PESAN SINGKAT

Kamis, 15 Desember 2011

Kode & etika dakwah


BAB II
PEMBAHASAN

1)   Pembinaan Kader
a.    Pengembangan Sumber Daya Manusia (Kader)
Kaderisasi merupakan hal terpenting dalam organisasi. Faktor pertama yang harus diperhatikan dalam sebuah organisasi adalah manusia. Karena eksistensi sebuah organisasi ditentukan oleh faktor manusia yang mendukungnya. Walaupun dalam perkembangannya, manusia pernah diperlukan hanya sebagai alat semata yang nilainya sama dengan alat produksi untuk mencapai hasil yang maksimal. Namun demikian tidak dapat dinafikan, bahwa kunci keberhasilan sebuah organisasi bukan terletak pada alat-alat mutakhir yang digunakan, akan tetapi terletak pada manusia yang berada di balik alat atau sumber daya tersebut. Jadi, tidak heran jika sumber daya manusia akan terus relevan ditempatkan pada sentral organisasi.
Sumber daya manusia (human resources) dapat diklasifikasikan menjadi dua aspek, yaitu kuantitas dan kualitas. Kuantitas menyangkut jumlah sumber daya manusia (populasi penduduk) yang sangat penting kontribusinya. Sedangkan aspek kualitas menyangkut mutu dari sumber daya manusia yang berkaitan dengan kemampuan fisik maupun kemampuan nonfisik (kecerdasan nonmental) yang menyangkut kemampuan bekerja, berpikir dan keterampilan-keterampilan lainnya.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pengembangan sumber daya manusia secara makro adalah suatu proses peningkatan kualitas atau kemampuan manusia dalam rangka mencapai suatu tujuan. Proses peningkatan ini mencakup perencanaan, pengembangan, dan pengelolaan sumber daya manusia.
Sedangkan pengembangan sumber daya manusia secara mikro adalah suatu proses perencanaan pendidikan, pelatihan dan pengelolaan tenaga atau karyawan untuk mencapai hasil yang maksimal.
Dalam perspektif Islam, pengembangan sumber daya manusia merupakan suatu keharusan. Artinya, Islam sangat peduli terhadap peningkatan harkat dan martabat manusia, karena dalam Islam manusia berada pada posisi yang terhormat. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Isra’: 70.
ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur šÆÏiB ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$# óOßg»uZù=žÒsùur 4n?tã 9ŽÏVŸ2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxŠÅÒøÿs? ÇÐÉÈ  
Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
   Secara umum pengembangan sumber daya manusia harus berorientasi pada pendekatan diri kepada Allah swt. Di mana ada beberapa parameter yang harus diperhatikan sebagai sebuah rumusan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang produktif, yaitu: pertama, peningkatan kualitas iman dan takwa; kedua, peningkatan kualitas hidup; ketiga, peningkatan kualitas kerja; keempat, peningkatan kualitas karya; kelima, peningkatan kualitas pikir.
Dalam kaitannya dengan istilah manajemen, maka pengembangan sumber daya manusia tidak dapat dipisahkan dari aspek keseimbangan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai universal Islam yang merupakan rahmatan lil ’alamin. Pengembangan manajemen Islam mengandung tujuan untuk mengembangkan potensi da’i.
Merupakan sebuah keniscayaan bagi pemimpin atau manajer muslim untuk membina para da’i dalam program latihan dan pengembangan terencana, untuk meningkatkan kualitas pribadi, maupun keterampilan teknis mereka. Upaya peningkatan kualitas ini merupakan suatu latihan yang diorganisasikan untuk meningkatkan kualitas kerja (job performance) dan mengembangkan potensi setiap da’i.
Menurut Muhammad imanudin Abdurrahim, dalam peningkatan job performance seorang karyawan dalam tugas yang sedang dijalankan digunakan istilah latihan (training). Sementara dalam mempersiapkan karyawan untuk suatu tugas masa depan atau promosi jabatan ke depan digunakan istilah pendidikan (education). Sedangkan dalam rangka pertumbuhan pribadi yang tidak berhubungan langsung dengan tugas, digunakan istilah pengembangan (development). Dalam program sari insani, hal ini juga berlaku bagi pengembangan kader da’i. Ketiga komponen tersebut perlu dikembangkan dengan program latihan, pendidikan, serta pengembangan kader da’i sehingga dapat diwujudkan profesionalisme sumber daya da’i yang berkualitas.
Dalam dunia dakwah pengembangan sumber daya da’i lebih ditekankan pada pengembangan aspek mental, spiritual, dan emosi serta psycho-motoric manusia untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, cita ideal sumber daya manusia muslim adalah kemampuan dalam penguasaan ilmu dan teknologi yang diimbangi dengan kekuatan keimanan, dengan identifikasi sebagai berikut.
1.    Ciri keagamaan
Seorang da’i sebagai kekuatan sumber daya manusia yang ideal harus memiliki keimanan dan keyakinan yang kuat dan konsisten, sehingga mampu mempengaruhi perilaku dan culture hidupnya. Sebagaimana rumusan definisi iman, yaitu dengan “meyakini dengan hati, mengikrarkan dengan perkataan, dan mengamalkan dengan perbuatan”.
