BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kewajiban berdakwah merupakan salah satu
kewajiban yang terlupakan ,bahkan di remehkan hak haknya oleh sebagian besar
kaum muslimin, kecuali hanya sedikit saja di antara mereka. Terkadang, ada juga
orang yang menyinggung masalah dakwah ini namun kemudian meragukan kewajibannya
atas setiap muslim. Mereka memandang bahwa kewajiban tersebut hanya terbatas
pada alim ulama, bukan selain mereka. Bahkan di samping meragukan keajiban umum
dakwah atas kaum muslimin, mereka juga mempersempit wilayahnya, yaitu memandang
dakwah hanya terbatas pada persoalan persoalan ibadah murni dan akhlak terpuji
saja. Dalam pandangan orang seperti ini, dakwah tidak boleh memperluas
wilayahnya meliputi seluruh aspek kehidupan dan hubungan antar manusia. Karena,
cakupan dakwah seperti ini menurut mereka membebani Islam dengan perkara
perkara yang tidak mampu di tanggunggnya. Juga pemaksaan terhadapnya dalam
mengatasi sesuatu yang bukan tempat dan lapangannya.
Ada juga kelompok yang lebih ekstrim
lagi. Disamping meragukan kewajiban dan membatasi wilayah dakwah, mereka juga
menolak bentuk dakwah yang dilakukan secara jama’ah dan berkonsentrasi kepada
Allah SWT. Dengan asumsi bahwa metode dakwah seperti ini merupakan bid’ah dalam
agama. Sedangkan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya neraka.
Tidak cukup itu, mereka juga memandang
bahwa pendirian suatu jamaah menjadikan barisan persatuan kaum muslimin
bercabang cabang. Hal ini terlarang dalam Islam. Demikianlah, kewajiban dakwah
kepada Allah bukan hanya di lupakan, ditinggalkan dan dilecehkan saja. Bahkan,
para da’inya sendiri juga di tuduh dan diperangi. Akibatnya, para da’i
menghadapi tantangan, tekanan dan pengusiran. Ironisnya, hal itu lebih banyak
terjadi di Negara Negara Islam dibanding Negara kafir. Allah SWT adalah sebaik
baik tempat memohon pertolongan.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana implikasi kewajiban
berdakwah bagi umat islam?
C. Tujuan
1.
Mengetahui implikasi
kewajiban dakwah bagi umat islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
Implikasi
Penerapan Kewajiban Berdakwah Bagi Umat Islam
Umat Islam sepakat bahwa dakwah adalah amalan yang
disyariatkan dan masuk kategori fardhu kifayah. Tidak boleh kategori diabaikan,
diacuhkan, dan dikurangi bobot kewajibannya. Hal itu disebabkan terdapat
sedemikian banyak perintah dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah untuk berdakwah
dan amar ma’ruf nahi mungkar.
Oleh
karena itu berdakwah merupakan tugas dan kewajiban kita bersama sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$#
”Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Ali Imran, 3 : 104)
Dakwah dan amar ma’ruf merupakan prasyarat dalam
membangun khairu ummah (umat pilihan). Seandainya umat Islam tak mau berdakwah,
maka tentu mereka pasti mengalami kerugian dan kemunduran dalam pelbagai aspek
kehidupan.
Kemuliaan sekelompok benar-benar disebabkan karena
dakwah dan demikian pun dengan kehinaan mereka adalah karena meninggalkan
dakwah. Allah SWT berfirman,
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur ÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #Zöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB cqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ
”Kamu semua
adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh kepada yang ma’ruf,
mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran, 3 : 110)
Namun
sebelum kita membahas lebih lengkap tentang implikasi penerapan kewajiban
berdakwah bagi umat islam, terlebih dahulu kita akan membahas bagaimana etika
kewajiban berdakwah karena etika sangatlah berpengaruh terhadap performance
seorang dai dalam melakukan aktifitas berdakwah sehingga kita harus memahami
terlebih dahulu.
A.
Kewajiban berdakwah
Banyak
ayat Al-Qur’an maupun teks hadis Nabi SAW. yang menguraikan tentang dakwah
Islam. Di antara ayat-ayat dakwah yang menyatakan kewajiban dakwah secara tegas
adalah surat an-Nahl ayat 125, surat Ali Imran ayat 104, dan surat al-Maidah
ayat 78 dan 79[1].
