmatan seks (orgasme), cairan putih masih keluar dari penis.
Sterilisasi pada wanita disebut tubektomi atau tubal ligation. Caranya ialah dengan memotong kedua saluran sel telur (tuba palupii) dan menutup kedua-duanya, sehingga sel telur tidak dapat keluar dan sel sperma tidak dapat pula masuk bertemu dengan sel telur, sehingga tidak terjadi kehamilan.
Sterilisasi baik untuk lelaki (vasektomi) maupun untuk wanita (tubektomi) sama dengan abortus, bisa berakibat kemandulan, sehingga yang bersangkutan tidak lagi mempunyai keturunan. Karena itu, International Planned Parenthood Federation (IPPF) tidak menganjurkan kepada negara-negara anggotanya termasuk Indonesia untuk melaksanakan sterilisasi sebagai alat/cara kontrasepsi mana yang dianggap cocok dan baik untuk masing-masing. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia secara resmi tidak pernah menganjurkan rakyat Indonesia untuk melaksanakan sterilisasi sebagai cara kontrasepsi dalam program KB, karena melihat akibat sterilisasi (kemandulan seterusnya) dan menghormati aspirasi umat Islam di Indonesia.
Sterilisasi baik untuk lelaki (vasektomi), maupun untuk wanita (tubektomi) menurut Islam pada dasarnya haram (dilarang), karena ada beberapa hal yang prinsipal, ialah:
1.    Sterilisasi (vasektomi/tubektomi) berakibat pemandulan tetap. Hal ini bertentangan dengan tujuan pokok perkawinan menurut Islam, yakni: Perkawinan lelaki dan wanita selain bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan suami istri dalam hidupnya di dunia dan akhirat, jug untuk mendapatkan keturunan yang sah yang diharapkan menjadi anak yang saleh sebagai penerus cita-citanya.
2.    Mengubah ciptaan Tuhan dengan jalan memotong dan menghilangkan sebagian tubuh yang sehat dan berfungsi (saluran mani/telur).
3.    Melihat aurat orang lain (aurat besar).
Pada prinsipnya Islam melarang orang melihat aurat orang lain, meskipun sama jenis kelaminnya. Hal ini berdasarkan Hadis Nabi:
Bersabda Rasulullah saw,”Janganlah laki-laki melihat aurat laki-laki lain dan janganlah bersentuhan seorang laki-laki dengan laki-laki lain di bawah sehelai selimut, dan tidak pula seorang wanita dengan wanita lain di bawah satu kain (selimut).” (Hadis riwayat Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi).

Tetapi apabila suami istri dalam keadaan yang sangat terpaksa (darurat/emergency), seperti untuk menghindari penurunan penyakit dari bapak/ibu terhadap anak keturunannya yang bakal lahir, atau terancamnya jiwa si ibu bila ia mengandung atau melahirkan bayi, maka sterilisasi diperbolehkan oleh Islam. Hal ini berdasarkan kaidah hukum Islam yang menyatakan:
Kedaan darurat itu membolehkan hal-hal yang dilarang.
Demikian pula melihat aurat orang lain (lelaki atau wanita) pada dasarnya dilarang (haram), tetapi apabila sangat diperlukan (dianggap penting), seperti seorang lelaki yang hendak khitbah (meminang) seorang wanita, dapat diizinkan melihat aurat kecil (bertemu muka), sebagaimana sabda Nabi kepada Sahabat Al-Mughirah ketika akan menikah dengan seorang wanita:
Lihatlah dia dahulu, karena sesungguhnya dengan melihat (mengenal dahulu) lebih menjamin kelangsungan hubungan antara kamu berdua (Hadis riwayat Al-Tirmidzi dan Al-Nasa’i dari Al-Mughirah).