Pada tahapan aplikasi keimanan seorang da’i tidak cukup hanya pada taraf keyakinan dan pengakuan saja, tetapi juga harus diimbangi dengan perilaku kultural yang mencerminkan keyakinan tersebut, sesuai dengan aturan normatif al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam konteks kekaryaannya, seorang da’i harus memiliki sikap tanggung jawab dalam menjalankan profesinya. Di samping harus memiliki cerminan akhlak yang baik dalam kehidupan sosial masyarakatnya, dalam arti memiliki potensi membangun lingkungan sosial yang harmonis, sehingga mencerminkan sikap persaudaraan universal yang diikat oleh kesamaan akidah.
Dengan ciri kualitas keagamaan dan moral dari seorang da’i diharapkan dapat mengajak seluruh komunitas untuk mewujudkan citra umat terbaik sebagaimana dicita-citakan dalam al-Qur’an. Untuk mewujudkan citra ideal ini tidak cukup hanya dengan kekuatan akidah, ibadah dan akhlak semata, namun para da’i harus memiliki kekuatan keilmuan, keterampilan, dan manajemen yang baik.
2.    Ciri keilmuan
Ciri keilmuan seorang da’i ditandai dengan kemampuan skill yang bagus, di samping keahlian dan keterampilan. Keterampilan ini dikonotasikan dalam pelaksanaan program. Hal ini akan berkaitan langsung dengan jenjang pendidikan yang ditempuh. Jika jenjang pendidikan ini belum bisa diperoleh oleh para da’i, tetapi mereka telah memiliki peran profesional, maka bisa diimbangi dengan mengikuti pendidikan dan latihan secara reguler yang dilaksanakan oleh instansi dakwah.
Da’i yang memiliki keterampilan dan keahlian yang diimbangi dengan etos kerja yang baik, niscaya akan menjadi kelompok manusia produktif yang akan mampu meningkatkan kualitas hidupnya sendiridan mampu memberikan kontribusi positif bagi kehidupan masyarakatnya. Dengan posisi ini ia akan dapat mencapai posisi khalifah Allah yang mampu merefleksikan keimanan dan ketakwaan dalam seluruh karya dan perbuatannya, di samping memiliki integritas sosial di tengah masyarakat sebagai wujud amanah Allah pada dirinya. Untuk mewujudkan seorang da’i yang ideal dalam lembaga dakwah, maka harus diadakan pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya da’i secara maksimal.
3.    Ciri motivasi
Motivasi merupakan keadaan internal individu yang dapat melahirkan kekuatan, kagairahan dan dinamika, serta pengarahan tingkah laku pada tujuan. Dengan demikian, motivasi merupakan unsur intrinsik yang dapat membangkitkan dorongan individu untuk mencapai sesuatu sesuai dengan tujuannya.
Untuk memotivasi seseorang perlu dipahami tingkat hierarki kebutuhannya saat ini, dan memfokuskan perhatian pada pemenuhan kebutuhannya tersebut. Tingkat kebutuhan itu dibagi menjadi empat macam.
a.    Kebutuhan urutan bawah adalah kebutuhan fisiologis dan keamanan yang umumnya dipenuhi dari luar pribadi yang bersangkutan.
b.    Kebutuhan urutan bawah adalah kebutuhan sosial, harga diri, dan aktualisasi diri yang dipenuhi dari dalam diri seseorang yang antara lain berupa kepuasan dan pengakuan.
Zakiah Daradjat menyebutnya sebagai kebutuhan primer, yang setiap individu akan melakukannya sebagai usaha untuk memenuhinya. Sementara P. Siagin menyatakan, bahwa faktor fisiologis ini merupakan basic need yang tidak dapat distandarisasi secara kualitatif; ketika seseorang telah mampu memenuhi semua kebutuhan dasarnya berupa sandang, pangan dan papan, maka dia akan memacu produktivitasnya untuk meningkatkan kualitas.
Sementara itu, Allah menegaskan bahwa tingkat produktivitas seseorang sangat dipengaruhi oleh intensitas dan keterampilan mereka dalam bekerja. Ini bisa kita lihat dalam QS. Al-Anbiya: 105
ôs)s9ur $oYö;tFŸ2 Îû Íqç/¨9$# .`ÏB Ï÷èt/ ̍ø.Ïe%!$# žcr& uÚöF{$# $ygèO̍tƒ yÏŠ$t6Ïã šcqßsÎ=»¢Á9$# ÇÊÉÎÈ  
Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh.”
Pada ayat di atas, Allah menegaskan, bahwa alam ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Nya yang saleh, yaitu mereka yang memiliki keterampilan dan keahlian untuk mengolah alam semesta ini, serta memiliki intensitas yang tinggi.
Dari teori tersebut, maka bagi seorang da’i merupakan suatu kesempatan untuk mengaktualisasikan diri sebagai bagian dari upaya peningkatan motivasi kerja secara individu. Yakni mereka perlu diberi kesempatan untuk mengaktualisasikan bakat dan kemampuan mereka dalam bekerja dengan memberi peluang untuk mengekspresikan kemampuannya dalam meningkatkan produktivitas.
Secara umum, sumber daya da’i yang ideal adalah mereka yang memiliki keterampilan atau keahlian tertentu, memiliki motivasi yang tinggi untuk mendayagunakan keterampilannya tersebut, dan mampu membangun dirinya baik secara jasmani maupun rohani, serta mampu mengaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan program pendidikan dan pengembangan manajemen bagi para da’i yang berdasarkan nilai-nilai Islam.[1]