1. QS.
Ali Imran 104:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari
yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
2. QS.
Al-Maidah 78-79:
ÆÏèä9 tûïÏ%©!$# (#rãxÿ2 .`ÏB û_Í_t/ @ÏäÂuó Î) 4n?tã Èb$|¡Ï9 y¼ãr#y Ó|¤Ïãur Ç`ö/$# zOtötB 4 y7Ï9ºs $yJÎ/ (#q|Átã (#qçR%2¨r crßtF÷èt ÇÐÑÈ (#qçR$2 w cöqyd$uZoKt `tã 9x6YB çnqè=yèsù 4 [ø¤Î6s9 $tB (#qçR$2 cqè=yèøÿt ÇÐÒÈ
Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil
dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka
durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang
tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu
mereka perbuat itu.
Ayat-ayat
di atas secara tegas memerintahkan kita untuk melaksanakan dakwah Islam.
Perintah tersebut ditunjukkan dalam bentuk kata perintah dan kecaman bagi yang
meninggalkan dakwah.
Kata
perintah (fi’il amr) disebut dalam
surat an-Nahl ayat 125 dengan kata “Serulah” sedangkan dalam surat Ali Imran
ayat 104 kata perintahnya berupa “Dan hendaklah ada di antara kemu sekelompok
orang yang menyeru...”. Perintah yang pertama lebih tegas daripada perintah
yang kedua. Perintah pertama menghadapi subjek hukum yang hadir, sedangkan
subjek hukum dalam perintah kedua tidak hadir (in ansentia). Selain itu, pesan dari perintah pertama lebih jelas,
yakni “berdakwahlah”, sedangkan pesan dari perintah kedua hanya “hendaklah ada
sekelompok orang yang berdakwah”[2].
Dalam
surat al-Maidah ayat 78-79 tersebut Allah mengecam dengan keras Bani Israil
yang meninggalkan dakwah. Mereka tidak memiliki kepedulian sama sekali kepada
aktivitas dakwah. Mereka “tidak melarang kemungkaran”. Perintah ini juga tidak
lebih tegasdibanding kedua ayat tersebut. Surat al-Maidah ayat 78-79 tersebut
hanya menampilkan contoh nyata dari umat terdahulu yang disiksa karena
mengabaikan perintah mencegah kemungkaran. Meskipun kecaman tidak ditujukan
kepada umat Nabi SAW., tetapi ia berlaku pada umat Nabi SAW., karena hukum umat
terdahulu masih berlaku selama belum diganti.
Dalam
kaidah Ushul Fikih disebutkan “Pada dasarnya, perintah itu menunjukkan
kewajiban (al-Ashl fi al-amr li al-wujub).
Dengan demikian sangat jelas bahwa perintah berdakwah dalam kedua ayat tersebut
adalah perintah wajib. Demikian pula, ancaman laknat Allah menunjukkan larangan
keras. Kaidah Ushul Fikih lain yang terkait dengan kaidah di atas berbunyi, ”Pada
dasarnya, larangan itu menunjukkan hukum haram (al-ashl fi al-nahy li al-tahrim). Dalam kaidah lain, melarang
sesuatu berarti memerintahkan kebalikannya (al-nahy
‘an al-syai’ amr bi al-dliddih). Dengan demikian, kecaman keras Allah bagi
orang yang tidak peduli dakwah berarti perintah wajib melaksanakan dakwah.
Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang
dibebani kewajiban dakwah. Pangkal perbedaan dakwah tersebut terletak pada
huruf min dalam surat Ali Imran ayat
104 tersebut. Al-Ghazali adalah salah satu ulama yang berpendapat bahwa
kewajiban dakwah adalah Fardlu Kifayah.
Sebagai Fardlu Kifayah, dakwah hanya
dibebankan atas orang-orang yang memiliki keahlian dan kemampuan di bidang
agama Islam. Kata min dalam ayat
tersebut diartikan “sebagian” (li
al-tab’idl). Selain itu, al-Ghazali membuat alasan tersendiri. Ia
mengatakan (al-Ghazali, t.t.: II: 303):
“Dalam ayat
tersebut terdapat penjelasan kewajiban. Firman Allah SWT. yang berbunyi
“Hendaklah ada di antara kamu sekelompok orang yang menyeru... (QS Ali Imran
104)”, merupakan sebuah perintah. Pada dasarnya, perintah adalah kewajiban.