Apabila melihat aurat itu diperlukan untuk kepentingan medis (pemeriksaan kesehatan, pengobatan, operasi, dan sebagainya), maka sudah tentu Islam membolehkan, karena keadaan semacam ini sudah sampai ke tingkat darurat, sehingga tanpa ada pembatasan aurat kecil atau besar. Asal benar-benar diperlukan untuk kepentingan medis dan melihat sekadarnya saja atau seminimal mungkin. Hal tersebut sesuai  dengan kaidah hukum islam yang menyatakan :
مَااُبِيْحُ لِلضَّرُوْرَةِ بِقَدْرِ تَعذُّ رِهَا.
Sesuatu yang diperbolehkan karena terpaksa, adalah menurut kadar halangannya.
Catatan :
1.      Sterilisasi lelaki (vasektomi) harus dibedakan hukumnya dari khitan lelaki dimana sebagian dari tubuhnya ada pula yang dipotong dan dihilangkan, ialah kulup (quflah atau praeputium), karena kalau kulup yang menutupi kepala zakar (glan penis) tidak dipotong dan dihilangkan justru bisa menjadi sarang penyakit kelamin (veneral diseases), karena itu untuk anak lelaki itu justru disunatkan.
2.      Islam hanya membolehkan sterilisasi lelaki atau wanita, karena semata-mata alasan medis. Selain alasan medis seperti banyak banyak anak atau kemiskinan tidak dapat dijadikan alasan untuk sterilisasi. Tetapi ia dapat menggunakan cara-cara atatu alat-alat kontrasepsi yang diizinkan oleh islam, seperti kondom, oral pill, veginal tablet, dll.