b.   Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Dakwah
Secara alami dalam diri manusia telah dibekali berupa potensi serta daya yang dapat dibangun dan dikembangkan. Potensi tersebut dalam Al Qur’an terdapat dalam surat Ali Imran: 31
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$# ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$# öÏÿøótƒur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRèŒ 3 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÊÈ  
Artinya: Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran: 31)

Adapun daya dan potensi manusia tersebut meliputi:
1.    Daya tubuh yang memungkinkan manusia memiliki keterampilan dan kemampuan secara tekhnis.
2.    Daya moral yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan moral, etika, dan estetika untuk berimajinasi dan merasakan kebesaran Ilahi.
3.    Daya akal yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmu dan tekhnologi.
4.    Daya hidup yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, mempertahankan hidup, dan menghadapi tantangan.
Dari keempat potensi tersebut apabila dibangun dan dikembangkan secara optimal dan seimbang akan menjadi sebuah aset dakwah yang sangat besar dalam rangka penyediaan sumber daya manusia yang produktif dan berkualitas. Sehingga dari sini dapat dibangun sebuah tujuan secara jasmani dan rohani bagi para penggerak dakwah. Adapun tujuan tersebut meliputi:
1.    Tujuan Pembangunan (Jasmani)
Berdasarkan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi, maka ia akan berperan sebagai pribadi yang akan selalu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, karena manusia dibekali dengan kekuatan jasmani.
2.    Tujuan Pembangunan Rohani (Spiritual)
Apabila dikaitkan dengan kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang luas, maka pengembangan sumber daya manusia adalah membantu orang kea rah kehidupan yang lebih sejahtera dan mengurangi ikatannya dengan tradisi. Menurut Islam, pengembangan sumber daya manusia adalah dimaksudkan untuk membina membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifahNya untuk membangun dan memakmurkan dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah SWT.[2] Konsep tersebut didasarkan pada pandangan, bahwa manusia dalam Islam adalah sebagai khalifah Allah di muka bumi, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al-Baqarah: 30
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ  
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S Al-Baqarah: 30)
Adapun tujuan pengembangan sumber daya manusia menurut Islam adalah membentuk manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT.[3] Sedangkan tujuan utama dari manajemen sumber daya manusia (kader) adalah untuk meningkatkan kontribusi kader terhadap organisasi dalam rangka mencapai produktivitas organisasi yang bersangkutan.

