BAB II
PEMBAHASAN
1) Pembinaan
Kader
a. Pengembangan
Sumber Daya Manusia (Kader)
Kaderisasi merupakan hal terpenting dalam organisasi. Faktor pertama yang harus diperhatikan dalam sebuah
organisasi adalah manusia. Karena eksistensi sebuah organisasi ditentukan oleh
faktor manusia yang mendukungnya. Walaupun dalam perkembangannya, manusia
pernah diperlukan hanya sebagai alat semata yang nilainya sama dengan alat
produksi untuk mencapai hasil yang maksimal. Namun demikian tidak dapat
dinafikan, bahwa kunci keberhasilan sebuah organisasi bukan terletak pada
alat-alat mutakhir yang digunakan, akan tetapi terletak pada manusia yang
berada di balik alat atau sumber daya tersebut. Jadi, tidak heran jika sumber
daya manusia akan terus relevan ditempatkan pada sentral organisasi.
Sumber daya manusia
(human resources) dapat
diklasifikasikan menjadi dua aspek, yaitu kuantitas dan kualitas. Kuantitas
menyangkut jumlah sumber daya manusia (populasi penduduk) yang sangat penting
kontribusinya. Sedangkan aspek kualitas menyangkut mutu dari sumber daya
manusia yang berkaitan dengan kemampuan fisik maupun kemampuan nonfisik
(kecerdasan nonmental) yang menyangkut kemampuan bekerja, berpikir dan
keterampilan-keterampilan lainnya.
Dari uraian diatas,
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pengembangan sumber daya manusia
secara makro adalah suatu proses peningkatan kualitas atau kemampuan manusia
dalam rangka mencapai suatu tujuan. Proses peningkatan ini mencakup
perencanaan, pengembangan, dan pengelolaan sumber daya manusia.
Sedangkan
pengembangan sumber daya manusia secara mikro adalah suatu proses perencanaan
pendidikan, pelatihan dan pengelolaan tenaga atau karyawan untuk mencapai hasil
yang maksimal.
Dalam perspektif
Islam, pengembangan sumber daya manusia merupakan suatu keharusan. Artinya,
Islam sangat peduli terhadap peningkatan harkat dan martabat manusia, karena
dalam Islam manusia berada pada posisi yang terhormat. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam QS. Al-Isra’: 70.
ô‰s)s9ur
$oYøB§x.
ûÓÍ_t/
tPyŠ#uä
öNßg»oYù=uHxqur
’Îû
ÎhŽy9ø9$#
Ìóst7ø9$#ur
Nßg»oYø%y—u‘ur
šÆÏiB
ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$#
óOßg»uZù=žÒsùur
4’n?tã
9ŽÏVŸ2
ô`£JÏiB
$oYø)n=yz
WxŠÅÒøÿs?
ÇÐÉÈ
Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka
rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Secara umum pengembangan sumber daya manusia
harus berorientasi pada pendekatan diri kepada Allah swt. Di mana ada beberapa
parameter yang harus diperhatikan sebagai sebuah rumusan dalam menyiapkan
sumber daya manusia yang produktif, yaitu: pertama,
peningkatan kualitas iman dan takwa; kedua,
peningkatan kualitas hidup; ketiga,
peningkatan kualitas kerja; keempat,
peningkatan kualitas karya; kelima,
peningkatan kualitas pikir.
Dalam kaitannya dengan istilah
manajemen, maka pengembangan sumber daya manusia tidak dapat dipisahkan dari
aspek keseimbangan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai universal Islam
yang merupakan rahmatan lil ’alamin.
Pengembangan manajemen Islam mengandung tujuan untuk mengembangkan potensi
da’i.
Merupakan sebuah keniscayaan bagi pemimpin atau manajer muslim untuk
membina para da’i dalam program latihan dan pengembangan terencana, untuk
meningkatkan kualitas pribadi, maupun keterampilan teknis mereka. Upaya
peningkatan kualitas ini merupakan suatu latihan yang diorganisasikan untuk
meningkatkan kualitas kerja (job
performance) dan mengembangkan potensi setiap da’i.