Dalam ayat itu ada penjelasan bahwa kebahagiaan terkait dengan kewajiban
apabila ia dilaksanakan. Firman Allah,”Mereka adalah orang-orang yang
berbahagia”, merupakan penjelasan bahwa kewajiban itu adalah fardlu kifayah,
bukan fardlu ‘ain. Karenanya, jika dakwah telah dilaksanakan oleh suatu
kelompok, maka kewajiban umat yang lain menjadi gugur. Allah tidak
berfirman,”Jadilah masing-masing kalian semua sebagai orang-orang yang
memerintahkan makruf”, bahkan berfirman,”Hendaklah di antara kalian ada suatu
kelompok”. Manakala ada seorang atau kelompokn yang telah melaksanakannya, maka
orang lain tidak menanggung dosa. Kebahagiaan tertentu pada orang-orang yang
melaksanakannya dengan gembira. Jika semua orang duduk saja (tidak melaksanakan
dakwah), maka sudah pasti dosanya akan dipikul oleh semua orang yang memiliki
kemampuan (berdakwah)”.
Pendapat
al-Ghazali ini diikuti oleh Ahmad Mahmud, M. Quraish
Shihab, Ibnu Katsir, dan Muhammad Ahmad al-Rasyid. Mahmud berkata,”Menegakkan
hukum Allah SWT., jihad fi sabilillah,
ijtihad, dan amar makruf nahi munkar-misalnya-semuanya
termasuk hukum fardhu kifayah yang wajib ditegakkan oleh umat Islam
keseluruhan”. Quraish Shihab berpendapat,”Karena itu, adalah lebih tepat
mengartikan kata minkum pada ayat di
atas dengan “sebagian dari kamu” tanpa menafikkan kewajiban setiap muslim untuk
saling ingat-mengingatkan. Ibnu katsir mengatakan,”Maksud ayat ini adalah ada
kelompok dari umat ini yang bersedia untuk berdakwah, meskipun perintah itu
wajib bagi setiap individu dari umat Islam sesuai dengan kemampuannya”. Ahmad
al-Rasyid juga mengemukakan:
“Dengan demikian,
menjadi sangat jelas bahwa mengajak kepada Allah adalah wajib bagi setiap
muslim, akan tetapi hanya sebagai fardhu kifayah. Hanya saja wajib bagi orang
tertentu melakukan dakwah sesuai dengan kemampuannya bila orang lain tidak
melakukannya. Kewajiban ini berlaku dalam hal memerintahkan kebaikan, melarang
kemunkaran, menyampaikan apa yang telah dibawa Rasulullah SAW., jihad di jalan
Allah, dan mengajarkan iman dan Al-Qur’an”.
Dari
beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa berdakwah adalah suatu
keharusan yang harus dilaksanakan oleh umat islam baik dengan segala hukum
tentang dakwah, apakah itu fardhu ain atau fardhu kifayah adalah merupakan
kewajiban kita sebagai umat yang mempunyai intelektualitas tinggi dan
menyandang amanah dalam menegakkan syariat islam.
Tidak
ada agama yang dapat menghindari dakwah jika ia memiliki suatu kekuatan
intelektual. Menolak dakwah berarti menolak kebutuhan untuk mendapatkan
persetujuan orang lain terhadap apa yang di klaim sebagai kebenaran agama[3].
B. Norma-Norma Dan Kaidah Dalam Dakwah
Fungsi
atau manfaat dari etika berdakwah, diantaranya sebagai alat untuk mengetahui
baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku dakwah. Selain itu, dipahami adanya
nilai-nilai yang melekat pada perbuatan dakwah, dan nilai-nilai itu perlu
diperjelas dari sisi kualitasnya.
Dakwah
sebagai amaliah keislaman tidak jauh berbeda dengan amaliyah islam lainnya
memiliki standar yang jelas baik dalam Al-quran dan Al-hadist, akan tetapi
kaidah-kaidah umum mengenai keharusan perilaku manusia didunia banyak ulama
yang merumuskan. Dan kalau mau terbuka untuk mengakui, kaidah-kaidah yang
berkembang didunia fiqh pada dasarnya merupakan acuan bagi praktek dakwah
islam.