c.    Ciri-ciri Pengembangan Kader yang Efektif
Program pengembangan sumber daya manusia (kader) yang berhasil adalah yang bersifat sistematik, yakni memiliki tujuan yang spesifik dan berkelanjutan dalam memberikan program pelatihan yang kongkret dan mudah bagi para partisipan. Di samping itu, ciri yang lain adalah nilai sebuah kebutuhan dan rencana yang terpadu. Program ini juga harus melibatkan semua unsure-unsur dakwah yang terkait.
Dalam proses pelatihan para da’I tidak hanya mendengarkan presentasi topik-topik pembahasan saja, melainkan melihat tekhnik-tekhnik yang baru diperagakan oleh pelatih, sehingga memiliki kesempatan untuk mengaplikasikannya dalam tataran praktik. Para pemimpin dakwah memiliki program pelatihan yang baik jika mengikuti prinsip-prinsip belajar. Para da’I ini akan belajar dan mendapatkan ilmu lebih cepat dan lebih baik ketika mereka:
a.    Kemauan untuk berkembang
b.    Mengetahui alasan mengapa belajar itu penting untuk pengembangan dirinya
c.    Percaya apa yang dipelajari akan membantunya berkembang
d.   Bebas dari banyak tekanan dan pesimisme
e.    Percaya diri dan merasa mampu untuk mempelajari apa yang diharapkan dari dirinya
f.       Diberikan informasi yang akan dipelajari dengan berbagai cara
g.    Belajar sambil mengaplikasikan dalam masyarakat
h.    Diberikan feedback tentang kemajuannya
i.        Diberikan penghargaan karena pekerjaannya berkualitas baik
Sementara itu penyelenggara dalam sebuah pelatihan (yang dilakukan) juga harus memperhatikan beberapa hal dan beberapa petunjuk untuk dapat menciptakan sumber daya manusia (kader) da’i yang diinginkan dengan program-program pengembangan yang berkualitas untuk para da’i.
Adapun hal-hal tersebut adalah sebagai berikut:
-  Penyelenggara atau badan pelaksana harus melibatkan semua elemen yang  terkait guna kelancaran dan kesuksesan pelatihan
-  Para peserta dalam hal ini pelaku dakwah harus tidak merasa bahwa program pelatihan ini sebagai hukuman atau karena mereka tidak mampu.
-  Program pelatihan dakwah harus merupakan model praktik pendidikan dan pelatihan berkualitas sehingga mencerminkan apa yang diharapkan oleh para da’i dalam melakukan misinya.
-  Kapan, di mana, dan materi apa yang akan diberikan, serta berapa lama program akan berlangsung. Kebutuhan serta keinginan dari para peserta harus diperhatikan ketika membuat jadwal pelatihan.
-  Merancang program pelatihan harus berada pada tujuan dakwah.
-  Follow-up harus dilakukan karena merupakan kunci sukses pelatihan.
 