Menurut Muhammad imanudin Abdurrahim, dalam peningkatan job performance seorang karyawan dalam
tugas yang sedang dijalankan digunakan istilah latihan (training). Sementara dalam mempersiapkan karyawan untuk suatu tugas
masa depan atau promosi jabatan ke depan digunakan istilah pendidikan (education). Sedangkan dalam rangka
pertumbuhan pribadi yang tidak berhubungan langsung dengan tugas, digunakan
istilah pengembangan (development).
Dalam program sari insani, hal ini juga berlaku bagi pengembangan kader da’i.
Ketiga komponen tersebut perlu dikembangkan dengan program latihan, pendidikan,
serta pengembangan kader da’i sehingga dapat diwujudkan profesionalisme sumber
daya da’i yang berkualitas.
Dalam dunia dakwah pengembangan sumber daya da’i lebih ditekankan pada
pengembangan aspek mental, spiritual, dan emosi serta psycho-motoric manusia untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain,
cita ideal sumber daya manusia muslim adalah kemampuan dalam penguasaan ilmu
dan teknologi yang diimbangi dengan kekuatan keimanan, dengan identifikasi
sebagai berikut.
1.
Ciri
keagamaan
Seorang da’i sebagai kekuatan sumber daya manusia yang
ideal harus memiliki keimanan dan keyakinan yang kuat dan konsisten, sehingga
mampu mempengaruhi perilaku dan culture
hidupnya. Sebagaimana rumusan definisi iman, yaitu dengan “meyakini dengan
hati, mengikrarkan dengan perkataan, dan mengamalkan dengan perbuatan”.
Pada tahapan aplikasi keimanan seorang da’i tidak cukup
hanya pada taraf keyakinan dan pengakuan saja, tetapi juga harus diimbangi
dengan perilaku kultural yang mencerminkan keyakinan tersebut, sesuai dengan
aturan normatif al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam konteks kekaryaannya, seorang
da’i harus memiliki sikap tanggung jawab dalam menjalankan profesinya. Di
samping harus memiliki cerminan akhlak yang baik dalam kehidupan sosial
masyarakatnya, dalam arti memiliki potensi membangun lingkungan sosial yang
harmonis, sehingga mencerminkan sikap persaudaraan universal yang diikat oleh
kesamaan akidah.
Dengan ciri kualitas keagamaan dan moral dari seorang
da’i diharapkan dapat mengajak seluruh komunitas untuk mewujudkan citra umat
terbaik sebagaimana dicita-citakan dalam al-Qur’an. Untuk mewujudkan citra
ideal ini tidak cukup hanya dengan kekuatan akidah, ibadah dan akhlak semata,
namun para da’i harus memiliki kekuatan keilmuan, keterampilan, dan manajemen
yang baik.
2.
Ciri
keilmuan
Ciri keilmuan seorang da’i ditandai dengan kemampuan skill yang bagus, di samping keahlian
dan keterampilan. Keterampilan ini dikonotasikan dalam pelaksanaan program. Hal
ini akan berkaitan langsung dengan jenjang pendidikan yang ditempuh. Jika
jenjang pendidikan ini belum bisa diperoleh oleh para da’i, tetapi mereka telah
memiliki peran profesional, maka bisa diimbangi dengan mengikuti pendidikan dan
latihan secara reguler yang dilaksanakan oleh instansi dakwah.
Da’i yang memiliki keterampilan dan keahlian yang
diimbangi dengan etos kerja yang baik, niscaya akan menjadi kelompok manusia
produktif yang akan mampu meningkatkan kualitas hidupnya sendiridan mampu
memberikan kontribusi positif bagi kehidupan masyarakatnya. Dengan posisi ini
ia akan dapat mencapai posisi khalifah Allah yang mampu merefleksikan keimanan
dan ketakwaan dalam seluruh karya dan perbuatannya, di samping memiliki
integritas sosial di tengah masyarakat sebagai wujud amanah Allah pada dirinya.