2.         Intra Uterine Device (IUD) di indonesia
       Yang pertama-tama menciptakan IUD adalah Richter dari polandia pada tahun 1909. Kemudian Grafenberg dari jerman pada tahun 1929. Bentuknya seperti cincin dari logam dan dikelilingi dengan benag sutra. Karena banyak terjadi infeksi pada waktu itu, maka metode ini ditinggalkan. Kemudian pada akhir-kahir ini dengan memakai bahan plastik seperti polithelena, metode IUD ini dikembangkan dan disempurnakan, baik mengenai bentuknya, maupun mengenai bahannya sesuai dengan kemajuan teknologi. Dari hasil percobaan atau pengalaman ternyata IUD sebagai alat kontrasepsi sangat efektif (kegagalan menurut Prof. Hanifa Wiknyosastro hanya 1 – 1,5% dan survei dimalang 4% yang gagal dari IUD).
IUD dipasang 2 atau 3 hari sesudah haid atau 3 bulan sesudah melahirkan dan memasangnya harus dilakukan oleh tenaga yang telah terlatih, serta perlu adanya kontrol sesudah pemasangan. Dengan alat IUD ini bisa timbul side effect atau komplikasi, seperti pendarahan, mules-mules, alat keluar spontan, tetapi tidak berbahaya.
       Meskipun IUD sebagai alat kontrasepsi diakui sangat efektif dan side effect nya tidak berbahaya, tetapi secara ilmiah, mekanisme kerja IUD hingga kini masih belum jelas 100%. Sebab banyak teori atau hipotesis dari para ahli kedokteran yang berbeda-beda mengenai mekanisme alat ini, baik tingkat nasional maupun internasional. Sekalipun IUD ini terus diselidiki dan disempurnakan, seperti baru-baru ini ada penemuan baru dalam rangka untuk menyempurnakan IUD dengan memasang megnet elektronik.
       Misalnya Prof. M. Toha membuat kesimpulan dalam tulisannya yang berjudul sedikit tentang IUD sebagai berikut :
1.             IUD dalam rahim tidak menghalangi pembuahan sel telur. Hal ini sesuai dengan pengakuan IPPF (International planned Parenthood Federation). Bahwa dengan adanya IUD sel mani masih dapat masuk dan dapat membuahi sel telur.
2.             94% dari wanita yang mengunakan IUD tidak menjadi hamil melaliu mekanisme kontranidasi(menghalang-halangi bersarangnya telur yang telah dibuahi pada dinding rahim).
3.             Telur itu adalah permulaan hidup manusia yang harus dihormati
4.             Pencegahan meneruskan hidup dari telur sama dengan pengguguran atau menggagalkan kelahiran yang normal dari janin yang dapat hidup terus diluar kandungan.
Demikian pula Dr. H. Ali Akbar yang dikenal mempunyai keahlian dalam dua bidang kedokteran dan agama membuat kesimpulan sebagai berikut, “maka saya berpihak kepada yang mengharamkan pengguguran, juga mengharamkan pemakaian spiral ini karena sifatnya bukan contraceptive tetapiabortive”.
       Tetapi banyak ahli kedokteran tidak setuju pendapat tersebut di atas. Misalnya Prof. M. Djuwari tidak dapat menerioma pendapat Prof. M. Toha dan Dr. H. Ali Akbar, bahwa pemasangan IUD itu berarti pengguguran terus-menerus, karena :
1.         Kontranidasi karena IUD termasuk sama dengan abortus provocatus
2.         Sumpah dokter yang disitir oleh Prof. M. Toha, yakni menghormati setiap hidup insan mulai dari pembuahan, sebenarnya kini sudah diubah.
Kapan human life dimulai?. Hal ini perlu sekali di clear kan. Apakah hidup manusia itu dimulai sejak terjadi pembuahan sehingga bentuk pencegahan kehamilan hanya diizinkan sebelum terjadi pembuahan atau apakah hidup manusia dimulai sejak janin diberi nyawa oleh Tuhan sehingga pengguguran atau pencegah kelahiran masih bisa diizinkan sebelum janin bernyawa atau berumur 4 bulan.
       Pandangan islam tentang IUD yakni pada fatwa hukum dari ulama dan cendekiawan muslim di indonesia sangatlah menarik untuk dibahas dan dikaji lebih dalam lagi. Musyawarah para ulama terhadap batas mengenai KB dipandang dari segi hukum syariat islam pada tanggal 26 sd 29 juni 1972 memutuskan antara lain pemakaian IUD dan sejenisnya tidak dapat dibenarkan, selama masih ada obat-obat dan alat-alat lain, karena untuk pemasangannya harus dilakukan dengan melihat aurat besar wanita; hal mana diharamkan oeleh syariat islam, kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa. Kemudian musyawarah nasional ulama tentang kependudukan, kesehatan, dan pembangunan pada tanggal 17 sd 20 oktober 1983 memutuskan  antara bahwa; pengunaan alat kontrasepsi dalam rahim IUD dalam pelaksanaan KB dapat dibenarkan jika pemasangan dan pengontrolannya dilakukan oleh tenaga medis wanita, atau jika terpaksa dapat dilakukan oleh tenaga medis pria dengan didampingi oleh suami atau wanita lain.
       Keputusan musyawarah ulama terbatas tentang pemakaian IUD tampak berbeda dengan keputusan Musyawarah nasional ulama, sebab pertama menyatakan bahwa pemakaian IUD secara prinsip  dilarang, kecuali dalam keadaan darurat sangat terpaksa, sedangkan yang kedua menyatakan bahwa haram tidaknya IUD tergantung pada teknik pemasangan dan pengkontrolannya. Sayang kedua macam keputusan musyawarah ulama tersebut tidak disertai dengan dalil-dalil syar’i secara terperinci. Dan yang lebih menarik lagi bahwa K.H. Syukur Gozali(salah seorang ketua MUI pusat), adalah satu-satunya ulama yang turut mentandatangani dua macam keputusan musyawarah tentang IUD yang bertentangan itu. Sehingga timbul beberapa pertanyaan.
       Menurut K.H. Syukur Gozali fatwa hukum suatu masalah memang bisa dimungkinkan, karena illat hukum yang menjadi alasan hukum ijtihat itu telah berubah karena waktu, zaman dan situasi kondisinya telah berubah pula. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum islam yang berbunyi:
اَالْحُكْمُ يَدُ وْرُمَعَ الْعِلَّةِ وُجُوْدً وَعَدَمًا
Hukum itu berputar diatas illatnya (alasan yang menyebabkan adanya hukum) adanya atau tidak adanya
Menurut Zuhdi, pendapat yang mengharamkan pemasangan IUD kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa mempunyai landasan dalil syar’i yang sangat kuat, atara lain:
Hadis ini tampaknya dapat dijadikan dalil oleh pendapat pertama ini. Bahwa pemasangan IUD itu tidak boleh dilakukan oleh seorang yang bukan muhrimnya, sekalipun oleh tenaga medis, kecuali kalau benar-benar dalam keadaan terpaksa.
Dalam rapat senat terbuka IAIN Al Jami’ah Sunan Ampel disurabaya, yakni bahwa hukum IUD trmasuk dalam kategori syuhbat (tidak jelas halal haramnya) karena mekanisme alat ini masih belum clear dikalangan dunia kedokteran sebab alat ini masih dipermasalahkan., hingga ikatan dokter indonesia (IDI) pada tahun 1969 memandang perlu mengusulkan perubahan sumpah dokter untuk indonesia dengan maksud untuk membolehkan pemakaian IUD.
       Menghadapi hal-hal yang masih syubhat tersebut maka menurut ajaran islam kita harus bersikap hati-hati dengan cara menghindarinya dan menjauhinya, demi menjaga kemurnian jiwa dalam pengabdiaan kita kepada Allah. Karena itu selama kerja IUD belum jelas sepenuhnya dengan ditandai adanya perbedaan diantara dpendapat dikalangan kedokteran yang tidak bisa dikomfirmasi hingga sekarang tentang mekanisme IUD dan sifatnya Abortive, maka IUD sebagai alat kontrasepsi tidak dibenarkan oleh islam, secuali benar-benar dalam keadaan darurat.
Berdasarkan dalil-dalil syar’i sebagai berikut:
Ÿwurß#ø)s?$tB}§øŠs9y7s9¾ÏmÎ/íOù=Ïæ4¨bÎ)yìôJ¡¡9$#uŽ|Çt7ø9$#uryŠ#xsàÿø9$#ur@ä.y7Í´¯»s9'ré&tb%x.çm÷YtãZwqä«ó¡tBÇÌÏÈ
dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Ayat ini dengan jelas mengingatkan kita agar kita tidak tidak ikut-ikutan melakukan sesuatu yang masih belum jelas tentang hukum yang sebenarnya, seperti IUD tersebut
Hadis ini mengingatkan kita agar kita menghindari dan menjauhi hal-hal yang syubhat demi menjaga agama dan  kehormatan kita.[6]




BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.    Istilah Keluarga Berencana (KB), merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris “Family Planning”; yang dalam pelaksanaannya di negara-negara Barat mencakup dua macam metode (cara); yaitu:
a.              Planning Parenthood                   b. Birth Control
2.    Sterilisasi ialah memandulkan lelaki atau wanita dengan jalan operasi (pada umumnya) agar tidak dapat menghasilkan keturunan. Sterilisasi berbeda dengan cara-cara/alat-alat kontrasepsi lainnya yang pada umumnya hanya bertujuan menghindari/menjarangkan kehamilan untuk sementara waktu saja.
3.    Penyebaran dan kepadatan penduduk Indonesia tidak merata, sebab lebih dari 60% penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa yang luasnya hanya sekitar 7% dari luas tanah air. Bahwa dalam masa 50 tahun terakhir ini (tahun 1930-1980), pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami kenaikan yang cukup tinggi, yaitu: 1,5% untuk tahun 1930-1961, 2,1% untuk tahun 1961-1971, dan 2,3% untuk tahun 1971-1980.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan program transmigrasi dan Keluarga Berencana masih belum berhasil sebagaimana yang diharapkan, padahal pemerintah telah mencanangkan program nasional Kependudukan dan Keluarga Berencana yang mempunyai tujuan demografis, yakni penurunan tingkat pertumbuhan penduduk sebanyak 50% pada tahun 1990 dari keadaan tahun 1971.

B.  Saran
Keberhasilan Indonesia dalam program KB mendapat tantangan cukup besar. Sejak sistem sentralisasi bergeser menjadi desentralisasi, banyak kepala daerah yang enggan mendukung program KB karena dianggap sebagai kegiatan menghambur-hamburkan uang. Pola pikir seperti itu merupakan cermin kurangnya pemahaman sebagian masyarakat terhadap peran KB.


[1] Kompas, Kesuksesan KB di Indonesia Masih Jadi Acuan, Jakarta, 13, agustus, 2011
[2] Mahjuddin, Haji. 2008. Masailul Fiqhiyah; Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini. Jakarta. Hal 66

[3] [3] Mahjuddin, Haji. 2008. Masailul Fiqhiyah; Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini. Jakarta. Hal 66
[4] [4] Mahjuddin, Haji. 2008. Masailul Fiqhiyah; Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini. Jakarta. Hal  77

[5] M. Ali. Hasan.1997. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah. Jakarta, hal 36-38

[6] Prof. Drs.H.Zuhdi,Masjfuk. 1988. Masail Fiqiyah. Jakarta, hal: 67-69

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GALERI

Photobucket