d.   Mengembangkan Individu Da’i yang Profesional
Pengembangan sikap profesionalisme dalam lembaga dakwah, berarti bekerja dengan seluruh elemen yang ada, namun pada saat-saat tertentu focus dakwah harus diarahkan pada individu atau kelompok kecil. Mad’u memiliki kebutuhan serta karakter yang berbeda-beda, begitu pula para da’i juga memiliki style yang berbeda dalam menghadapinya. Pengembangan sumber daya da’i dengan pendekatan individual memungkinkan para da’i itu sendiri untuk belajar melalui berbagai cara. Misalnya, seorang da’i dapat memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan dengan mengikuti seminar, lokakarya, diklat, atau pelatihan sejenisnya.
Hal inilah yang kemudian diharapkan bisa membuat para pelaku dakwah dapat bertindak secara professional. Istilah professional ini, berarti para ahli yang berada dalam bidangnya yang telah memperoleh pendidikan atau pelatihan yang khusus untuk pekerjaan tersebut.[4] Professional tersebut memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.    Memiliki suatu keahlian khusus
b.    Merupakan suatu panggilan khusus
c.    Memiliki teori-teori yang baku secara universal
d.   Mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri
e.    Dilengkapi dengan kecakapan yang diagnostic dan kompetensi yang aplikatif
f.       Mempunyai otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya
g.    Memiliki kode etik
h.    Memiliki organisasi profesi yang kuat