Untuk mewujudkan seorang da’i yang ideal dalam lembaga dakwah, maka harus
diadakan pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya da’i secara
maksimal.
3.
Ciri
motivasi
Motivasi merupakan keadaan internal individu yang dapat
melahirkan kekuatan, kagairahan dan dinamika, serta pengarahan tingkah laku
pada tujuan. Dengan demikian, motivasi merupakan unsur intrinsik yang dapat
membangkitkan dorongan individu untuk mencapai sesuatu sesuai dengan tujuannya.
Untuk memotivasi seseorang perlu dipahami tingkat hierarki
kebutuhannya saat ini, dan memfokuskan perhatian pada pemenuhan kebutuhannya
tersebut. Tingkat kebutuhan itu dibagi menjadi empat macam.
a.
Kebutuhan
urutan bawah adalah kebutuhan fisiologis dan keamanan yang umumnya dipenuhi
dari luar pribadi yang bersangkutan.
b.
Kebutuhan
urutan bawah adalah kebutuhan sosial, harga diri, dan aktualisasi diri yang
dipenuhi dari dalam diri seseorang yang antara lain berupa kepuasan dan
pengakuan.
Zakiah Daradjat
menyebutnya sebagai kebutuhan primer, yang setiap individu akan melakukannya
sebagai usaha untuk memenuhinya. Sementara P. Siagin menyatakan, bahwa faktor
fisiologis ini merupakan basic need yang tidak dapat distandarisasi secara
kualitatif; ketika seseorang telah mampu memenuhi semua kebutuhan dasarnya
berupa sandang, pangan dan papan, maka dia akan memacu produktivitasnya untuk
meningkatkan kualitas.
Sementara itu,
Allah menegaskan bahwa tingkat produktivitas seseorang sangat dipengaruhi oleh
intensitas dan keterampilan mereka dalam bekerja. Ini bisa kita lihat dalam QS.
Al-Anbiya: 105
ô‰s)s9ur
$oYö;tFŸ2
’Îû
Í‘qç/¨“9$#
.`ÏB
ω÷èt/
Ìø.Ïe%!$#
žcr&
uÚö‘F{$#
$ygèOÌtƒ
y“ÏŠ$t6Ïã
šcqßsÎ=»¢Á9$#
ÇÊÉÎÈ
“Dan sungguh telah Kami
tulis didalam Zabur sesudah (kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi
ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh.”
Pada ayat di atas,
Allah menegaskan, bahwa alam ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Nya yang saleh,
yaitu mereka yang memiliki keterampilan dan keahlian untuk mengolah alam
semesta ini, serta memiliki intensitas yang tinggi.
Dari teori
tersebut, maka bagi seorang da’i merupakan suatu kesempatan untuk
mengaktualisasikan diri sebagai bagian dari upaya peningkatan motivasi kerja
secara individu. Yakni mereka perlu diberi kesempatan untuk mengaktualisasikan
bakat dan kemampuan mereka dalam bekerja dengan memberi peluang untuk
mengekspresikan kemampuannya dalam meningkatkan produktivitas.
Secara umum, sumber
daya da’i yang ideal adalah mereka yang memiliki keterampilan atau keahlian
tertentu, memiliki motivasi yang tinggi untuk mendayagunakan keterampilannya
tersebut, dan mampu membangun dirinya baik secara jasmani maupun rohani, serta
mampu mengaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Oleh
karena itu diperlukan program pendidikan dan pengembangan manajemen bagi para
da’i yang berdasarkan nilai-nilai
Islam.[1]
b. Tujuan
Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Dakwah
Secara
alami dalam diri manusia telah dibekali berupa potensi serta daya yang dapat
dibangun dan dikembangkan. Potensi tersebut dalam Al Qur’an terdapat dalam
surat Ali Imran: 31
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq™7Åsè? ©!$# ‘ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$# öÏÿøótƒur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRèŒ 3 ª!$#ur Ö‘qàÿxî ÒO‹Ïm§‘ ÇÌÊÈ
Artinya:
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (Ali Imran: 31)
Adapun daya dan potensi manusia
tersebut meliputi:
1. Daya
tubuh yang memungkinkan manusia memiliki keterampilan dan kemampuan secara
tekhnis.