1.
Tugas
Da’i
Pertama,
Bersungguh-Sungguh Dan Tekun (Al Jiddiyah Wal Mu’azhibah).
Kesungguhan
adalah modal utama untuk dapat menunaikan setiap tugas. Dan kesungguhan
merupakan indikasi dari sikap yang penuh tanggung jawab. Ia pun cerminan dari
keimanan dan keyakinan yang kuat akan pertemuannya dengan Sang Rabbul Izzati
sehingga melahirkan perilaku siap dan sedia menunaikan suatu tugas yang
diamanahkan kepadanya. Dari sinilah, akan diukur seberapa besar kesiapan dan
kesediaan yang berdampak pada kepuasan masyarakat akan pelayanan dan penunaian
tanggung jawab tersebut.
Bila melihat sederetan tugas-tugas
tersebut di atas, kita temukan bahwa tugas tersebut betul-betul tidak sepele.
Tugas dan tanggung jawab itu tidak boleh dianggap main-main. Apalagi harapan
yang dimiliki banyak orang teramat tinggi. Mereka berharap bahwa kader dakwah
pasti dapat memikul tugas itu dan dapat memberikan pengaruh kebaikan yang
dirasakan oleh umat.
Kedua,
Aktivitas Yang Berkesinambungan (Istimrariyatul Amal).
Karena
waktu senantiasa berjalan tak kenal henti, amalpun tak boleh berhenti. Memang
suatu tugas dikira sudah selesai namun ternyata masih ada setumpuk tugas
lainnya yang sedang menunggu untuk diselesaikan. Gambaran yang sering
diungkapkan orang adalah bergeraknya amal ini bagai deburan ombak di lautan
yang datang silih-berganti dengan deburan ombak lainnya kadang ombak besar
kadang ombak kecil. Bila amal tersebut dilakukan bak ombak tadi niscaya amal
datang susul-menyusul dan tidak akan pernah mati. Olah kreatifitas amal perlu
digesahkan kepada seluruh lapisan kader sehingga mereka bisa menciptakan
berbagai amal yang variatif.
Ketiga,
Kedisiplinan Terhadap Manhaj (Indhibatul Manhajiyah).
Manhaj
merupakan rambu perjalanan dakwah ini. Ia bagaikan denah yang menunjukan arah
dan apa yang mesti dilakukan. Karena itu, setelah selesainya satu tugas perlu
melihat kembali apa yang telah digariskan oleh manhaj dakwah tentang
tugas-tugas ke depan. Bila terkait dengan tarbiyah, ia perlu diterapkan secara
disiplin sesuai arahannya. Sebagaimana petunjuk Allah SWT kepada Nabi Yahya as:
“Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami
berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak”. (QS. Maryam: 12).
Tentunya, hal ini juga berlaku kepada seluruh kader untuk menerapkan tuntutan
manhaj secara disiplin sehingga ia dapat menghantarkan perjalanan dakwah ini
dari satu mihwar ke mihwar lainnya dengan sistematis.
Keempat,
Keteladanan Dan Arahan (Al Qudwah Wat Taujih).
Komunitas suatu masyarakat kadang akan
mudah terbentuk bila memiliki cermin jernih yang menjadi panutan bagi yang
lain. Karena panutan bagai mercusuar yang akan mengarahkan dan juga menjadi
ukuran atau kiblat mereka. Di sinilah pentingnya keteladanan antara satu dengan
yang lain.
2.
Hukum
berdakwah
Al-quran
surat An-nahl:125
äí÷$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
Artinya:
serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk
Dalam
tafsir ayat ini bisa dijelaskan sebagai wajibnya umat islam untuk melakukan
dakwah (menjadi da’i).
Dalam
konteks ilmu, penuaian kewajiban itu mensyaratkan kesempurnaan sehingga tidak
terjebak pada asal menunaikan atau hanya mengikuti kebiasaan saja.disini makna
kewajiban diperluas wajibnya umat islam untuk
mempelajari,menguasai dan mengembangkan ilmu dakwah, wajibnya orang
untuk menjadi Da’i diikuti dengan kewajiban untuk mengilmukan kegiatan dakwah
islam, kaidahnya berbunyi :
ما
لا يتم الو اجب الا به فهو واجب
“ sesuatu kewajiban
dipandang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya
menjadi wajib”
Kewajiban
dakwah itu akan menjadi sempurna jika ditopang oleh sejumlah faktor-faktor yang
melekat pada figur da’i baik berupa penguasaan terhadap ilmu, professionalisme,
serta ahlak dan kepribadian.