2)   Etika Dakwah Islamiyah
Etika berasal dari kata ethos yaitu untuk suatu kehedak baik yang tetap. Etika berhubungan dengan soal baik atau buruk, benar atau salah. Etika adalah jiwa atau semangat yang menyertai suatu tindakan. Dengan demikian etika dilakukan oleh seseorang untuk perlakuan yang baik agar tidak menimbulkan keresahan dan orang lain menganggap bahwa tindakan tersebut memang memenuhi landasan etika.[5]
Etika tidak sama dengan ajaran moral, karena etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Jadi etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran, oleh sebab itu etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama.[6]
Baik dan buruk berhubungan dengan kemanusiaan dan sering dikaitkan dengan perasaan dan tujuan seseorang, tidak berlaku umum dan merata. Seorang yang menganggap suatu perbuatan itu baik, belum tentu dianggap baik pula oleh pandangan orang lain, tergantung pada adat kebiasaan yang dipakai oleh tiap-tiap kelompok. Meskipun dengan demikian, etika berlainan pula dengan adat, karena adat hanya memandang lahir, melihat tindakan yang dilakukan, sedang etika lebih memerhatikan hati dan jiwa orang yang melakukannya, dengan maksud apa ia dilakukan.[7]
Abudin Nata menyimpulkan bahwa etika sedikitnya berkaitan dengan empat hal, yaitu:[8]
1.    Dari segi pemahamannya, etika berusaha membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
2.    Dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran dan filsafat.
3.    Dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan manusia tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, dan sebagainya.
4.    Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifatrelatif yakni berubah-rubah sesuai tuntutan zaman.
Pengertian etika dakwah Islamiyah: Ilmu yang mempelajari aspek-aspek mendalam dari perbuatan dakwah yang berkaitan dengan baik  buruknya perilaku, dan apa yang seharusnya dan apa yang tidak sepatutnya dilakukan oleh setiap pelaku dakwah sesuai dengan syariat Islam.
Da’i atau da’iyah adalah subjek atau pelaku dakwah. Oleh karena itu bagi seorang da’i atau da’iyah memiliki moralitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan tolak ukur yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengukur kualitas perilaku (moralitas) seseorang adalah norma-norma moral. Norma-norma moral bagi da’i atau da’iyah tentunya akan sangat diukur oleh norma-norma yang diajarkan oleh syariat Islam, yang kemudian akan menjadi moralitas yang berbentuk dalam akhlak da’i atau da’iyah.[9]
Beberapa etika dakwah Islamiyah yang hendaknya dilakukan oleh para juru dakwah dalam melakukan dakwahnya antara lain sebagai berikut:
1.    Sopan
Sopan berhubungan dengan adat dan kebiasaan yang berlaku secara umum dalam tiap kelompok. Suatu pekerjaan dianggap tidak sopan, tatkala bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di suatu komunitas. Standar atau ukuran suatu kesopanan bagi masing-masing komunitas tidak sama. Masing-masing memiliki standar sendiri, akan tetapi aturan yang berlaku umum dapat dijadikan rujukan dalam menentukan suatu standar kesopanan.[10]
Kesopanan harus kita pelihara dalam perbuatan dan pembicaraan. Cara mengenakan pakaian, bentuk serta model pakaian harus dijaga serapi mungkin, sehingga tidak melanggar norma-norma tertentu dan tidak membosankan. Tindakan dan sikap yang dilakukan oleh da’i juga harus sejalan dengan pembicaraan yang disampaikan. Gerak-gerik yang dilakukan oleh da’i harus dijaga kesopanannya. Karena itulah kesopanan menjadi hal yang dipertimbangkan oleh da’i dalam melakukan aktivitas dakwahnya.
2.    Jujur
Dalam menyampaikan aktivitas dakwahnya, seorang da’i hendaklah menyampaikan suatu informasi dengan jujur. Terutama dalam mengemukakan dalil-dalil pembuktian. Pembicaraan yang disampaikan haruslah benar, tidak menyampaikan berita bohong dan memutarbalikkan keadaan yang sebenarnya. Tidak sepantasnya seorang da’i berdusta, sebab dusta akan merugikan dirinya sendiri dan mad’u-nya. Seorang da’i harus senantiasa memelihara tutur katanya. Ia tidak berbicara kecuali dengan kejujuran, ia tidak berfatwa melainkan dengan ilmu serta pemahaman yang diketahuinya. Dengan demikian tidaklah layak bagi seorang da’i berkata-kata dan berfatwa dengan kedustaan.[11]
3.    Tidak Menghasut.
Seorang da’i dalam melaksanakan tugas dakwahnya, ia tidak boleh menghasut apalagi memfitnah, baik kepada pribadi lain maupun kepada kelompok lain yang berselisih faham. Karena jika itu dilkukan, yang bingung dan resah adalah masyarakat pendengar sebagai objek dakwah. Adapun yang perlu diingat oleh da’i adalah bahwa dalam melakukan tugas dakwahnya itu ia harus menyampaikan kebenaran bukan harus menghasut atau melakukan provokasi.[12]
4.    Tawadhu (tidak sombong)
Sifat tawadhu merupakan akhlak orang-orang sholih, orang yang tawadhu’ tidak suka menonjolkan diri, tidak sombong dan selalu menjaga agar dirinya tetap dihargai orang lain menurut apa adanya. Seorang da’i yang tawadhu’ akan selalu menjauhkan diri dari sifat dan perbuatan yang berlebih-lebihan, selalu bersikap toleran terhadap sesamanya, menghormati dan menghargai pendapat orang lain, serta pendai bergaul. Dengannya pula, seorang da’i dapat menarik banyak pendukung dan pengikut, serta menjadikan dirinya dicintai oleh masyarakat, sehingga apa yang diucapkannya dapat menggugah hati sanubari mereka.[13] Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
ôÙÏÿ÷z$#ur y7yn$uZy_ Ç`yJÏ9 y7yèt7¨?$# z`ÏB šúüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÊÎÈ  
Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara’: 215)
5.    Al-Rahmah (rasa kasih sayang)
Sesungguhnya setiap da’i harus mempunyai hati yang mengalir rasa kasih sayang kepada sesama manusia dan hendaklah berbuat baik kepada mereka serta menasehati mereka. Tanda kasih sayang kepada mereka adalah mengajak mereka kepada agama Allah, karena dengan penerimaan dakwah itulah kelepasan mereka dari adzab neraka dan keberuntungan mereka dengan memperoleh keridhaan Allah. Dengan sikap itu, bermacam-macam keinginan dan kebaikan dapat dicapai, yang tidak mungkin tercapai dengan cara kekerasan dan kekasaran.[14]
6.    Uswah Hasanah
Seorang da’i harus dapat menjadi contoh atau teladan yang baik bagi para mad’u-nya, maka dari itu bagi seorang da’i sesungguhnya harus menjadi uswah hasanah terhadap apa yang didakwahkan. Jika tidak, maka tidak akan ada orang yang mau mendengar perkataannya. Walaupun ia adalah orang yang pandai dalam ilmu agama, tetapi apabila perilakunya tidak sesuai dengan syari’at Islam dan norma-norma yang berlaku, maka ilmu tersebut tidak akan bermanfaat dan orang-orang tidak akan melihatnya dengan pandangan hormat.[15]
7.    Mempunyai niat yang baik
Seorang da’i harus mempunyai niat yang baik dalam berdakwah, sehingga tidak mengharapkan imbalan, harta, atau kedudukan, tetapi semata-mata mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Beberapa perilaku etika yang berlaku dalam masyarakat, hendaklah dipahami oleh setiap da’i atau mubaligh dalam melakukan aktivitas dakwahnya. Sehingga dengan demikian aktivitas dakwah akan berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan keresahan dan benturan-benturan baik dikalangan antar da’i maupun dikalangan masyarakat pada umumnya, karena da’i bukanlah provokator. Etika dan kode etik dalam melaksanakan dakwah hendaknya tetap dipertahankan oleh para aktivis dakwah, sehingga aktivitas dakwah akan menuai simpatik.










BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.    Pembinaan Kader
Dalam perspektif Islam, pengembangan sumber daya manusia merupakan suatu keharusan. Artinya, Islam sangat peduli terhadap peningkatan harkat dan martabat manusia, karena dalam Islam manusia berada pada posisi yang terhormat. Pengembangan sumber daya manusia harus berorientasi pada pendekatan diri kepada Allah swt. Di mana ada beberapa parameter yang harus diperhatikan sebagai sebuah rumusan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang produktif, yaitu: pertama, peningkatan kualitas iman dan takwa; kedua, peningkatan kualitas hidup; ketiga, peningkatan kualitas kerja; keempat, peningkatan kualitas karya; kelima, peningkatan kualitas pikir.
2.    Etika Dakwah Islamiyah
Etika dakwah Islamiyah yaitu, Ilmu yang mempelajari aspek-aspek mendalam dari perbuatan dakwah yang berkaitan dengan baik  buruknya perilaku, dan apa yang seharusnya dan apa yang tidak sepatutnya dilakukan oleh setiap pelaku dakwah sesuai dengan syariat Islam.
Da’i atau da’iyah adalah subjek atau pelaku dakwah. Oleh karena itu bagi seorang da’i atau da’iyah memiliki moralitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan tolak ukur yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengukur kualitas perilaku (moralitas) seseorang adalah norma-norma moral. Norma-norma moral bagi da’i atau da’iyah tentunya akan sangat diukur oleh norma-norma yang diajarkan oleh syariat Islam, yang kemudian akan menjadi moralitas yang berbentuk dalam akhlak da’i atau da’iyah. Beberapa etika dakwah Islamiyah yang hendaknya dilakukan oleh para juru dakwah dalam melakukan dakwahnya antara lain: sopan, jujur, tidak menghasud, tawadhu’, kasih sayang, uswah hasanah, mempunyai niat yang baik, dan sebagainya.


[1]Munir. Ilaihi, Wahyu. Manjemen Dakwah. (Jakarta: Prenada Media, 2006). Hal 199-201
[2] Munir. Ilaihi, Wahyu. Manjemen Dakwah. (Jakarta: Prenada Media, 2006). Hal 199-201
[3] M. Quraish Shihab. Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Manusia. (Bandung: Mizan, 1992). Hal 34
[4] H. A. R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional. (Jakarta: Renika Cipta, 2004). Hal 137
[5] Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm:240
[6] Enjang AS, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hlm: 132
[7] Toha Jahja Omar, Ilmu Dakwah (Jakarta: Widjaya, 1992) hlm:19
[8] Enjang As, op.cit., hlm: 133-134
[9] Enjang As, op.cit., hlm: 136
[10] Samsul Munir, op.cit., hlm: 240
[11] Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’i, (Jakarta: Amzah, 2008) hlm: 196
[12] Samsul Munir, op.cit. hlm: 243
[13] Fathul Bahri An-Nabiry, op.cit. hlm: 155
[14] Ibid, hlm: 136
[15] Ibid, hlm: 203

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GALERI

Photobucket