2. Daya
moral yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan moral, etika, dan estetika
untuk berimajinasi dan merasakan kebesaran Ilahi.
3. Daya
akal yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmu dan
tekhnologi.
4. Daya
hidup yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan, mempertahankan hidup, dan menghadapi tantangan.
Dari
keempat potensi tersebut apabila dibangun dan dikembangkan secara optimal dan
seimbang akan menjadi sebuah aset dakwah yang sangat besar dalam rangka
penyediaan sumber daya manusia yang produktif dan berkualitas. Sehingga dari
sini dapat dibangun sebuah tujuan secara jasmani dan rohani bagi para penggerak
dakwah. Adapun tujuan tersebut meliputi:
1. Tujuan
Pembangunan (Jasmani)
Berdasarkan
fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi, maka ia akan berperan sebagai
pribadi yang akan selalu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, karena
manusia dibekali dengan kekuatan jasmani.
2. Tujuan
Pembangunan Rohani (Spiritual)
Apabila
dikaitkan dengan kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang luas, maka
pengembangan sumber daya manusia adalah membantu orang kea rah kehidupan yang
lebih sejahtera dan mengurangi ikatannya dengan tradisi. Menurut Islam,
pengembangan sumber daya manusia adalah dimaksudkan untuk membina membina
manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya
sebagai hamba Allah dan khalifahNya untuk membangun dan memakmurkan dunia ini
sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah SWT.[2]
Konsep tersebut didasarkan pada pandangan, bahwa manusia dalam Islam adalah
sebagai khalifah Allah di muka bumi, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al-Baqarah:
30
øŒÎ)ur
tA$s%
š•/u‘
Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9
’ÎoTÎ)
×@Ïã%y`
’Îû
ÇÚö‘F{$#
Zpxÿ‹Î=yz
(
(#þqä9$s%
ã@yèøgrBr&
$pkŽÏù
`tB
߉šøÿãƒ
$pkŽÏù
à7Ïÿó¡o„ur
uä!$tBÏe$!$#
ß`øtwUur
ßxÎm7|¡çR
x8ωôJpt¿2
â¨Ïd‰s)çRur
y7s9
(
tA$s%
þ’ÎoTÎ)
ãNn=ôãr&
$tB
Ÿw
tbqßJn=÷ès?
ÇÌÉÈ
Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S Al-Baqarah:
30)
Adapun
tujuan pengembangan sumber daya manusia menurut Islam adalah membentuk manusia
yang bertaqwa kepada Allah SWT.[3]
Sedangkan tujuan utama dari manajemen sumber daya manusia (kader) adalah untuk
meningkatkan kontribusi kader terhadap organisasi dalam rangka mencapai
produktivitas organisasi yang bersangkutan.
c. Ciri-ciri
Pengembangan Kader yang Efektif
Program
pengembangan sumber daya manusia (kader) yang berhasil adalah yang bersifat
sistematik, yakni memiliki tujuan yang spesifik dan berkelanjutan dalam
memberikan program pelatihan yang kongkret dan mudah bagi para partisipan. Di
samping itu, ciri yang lain adalah nilai sebuah kebutuhan dan rencana yang
terpadu. Program ini juga harus melibatkan semua unsure-unsur dakwah yang
terkait.