3.
Prasyarat-prasyarat
Da’i
a.
Dai
wajib memiliki wawasan yang luas dan pemahaman agama yang mendalam.
Abdullah
nasir menyebutkan sekurang-kurangya ada lima cakupan yang penting dimilki dai
yaitu : wawasan keislaman, wawasan sejarah, wawasan humaniora, wawasan ilmiah,
dan wawasan kontemporer.
Pertama
Wawasan Keislaman
Adalah bahwa seseorang
dai dituntut untuk mengetahui pengetahuan yang terkait dengan al-quran,
al-hadist, serta ilmu yang termasuk pada rumpun ilmu agama. Penguasaan rumput
ilmu itu diharapkan muncul kemampuan untuk : (1) menghindari kisah-kisah
israiliyyah yang sering tardapat dalam kitab tafsir, (2) waspada terhadap
riwayat-riwayat yang palsu dan lemah, (3) waspada terhadap statement dan
pendapat-pendapat yang rusak, (4) waspada terhadap mereka yang ada keragu
terhadap hadist-hadist, (5) waspada terhadap hadist-hadist palsu dan dhaif.
Dengan penguasaan
keislaman terutama fiqh, agar dapat membetulkan masalah-masalah yang dihadapi
serta meluruskan penyimpangan dalam masalah hukum syariat.
Didalam menyapaikan
pesan dakwah, da’i hendaknya mampu mengaitkan hukum dengan dalil-dalil
(al-quran dan hadist) sekurang-kurangya mengenal dalil-dalil dan madzabnya, dan
lebih bagus lagi ketika menerangkan dalil diterangkan juga hikmah dan pengaruh
bagi diri dan kehidupan.
Kedua Wawasan Sejarah
Monzer kahf pernah
mengatakan bahwa sejarah merupakan laboratorium bagi umat islam ( the
history is the laboratorium for muslim). Dengan menguasai sejarah berarti
seorang da’i akan memahami hikmah-hikmah bagi peristiwa yang pernah ada
dipermukaan bumi, rahasiaan kejayaan dan kejatuhan suatu bangsa. Syamsudin RS
dalam bukunya studi sejarah dakwah sekurang-kurangnya arti penting mempelajari
sejarah dakwah dijabarkan sebagai berikut. Pertama, meluaskan pandangan dan
membukakan persoalan umat islam tentang sikap dan prilaku sejarah, seeta
perubahan-perubahan sosial yang timbel. Kedua, sejarah dakwah merupakan saksi
jujur keberadaan dakwah yang menampilkan dinamika perkembanggan dakwah dan
hukum-hukum yang mengatur hubungan antara kualitas dakwah dan kondisi
masyarakatnya.
Ketiga
Wawasan Humaniora
Seorang dai penting menguasai wawasan humaniora seperti :
psikologis, sosiologis, ekonomi, ahlak, pendidikan, geografi, dll.
Keempat Wawasan Ilmiah
Wawasan
ini sangat penting karena disebabkan :
(1)
dalam kehidupan kontemporer ilmu menjadi nadi dan motor penggerak.
(2)
banyak hal yang dikaitkan dengan ilmu dan digunakan sebagai sarana pemahaman
agama.
(3) dakwah dituntut untuk memenuhi
standar-standar ilmiah, menimbnag kualitas dan memanfaatkan prediksi-prediksi
yang diberikan oleh ilmu pengetahuan.
Kelima
Wawasan Kontemporer.
Wawasan kontemporer
adalah wawasan yang diterima da’i oleh kenyataan hidup. Yakni apa yang terjadi
dengan manusia kini, dalam dunia islam dan dunia umumnya.
Wawasan kontemporer
yang penting dimiliki para da’i antara lain :
(1)
pengetahuan tentang dunia islam.
(2)
kondisi kekuatan dunia yang memusui islam seperti yang diperankan 3 kekuatan :
yahudi internasional, salibi, komunisme internasional.
(3)
situasi agama-agama kontemporer.
(4)
situasi madzab-madzab kontemporer.