Dalam
proses pelatihan para da’I tidak hanya mendengarkan presentasi topik-topik
pembahasan saja, melainkan melihat tekhnik-tekhnik yang baru diperagakan oleh
pelatih, sehingga memiliki kesempatan untuk mengaplikasikannya dalam tataran
praktik. Para pemimpin dakwah memiliki program pelatihan yang baik jika
mengikuti prinsip-prinsip belajar. Para da’I ini akan belajar dan mendapatkan
ilmu lebih cepat dan lebih baik ketika mereka:
a. Kemauan
untuk berkembang
b. Mengetahui
alasan mengapa belajar itu penting untuk pengembangan dirinya
c. Percaya
apa yang dipelajari akan membantunya berkembang
d. Bebas
dari banyak tekanan dan pesimisme
e. Percaya
diri dan merasa mampu untuk mempelajari apa yang diharapkan dari dirinya
f. Diberikan informasi yang akan dipelajari
dengan berbagai cara
g. Belajar
sambil mengaplikasikan dalam masyarakat
h. Diberikan
feedback tentang kemajuannya
i. Diberikan penghargaan karena pekerjaannya
berkualitas baik
Sementara
itu penyelenggara dalam sebuah pelatihan (yang dilakukan) juga harus
memperhatikan beberapa hal dan beberapa petunjuk untuk dapat menciptakan sumber
daya manusia (kader) da’i yang diinginkan dengan program-program pengembangan
yang berkualitas untuk para da’i.
Adapun
hal-hal tersebut adalah sebagai berikut:
- Penyelenggara
atau badan pelaksana harus melibatkan semua elemen yang terkait guna kelancaran dan kesuksesan
pelatihan
- Para
peserta dalam hal ini pelaku dakwah harus tidak merasa bahwa program pelatihan
ini sebagai hukuman atau karena mereka tidak mampu.
- Program
pelatihan dakwah harus merupakan model praktik pendidikan dan pelatihan
berkualitas sehingga mencerminkan apa yang diharapkan oleh para da’i dalam
melakukan misinya.
- Kapan,
di mana, dan materi apa yang akan diberikan, serta berapa lama program akan
berlangsung. Kebutuhan serta keinginan dari para peserta harus diperhatikan
ketika membuat jadwal pelatihan.
- Merancang
program pelatihan harus berada pada tujuan dakwah.
- Follow-up
harus dilakukan karena merupakan kunci sukses pelatihan.
d. Mengembangkan
Individu Da’i yang Profesional
Pengembangan
sikap profesionalisme dalam lembaga dakwah, berarti bekerja dengan seluruh
elemen yang ada, namun pada saat-saat tertentu focus dakwah harus diarahkan
pada individu atau kelompok kecil. Mad’u memiliki kebutuhan serta
karakter yang berbeda-beda, begitu pula para da’i juga memiliki style
yang berbeda dalam menghadapinya. Pengembangan sumber daya da’i dengan
pendekatan individual memungkinkan para da’i itu sendiri untuk belajar melalui
berbagai cara. Misalnya, seorang da’i dapat memperoleh ilmu pengetahuan dan
keterampilan dengan mengikuti seminar, lokakarya, diklat, atau pelatihan
sejenisnya.
Hal
inilah yang kemudian diharapkan bisa membuat para pelaku dakwah dapat bertindak
secara professional. Istilah professional ini, berarti para ahli yang berada
dalam bidangnya yang telah memperoleh pendidikan atau pelatihan yang khusus
untuk pekerjaan tersebut.[4]
Professional tersebut memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Memiliki
suatu keahlian khusus
b. Merupakan
suatu panggilan khusus
c. Memiliki
teori-teori yang baku secara universal
d. Mengabdikan
diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri
e. Dilengkapi
dengan kecakapan yang diagnostic dan kompetensi yang aplikatif
f. Mempunyai otonomi dalam melaksanakan
pekerjaannya
g. Memiliki
kode etik
h. Memiliki
organisasi profesi yang kuat
2) Etika
Dakwah Islamiyah
Etika berasal dari kata ethos yaitu untuk suatu
kehedak baik yang tetap. Etika berhubungan dengan soal baik atau buruk, benar
atau salah. Etika adalah jiwa atau semangat yang menyertai suatu tindakan.
Dengan demikian etika dilakukan oleh seseorang untuk perlakuan yang baik agar
tidak menimbulkan keresahan dan orang lain menganggap bahwa tindakan tersebut
memang memenuhi landasan etika.[5]
Etika tidak sama dengan ajaran moral, karena etika
bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral melainkan merupakan filsafat atau
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral. Jadi etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran, oleh sebab itu etika
dan ajaran-ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama.[6]
Baik dan buruk berhubungan dengan kemanusiaan dan
sering dikaitkan dengan perasaan dan tujuan seseorang, tidak berlaku umum dan
merata. Seorang yang menganggap suatu perbuatan itu baik, belum tentu dianggap
baik pula oleh pandangan orang lain, tergantung pada adat kebiasaan yang
dipakai oleh tiap-tiap kelompok. Meskipun dengan demikian, etika berlainan pula
dengan adat, karena adat hanya memandang lahir, melihat tindakan yang
dilakukan, sedang etika lebih memerhatikan hati dan jiwa orang yang
melakukannya, dengan maksud apa ia dilakukan.[7]
Abudin Nata menyimpulkan bahwa etika sedikitnya
berkaitan dengan empat hal, yaitu:[8]
1. Dari
segi pemahamannya, etika berusaha membahas perbuatan yang dilakukan oleh
manusia.
2. Dari
segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran dan filsafat.
3. Dari
segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap
suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan manusia
tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, dan sebagainya.
4. Dilihat
dari segi sifatnya, etika bersifatrelatif yakni berubah-rubah sesuai tuntutan
zaman.
Pengertian etika
dakwah Islamiyah: Ilmu yang mempelajari aspek-aspek mendalam dari perbuatan
dakwah yang berkaitan dengan baik
buruknya perilaku, dan apa yang seharusnya dan apa yang tidak sepatutnya
dilakukan oleh setiap pelaku dakwah sesuai dengan syariat Islam.
Da’i atau da’iyah adalah subjek atau pelaku dakwah.
Oleh karena itu bagi seorang da’i atau da’iyah memiliki moralitas yang dapat
dipertanggungjawabkan. Sedangkan tolak ukur yang dipergunakan oleh masyarakat
untuk mengukur kualitas perilaku (moralitas) seseorang adalah norma-norma
moral. Norma-norma moral bagi da’i atau da’iyah tentunya akan sangat diukur
oleh norma-norma yang diajarkan oleh syariat Islam, yang kemudian akan menjadi
moralitas yang berbentuk dalam akhlak da’i atau da’iyah.[9]
Beberapa etika dakwah Islamiyah yang hendaknya
dilakukan oleh para juru dakwah dalam melakukan dakwahnya antara lain sebagai
berikut:
1. Sopan
Sopan berhubungan dengan adat dan
kebiasaan yang berlaku secara umum dalam tiap kelompok. Suatu pekerjaan
dianggap tidak sopan, tatkala bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di
suatu komunitas. Standar atau ukuran suatu kesopanan bagi masing-masing
komunitas tidak sama. Masing-masing memiliki standar sendiri, akan tetapi
aturan yang berlaku umum dapat dijadikan rujukan dalam menentukan suatu standar
kesopanan.[10]
Kesopanan harus kita pelihara dalam
perbuatan dan pembicaraan. Cara mengenakan pakaian, bentuk serta model pakaian
harus dijaga serapi mungkin, sehingga tidak melanggar norma-norma tertentu dan
tidak membosankan. Tindakan dan sikap yang dilakukan oleh da’i juga harus
sejalan dengan pembicaraan yang disampaikan. Gerak-gerik yang dilakukan oleh
da’i harus dijaga kesopanannya. Karena itulah kesopanan menjadi hal yang
dipertimbangkan oleh da’i dalam melakukan aktivitas dakwahnya.
2. Jujur
Dalam menyampaikan aktivitas
dakwahnya, seorang da’i hendaklah menyampaikan suatu informasi dengan jujur.
Terutama dalam mengemukakan dalil-dalil pembuktian. Pembicaraan yang disampaikan
haruslah benar, tidak menyampaikan berita bohong dan memutarbalikkan keadaan
yang sebenarnya. Tidak sepantasnya seorang da’i berdusta, sebab dusta akan
merugikan dirinya sendiri dan mad’u-nya. Seorang da’i harus senantiasa
memelihara tutur katanya. Ia tidak berbicara kecuali dengan kejujuran, ia tidak
berfatwa melainkan dengan ilmu serta pemahaman yang diketahuinya. Dengan
demikian tidaklah layak bagi seorang da’i berkata-kata dan berfatwa dengan
kedustaan.[11]
3. Tidak
Menghasut.
Seorang da’i dalam melaksanakan
tugas dakwahnya, ia tidak boleh menghasut apalagi memfitnah, baik kepada
pribadi lain maupun kepada kelompok lain yang berselisih faham. Karena jika itu
dilkukan, yang bingung dan resah adalah masyarakat pendengar sebagai objek
dakwah. Adapun yang perlu diingat oleh da’i adalah bahwa dalam melakukan tugas
dakwahnya itu ia harus menyampaikan kebenaran bukan harus menghasut atau
melakukan provokasi.[12]
4. Tawadhu
(tidak sombong)
Sifat tawadhu merupakan akhlak
orang-orang sholih, orang yang tawadhu’ tidak suka menonjolkan diri, tidak
sombong dan selalu menjaga agar dirinya tetap dihargai orang lain menurut apa
adanya. Seorang da’i yang tawadhu’ akan selalu menjauhkan diri dari sifat dan
perbuatan yang berlebih-lebihan, selalu bersikap toleran terhadap sesamanya,
menghormati dan menghargai pendapat orang lain, serta pendai bergaul. Dengannya
pula, seorang da’i dapat menarik banyak pendukung dan pengikut, serta
menjadikan dirinya dicintai oleh masyarakat, sehingga apa yang diucapkannya
dapat menggugah hati sanubari mereka.[13]
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
ôÙÏÿ÷z$#ur
y7yn$uZy_
Ç`yJÏ9
y7yèt7¨?$#
z`ÏB
šúüÏZÏB÷sßJø9$#
ÇËÊÎÈ
Artinya:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang
yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara’: 215)
5. Al-Rahmah
(rasa kasih sayang)
Sesungguhnya setiap da’i harus
mempunyai hati yang mengalir rasa kasih sayang kepada sesama manusia dan
hendaklah berbuat baik kepada mereka serta menasehati mereka. Tanda kasih
sayang kepada mereka adalah mengajak mereka kepada agama Allah, karena dengan
penerimaan dakwah itulah kelepasan mereka dari adzab neraka dan keberuntungan
mereka dengan memperoleh keridhaan Allah. Dengan sikap itu, bermacam-macam
keinginan dan kebaikan dapat dicapai, yang tidak mungkin tercapai dengan cara
kekerasan dan kekasaran.[14]
6. Uswah
Hasanah
Seorang da’i harus dapat menjadi
contoh atau teladan yang baik bagi para mad’u-nya, maka dari itu bagi seorang
da’i sesungguhnya harus menjadi uswah hasanah terhadap apa yang didakwahkan.