(5)
situasi dan kondisi pergerakan-pergerakan islam kontenporer.
Tanpa wawasan seorang
da’i tak akan mampu memberikan penjelasan yang baik tentang islam kepada orang
lain, tidak mendatangkan manfaat bagi umatnya, dan menyembuhkan
penyaki-penyakit hati dan tak mampu menjadi da’i yang berhasil dan profesional
serta dihargai dan dihormati oleh masyarakat. Selai wawasan da’i dituntut
kompetensi untuk memiliki pemahaman yang mandalam tenyang islam (taffaquh
fid-din). Yang dimaksud pemahaman disini seorang da’i bukan sekedar tahu
apa itu islam secara tekstual tetapi juga secara kontekstual, bukan hanya dari
sisi dhohirnya tetapi juga dari sisi bathinnya.
Buah dari pemahaman
tentunya seorang da’i akan mendapatkan petunjuk yang benar bagaimana seharusnya
ia bertindak, berucap, dan memperlakukan orang lain. Ada beberapa pemikiran
sebagai buah pemahaman tentang keharusan dakwah antara lain :
· Dakwah
itu mempermudah tidak mempersulit.
· Menghilangkan
kesulitan.
· Menggembirakan
bukan menakut-nakuti.
· Suatu
yang menjadi boleh demi menghindari kerusakan.
· Kesulitan
mendatangkan kemudahan.
· Melakukan
pengulangan agar menjadi jelas.
· Kesempitan
menjadi meluas.
· Memilih
bahaya yang paling ringan atau keburukan yang paling rendah.
· Meninggalkan
kemslahatan terendah untuk kemaslahatn yang tinggi.
· Fatwah
bisa berubah karena perubahan zaman, ruang, situasi, dfan kondisi.
· Taklif
sesuai kemampuan.
· Kesukaran
harus dihilangkan.
· Menolak
kemadaratan dan kerusakan.
· Tidak
melakukan pemaksaan dalam agama.
· Merawat
hal-hal yang positif dan mengambil sesuatu yang baik
b.
Da’i
wajib memiliki ahlakul karimah dan berkepribadian yang rasuli
Dalam
konteks ini maka sudah sepantasnya seorang da’i memilki kompetensi yang dimilki
oleh nabi. Sejarah mencatat nabi saw memilki sifat-sifat antara lain : shiddiq,
fathonah, amanah dan tabligh ( sifat), hammiyah, rendah hati(tawadhu), dermawan
(judd), berwibawah (mahabbat), suka memberi hadiyah (hadiyyah), pemaaf (‘afw),
penuh harap (raja’), lemah lembut (riqqatul qalb), hati-hati (ikhtiyat).
Dalam
beberapa hadist diterangkan :
“Dari Siti Aisyah r.a.
Rasulullah saw bersabda : sesungguhnya Allah tidak mengutusku untuk menjadi
pemersulit dan memperberat, akan tetap Allah mengutusku untuk menjadi pengajar
yang mempermudah” (H.R. BUKHA “Dari Siti Aisyah r.a berkata:” sesungguhnya
Allah itu maha lemah lembut menyukai kelemah lembutan dalm segala urusan” (H.R.
BUKHARI).
Nabi
saw sebagai da’i merupakan sosok yang sangat memperhatikan cara-cara berdakwah
yang benar antara lain :
1) Mengedepankan
sikap proposional dalam menyikapi kermungkaran.
2) Memperhatikan
akibat yang akan ditimbulkan bagi rasul jika sekiranya dilakukan amar ma’ruf
nahyi mungkar justru menimbulkan kemadharatan,maka beliau akan menahan diri
untuk tidak melakukannya terlebih dahulu.
3) Tidak
bersikap kasar atau pun mencaci maki seseorang yang berbuat salah.
Dari
penjelasan di atas bahwa cara dakwa Rasulullah SAW yang bernialai etis dalam
prakteknya dilakukan dengan memberikan arahan sevcara bijaksana dengan melihat
situasi dan kondisi, bertahap dalam menyampaikan pesan, mengambil yang paling
ringan dari dua perkara yang berat, mempermudah dan tidak mempersulit.