Jika tidak, maka tidak akan ada orang yang mau mendengar perkataannya. Walaupun
ia adalah orang yang pandai dalam ilmu agama, tetapi apabila perilakunya tidak
sesuai dengan syari’at Islam dan norma-norma yang berlaku, maka ilmu tersebut
tidak akan bermanfaat dan orang-orang tidak akan melihatnya dengan pandangan
hormat.[15]
7. Mempunyai
niat yang baik
Seorang da’i harus mempunyai niat
yang baik dalam berdakwah, sehingga tidak mengharapkan imbalan, harta, atau
kedudukan, tetapi semata-mata mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Beberapa perilaku etika yang berlaku dalam
masyarakat, hendaklah dipahami oleh setiap da’i atau mubaligh dalam melakukan
aktivitas dakwahnya. Sehingga dengan demikian aktivitas dakwah akan berjalan
dengan baik dan tidak menimbulkan keresahan dan benturan-benturan baik
dikalangan antar da’i maupun dikalangan masyarakat pada umumnya, karena da’i
bukanlah provokator. Etika dan kode etik dalam melaksanakan dakwah hendaknya
tetap dipertahankan oleh para aktivis dakwah, sehingga aktivitas dakwah akan
menuai simpatik.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Pembinaan
Kader
Dalam
perspektif Islam, pengembangan sumber daya manusia merupakan suatu keharusan.
Artinya, Islam sangat peduli terhadap peningkatan harkat dan martabat manusia,
karena dalam Islam manusia berada pada posisi yang terhormat.
Pengembangan sumber daya manusia harus berorientasi pada
pendekatan diri kepada Allah swt. Di mana ada beberapa parameter yang harus
diperhatikan sebagai sebuah rumusan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang
produktif, yaitu: pertama,
peningkatan kualitas iman dan takwa; kedua,
peningkatan kualitas hidup; ketiga,
peningkatan kualitas kerja; keempat,
peningkatan kualitas karya; kelima,
peningkatan kualitas pikir.
2. Etika
Dakwah Islamiyah
Etika dakwah Islamiyah yaitu, Ilmu
yang mempelajari aspek-aspek mendalam dari perbuatan dakwah yang berkaitan
dengan baik buruknya perilaku, dan apa
yang seharusnya dan apa yang tidak sepatutnya dilakukan oleh setiap pelaku
dakwah sesuai dengan syariat Islam.
Da’i atau da’iyah adalah subjek atau
pelaku dakwah. Oleh karena itu bagi seorang da’i atau da’iyah memiliki
moralitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan tolak ukur yang
dipergunakan oleh masyarakat untuk mengukur kualitas perilaku (moralitas)
seseorang adalah norma-norma moral. Norma-norma moral bagi da’i atau da’iyah
tentunya akan sangat diukur oleh norma-norma yang diajarkan oleh syariat Islam,
yang kemudian akan menjadi moralitas yang berbentuk dalam akhlak da’i atau
da’iyah. Beberapa etika dakwah Islamiyah yang hendaknya dilakukan oleh para
juru dakwah dalam melakukan dakwahnya antara lain: sopan, jujur, tidak
menghasud, tawadhu’, kasih sayang, uswah hasanah, mempunyai niat yang baik, dan
sebagainya.
[1]Munir. Ilaihi, Wahyu. Manjemen
Dakwah. (Jakarta: Prenada Media, 2006). Hal 199-201
[2] Munir. Ilaihi, Wahyu.
Manjemen Dakwah. (Jakarta: Prenada Media, 2006). Hal 199-201
[3] M. Quraish Shihab. Membumikan
Al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Manusia. (Bandung: Mizan,
1992). Hal 34
[4] H. A. R. Tilaar, Paradigma
Baru Pendidikan Nasional. (Jakarta: Renika Cipta, 2004). Hal 137
[5] Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2009),
hlm:240
[6] Enjang AS, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hlm:
132
[7] Toha Jahja Omar, Ilmu Dakwah (Jakarta: Widjaya, 1992) hlm:19
[8] Enjang As, op.cit., hlm: 133-134
[9] Enjang As, op.cit., hlm: 136
[10] Samsul Munir, op.cit., hlm: 240
[11] Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para
Da’i, (Jakarta: Amzah, 2008) hlm: 196
[12] Samsul Munir, op.cit. hlm: 243
[13] Fathul Bahri An-Nabiry, op.cit.
hlm: 155
[14] Ibid, hlm: 136
[15] Ibid, hlm: 203
Tidak ada komentar:
Posting Komentar