Sebagai pelengkap, Jum’ah Amin Abdul Azis
dalam fiqih dakwah, memberikan pula wawasannya mengenai kaidah dalam berdakwah
:
1) Memberikan
keteladanan sebelum berdakwah
2) Mengikat
hati sebelum menjelaskan
3) Mengenalkan
sebelum memberi beban
4) Bertahap
dalam pembebanan
5) Memudahkan
bukan menyulitkan
6) Yang
pokok sebelum yang cabang
7) Membesarkan
hati sebelum memberi ancaman
8) Memberikan
pemahaman bukan memdiktih
9) Mendidik
bukan menelanjangi
4.
Da’i
wajib melaksanakan tugasnya dengan profesional
Secara
sederhana kompetensi profesional dipahami sebagai piawai sebagai prektek dakwah
antara lain piawai melaksanakan tugas sesuai bidang keahliaanya dalam dakwa
(tabliq, irsyat, tadbir, tahwir), piawai dalam merencana kegiatan dakwah,
piawai memformulasikan materi dakwah dan penyampaiannya serta piawai dalam
mengunakan metode dan medioa dakwah.
a. Piawai
dalam mengunakan dakwah did dasarkan sekurang-kurangannya dalam pemahaman
standar metode, yakni dalam pengunaannbya mempertimbangankan pengunaan metode
yang tepat dan relefan. Metode ini tentu di ditetapkan sesuai kondisi objek
dakwah, oleh karena itu seorang Da’i dalam ciri profesional ini menguasai ragam
metode dakwah dan mengimplementasikannya.
b. Maksudnya
dai dituntut untuk mengunakan teknologi, tidak gaptek, memahami karakteristik
media, mampu mendesain media dakwah tertentu
c. Piawai
menyusun materi dakwah sebelum dakwah dilangsungkan seorang Da’i terlebih
dahulu membuat konsepdan menyusun materi dakwah yang akan dilaksanankaanya.
Konsep mengacu kepada standar pembeuatan materi dakwah antara lain: merujuk
pada Al Quran dan Hadis, memperkaya materi dengan penafsiran mufasir,
kaidah-kaidah fiqih, ungkapan-ungkapan bijak, kisah-kisah teladan, tidak
menjelekjeleknan kelompok berbeda, tidak memiucu konflik, tidak ngawur,
improfisasi sesuai dengan topik.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Implikasi
Penerapan Kewajiban Berdakwah Bagi Umat Islam Dakwah adalah amalan yang disyariatkan dan
masuk kategori fardhu kifayah. Tidak boleh kategori diabaikan, diacuhkan, dan
dikurangi bobot kewajibannya. Hal itu disebabkan terdapat sedemikian banyak
perintah dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah untuk berdakwah dan amar ma’ruf
nahi mungkar.
B.
Saran
Sejatinya
setiap muslim adalah da'i bukan seperti yang dipahami banyak orang bahwa yang
mempunyai tugas dakwah hanyalah penceramah, kiyai atau ustadz saja. Betul bahwa
kewajiban itu lebih diberatkan kepada mereka, karena pemahaman mereka yang
lebih terhadap Islam tapi ini tidak seharusnya tidak bisa dijadikan alasan
untuk menanggalkan kewajiban dakwah dari seseorang. Jika, seseorang merasa
belum layak untuk berdakwah kepada orang lain, karena, misalnya, pengetahuannya
yang masih terbatas, maka kewajibannya yang pertama adalah mendakwahi dirinya
sendiri. Ia harus katakan pada dirinya bahwa pemahamannya masih sedikit, maka
ia harus berbuat dan belajar lagi agar, kemudian, ia bisa menyeru orang lain.
Maka, jika berdakwah kepada orang lain dirasa oleh seseorang belum layak, objek
dakwah baginya adalah dirinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Enjang,
Etika Dakwah, Widya pajdadjaran:
Bandung, 2009
Fawaz
Bin Hulail bin Rabah As-Suhaimi, Pokok-Pokok
Dakwah Manhaj Salaf, Griya Ilmu: Jakarta Timur, 2007
Fathul
Bahri An-Nabiry, Meneliti Jalan Dakwah, Amzah:
Jakarta, 2008
Moh,
Ali, Aziz, Ilmu Dakwah, Kencana Media
Group: jakarta, 2004
Munir,
Metode Dakwah, Kencana Media Group:
Jakarta, 2009
Samsul,
Munir, Amin, Ilmu Dakwah, Sinar
Grafika Offset: Jakarta,2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar