PESAN SINGKAT

Kamis, 15 Desember 2011

implikasi kewajiban dakwah bagi umat islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Kewajiban berdakwah merupakan salah satu kewajiban yang terlupakan ,bahkan di remehkan hak haknya oleh sebagian besar kaum muslimin, kecuali hanya sedikit saja di antara mereka. Terkadang, ada juga orang yang menyinggung masalah dakwah ini namun kemudian meragukan kewajibannya atas setiap muslim. Mereka memandang bahwa kewajiban tersebut hanya terbatas pada alim ulama, bukan selain mereka. Bahkan di samping meragukan keajiban umum dakwah atas kaum muslimin, mereka juga mempersempit wilayahnya, yaitu memandang dakwah hanya terbatas pada persoalan persoalan ibadah murni dan akhlak terpuji saja. Dalam pandangan orang seperti ini, dakwah tidak boleh memperluas wilayahnya meliputi seluruh aspek kehidupan dan hubungan antar manusia. Karena, cakupan dakwah seperti ini menurut mereka membebani Islam dengan perkara perkara yang tidak mampu di tanggunggnya. Juga pemaksaan terhadapnya dalam mengatasi sesuatu yang bukan tempat dan lapangannya.
Ada juga kelompok yang lebih ekstrim lagi. Disamping meragukan kewajiban dan membatasi wilayah dakwah, mereka juga menolak bentuk dakwah yang dilakukan secara jama’ah dan berkonsentrasi kepada Allah SWT. Dengan asumsi bahwa metode dakwah seperti ini merupakan bid’ah dalam agama. Sedangkan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya neraka.
Tidak cukup itu, mereka juga memandang bahwa pendirian suatu jamaah menjadikan barisan persatuan kaum muslimin bercabang cabang. Hal ini terlarang dalam Islam. Demikianlah, kewajiban dakwah kepada Allah bukan hanya di lupakan, ditinggalkan dan dilecehkan saja. Bahkan, para da’inya sendiri juga di tuduh dan diperangi. Akibatnya, para da’i menghadapi tantangan, tekanan dan pengusiran. Ironisnya, hal itu lebih banyak terjadi di Negara Negara Islam dibanding Negara kafir. Allah SWT adalah sebaik baik tempat memohon pertolongan.

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana implikasi kewajiban berdakwah bagi umat islam?

C.  Tujuan
1.    Mengetahui implikasi kewajiban dakwah bagi umat islam.























BAB II
PEMBAHASAN

Implikasi Penerapan Kewajiban Berdakwah Bagi Umat Islam
Umat Islam sepakat bahwa dakwah adalah amalan yang disyariatkan dan masuk kategori fardhu kifayah. Tidak boleh kategori diabaikan, diacuhkan, dan dikurangi bobot kewajibannya. Hal itu disebabkan terdapat sedemikian banyak perintah dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah untuk berdakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar.
Oleh karena itu berdakwah merupakan tugas dan kewajiban kita bersama sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$#
”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Ali Imran, 3 : 104)

Dakwah dan amar ma’ruf merupakan prasyarat dalam membangun khairu ummah (umat pilihan). Seandainya umat Islam tak mau berdakwah, maka tentu mereka pasti mengalami kerugian dan kemunduran dalam pelbagai aspek kehidupan.
Kemuliaan sekelompok benar-benar disebabkan karena dakwah dan demikian pun dengan kehinaan mereka adalah karena meninggalkan dakwah. Allah SWT berfirman,

öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ  

”Kamu semua adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran, 3 : 110)
Namun sebelum kita membahas lebih lengkap tentang implikasi penerapan kewajiban berdakwah bagi umat islam, terlebih dahulu kita akan membahas bagaimana etika kewajiban berdakwah karena etika sangatlah berpengaruh terhadap performance seorang dai dalam melakukan aktifitas berdakwah sehingga kita harus memahami terlebih dahulu.

A.      Kewajiban berdakwah
Banyak ayat Al-Qur’an maupun teks hadis Nabi SAW. yang menguraikan tentang dakwah Islam. Di antara ayat-ayat dakwah yang menyatakan kewajiban dakwah secara tegas adalah surat an-Nahl ayat 125, surat Ali Imran ayat 104, dan surat al-Maidah ayat 78 dan 79[1].
1.    QS. Ali Imran 104:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

2.    QS. Al-Maidah 78-79:
šÆÏèä9 tûïÏ%©!$# (#rãxÿŸ2 .`ÏB û_Í_t/ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) 4n?tã Èb$|¡Ï9 yŠ¼ãr#yŠ Ó|¤ŠÏãur Ç`ö/$# zOtƒötB 4 y7Ï9ºsŒ $yJÎ/ (#q|Átã (#qçR%Ÿ2¨r šcrßtF÷ètƒ ÇÐÑÈ (#qçR$Ÿ2 Ÿw šcöqyd$uZoKtƒ `tã 9x6YB çnqè=yèsù 4 š[ø¤Î6s9 $tB (#qçR$Ÿ2 šcqè=yèøÿtƒ ÇÐÒÈ
Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.

Ayat-ayat di atas secara tegas memerintahkan kita untuk melaksanakan dakwah Islam. Perintah tersebut ditunjukkan dalam bentuk kata perintah dan kecaman bagi yang meninggalkan dakwah.
Kata perintah (fi’il amr) disebut dalam surat an-Nahl ayat 125 dengan kata “Serulah” sedangkan dalam surat Ali Imran ayat 104 kata perintahnya berupa “Dan hendaklah ada di antara kemu sekelompok orang yang menyeru...”. Perintah yang pertama lebih tegas daripada perintah yang kedua. Perintah pertama menghadapi subjek hukum yang hadir, sedangkan subjek hukum dalam perintah kedua tidak hadir (in ansentia). Selain itu, pesan dari perintah pertama lebih jelas, yakni “berdakwahlah”, sedangkan pesan dari perintah kedua hanya “hendaklah ada sekelompok orang yang berdakwah”[2].
Dalam surat al-Maidah ayat 78-79 tersebut Allah mengecam dengan keras Bani Israil yang meninggalkan dakwah. Mereka tidak memiliki kepedulian sama sekali kepada aktivitas dakwah. Mereka “tidak melarang kemungkaran”. Perintah ini juga tidak lebih tegasdibanding kedua ayat tersebut. Surat al-Maidah ayat 78-79 tersebut hanya menampilkan contoh nyata dari umat terdahulu yang disiksa karena mengabaikan perintah mencegah kemungkaran. Meskipun kecaman tidak ditujukan kepada umat Nabi SAW., tetapi ia berlaku pada umat Nabi SAW., karena hukum umat terdahulu masih berlaku selama belum diganti.
Dalam kaidah Ushul Fikih disebutkan “Pada dasarnya, perintah itu menunjukkan kewajiban (al-Ashl fi al-amr li al-wujub). Dengan demikian sangat jelas bahwa perintah berdakwah dalam kedua ayat tersebut adalah perintah wajib. Demikian pula, ancaman laknat Allah menunjukkan larangan keras. Kaidah Ushul Fikih lain yang terkait dengan kaidah di atas berbunyi, ”Pada dasarnya, larangan itu menunjukkan hukum haram (al-ashl fi al-nahy li al-tahrim). Dalam kaidah lain, melarang sesuatu berarti memerintahkan kebalikannya (al-nahy ‘an al-syai’ amr bi al-dliddih). Dengan demikian, kecaman keras Allah bagi orang yang tidak peduli dakwah berarti perintah wajib melaksanakan dakwah.
Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang dibebani kewajiban dakwah. Pangkal perbedaan dakwah tersebut terletak pada huruf min dalam surat Ali Imran ayat 104 tersebut. Al-Ghazali adalah salah satu ulama yang berpendapat bahwa kewajiban dakwah adalah Fardlu Kifayah. Sebagai Fardlu Kifayah, dakwah hanya dibebankan atas orang-orang yang memiliki keahlian dan kemampuan di bidang agama Islam. Kata min dalam ayat tersebut diartikan “sebagian” (li al-tab’idl). Selain itu, al-Ghazali membuat alasan tersendiri. Ia mengatakan (al-Ghazali, t.t.: II: 303):
“Dalam ayat tersebut terdapat penjelasan kewajiban. Firman Allah SWT. yang berbunyi “Hendaklah ada di antara kamu sekelompok orang yang menyeru... (QS Ali Imran 104)”, merupakan sebuah perintah. Pada dasarnya, perintah adalah kewajiban. Dalam ayat itu ada penjelasan bahwa kebahagiaan terkait dengan kewajiban apabila ia dilaksanakan. Firman Allah,”Mereka adalah orang-orang yang berbahagia”, merupakan penjelasan bahwa kewajiban itu adalah fardlu kifayah, bukan fardlu ‘ain. Karenanya, jika dakwah telah dilaksanakan oleh suatu kelompok, maka kewajiban umat yang lain menjadi gugur. Allah tidak berfirman,”Jadilah masing-masing kalian semua sebagai orang-orang yang memerintahkan makruf”, bahkan berfirman,”Hendaklah di antara kalian ada suatu kelompok”. Manakala ada seorang atau kelompokn yang telah melaksanakannya, maka orang lain tidak menanggung dosa. Kebahagiaan tertentu pada orang-orang yang melaksanakannya dengan gembira. Jika semua orang duduk saja (tidak melaksanakan dakwah), maka sudah pasti dosanya akan dipikul oleh semua orang yang memiliki kemampuan (berdakwah)”.

Pendapat al-Ghazali ini diikuti oleh Ahmad Mahmud, M. Quraish Shihab, Ibnu Katsir, dan Muhammad Ahmad al-Rasyid. Mahmud berkata,”Menegakkan hukum Allah SWT., jihad fi sabilillah, ijtihad, dan amar makruf nahi munkar-misalnya-semuanya termasuk hukum fardhu kifayah yang wajib ditegakkan oleh umat Islam keseluruhan”. Quraish Shihab berpendapat,”Karena itu, adalah lebih tepat mengartikan kata minkum pada ayat di atas dengan “sebagian dari kamu” tanpa menafikkan kewajiban setiap muslim untuk saling ingat-mengingatkan. Ibnu katsir mengatakan,”Maksud ayat ini adalah ada kelompok dari umat ini yang bersedia untuk berdakwah, meskipun perintah itu wajib bagi setiap individu dari umat Islam sesuai dengan kemampuannya”. Ahmad al-Rasyid juga mengemukakan:
“Dengan demikian, menjadi sangat jelas bahwa mengajak kepada Allah adalah wajib bagi setiap muslim, akan tetapi hanya sebagai fardhu kifayah. Hanya saja wajib bagi orang tertentu melakukan dakwah sesuai dengan kemampuannya bila orang lain tidak melakukannya. Kewajiban ini berlaku dalam hal memerintahkan kebaikan, melarang kemunkaran, menyampaikan apa yang telah dibawa Rasulullah SAW., jihad di jalan Allah, dan mengajarkan iman dan Al-Qur’an”.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa berdakwah adalah suatu keharusan yang harus dilaksanakan oleh umat islam baik dengan segala hukum tentang dakwah, apakah itu fardhu ain atau fardhu kifayah adalah merupakan kewajiban kita sebagai umat yang mempunyai intelektualitas tinggi dan menyandang amanah dalam menegakkan syariat islam.
Tidak ada agama yang dapat menghindari dakwah jika ia memiliki suatu kekuatan intelektual. Menolak dakwah berarti menolak kebutuhan untuk mendapatkan persetujuan orang lain terhadap apa yang di klaim sebagai kebenaran agama[3].


B.       Norma-Norma Dan Kaidah Dalam Dakwah
Fungsi atau manfaat dari etika berdakwah, diantaranya sebagai alat untuk mengetahui baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku dakwah. Selain itu, dipahami adanya nilai-nilai yang melekat pada perbuatan dakwah, dan nilai-nilai itu perlu diperjelas dari sisi kualitasnya.
Dakwah sebagai amaliah keislaman tidak jauh berbeda dengan amaliyah islam lainnya memiliki standar yang jelas baik dalam Al-quran dan Al-hadist, akan tetapi kaidah-kaidah umum mengenai keharusan perilaku manusia didunia banyak ulama yang merumuskan. Dan kalau mau terbuka untuk mengakui, kaidah-kaidah yang berkembang didunia fiqh pada dasarnya merupakan acuan bagi praktek dakwah islam.
1.      Tugas Da’i
Pertama, Bersungguh-Sungguh Dan Tekun (Al Jiddiyah Wal Mu’azhibah).
     Kesungguhan adalah modal utama untuk dapat menunaikan setiap tugas. Dan kesungguhan merupakan indikasi dari sikap yang penuh tanggung jawab. Ia pun cerminan dari keimanan dan keyakinan yang kuat akan pertemuannya dengan Sang Rabbul Izzati sehingga melahirkan perilaku siap dan sedia menunaikan suatu tugas yang diamanahkan kepadanya. Dari sinilah, akan diukur seberapa besar kesiapan dan kesediaan yang berdampak pada kepuasan masyarakat akan pelayanan dan penunaian tanggung jawab tersebut.
Bila melihat sederetan tugas-tugas tersebut di atas, kita temukan bahwa tugas tersebut betul-betul tidak sepele. Tugas dan tanggung jawab itu tidak boleh dianggap main-main. Apalagi harapan yang dimiliki banyak orang teramat tinggi. Mereka berharap bahwa kader dakwah pasti dapat memikul tugas itu dan dapat memberikan pengaruh kebaikan yang dirasakan oleh umat.
Kedua, Aktivitas Yang Berkesinambungan (Istimrariyatul Amal).
     Karena waktu senantiasa berjalan tak kenal henti, amalpun tak boleh berhenti. Memang suatu tugas dikira sudah selesai namun ternyata masih ada setumpuk tugas lainnya yang sedang menunggu untuk diselesaikan. Gambaran yang sering diungkapkan orang adalah bergeraknya amal ini bagai deburan ombak di lautan yang datang silih-berganti dengan deburan ombak lainnya kadang ombak besar kadang ombak kecil. Bila amal tersebut dilakukan bak ombak tadi niscaya amal datang susul-menyusul dan tidak akan pernah mati. Olah kreatifitas amal perlu digesahkan kepada seluruh lapisan kader sehingga mereka bisa menciptakan berbagai amal yang variatif.
Ketiga, Kedisiplinan Terhadap Manhaj (Indhibatul Manhajiyah).
     Manhaj merupakan rambu perjalanan dakwah ini. Ia bagaikan denah yang menunjukan arah dan apa yang mesti dilakukan. Karena itu, setelah selesainya satu tugas perlu melihat kembali apa yang telah digariskan oleh manhaj dakwah tentang tugas-tugas ke depan. Bila terkait dengan tarbiyah, ia perlu diterapkan secara disiplin sesuai arahannya. Sebagaimana petunjuk Allah SWT kepada Nabi Yahya as: “Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak”. (QS. Maryam: 12). Tentunya, hal ini juga berlaku kepada seluruh kader untuk menerapkan tuntutan manhaj secara disiplin sehingga ia dapat menghantarkan perjalanan dakwah ini dari satu mihwar ke mihwar lainnya dengan sistematis.
Keempat, Keteladanan Dan Arahan (Al Qudwah Wat Taujih).
Komunitas suatu masyarakat kadang akan mudah terbentuk bila memiliki cermin jernih yang menjadi panutan bagi yang lain. Karena panutan bagai mercusuar yang akan mengarahkan dan juga menjadi ukuran atau kiblat mereka. Di sinilah pentingnya keteladanan antara satu dengan yang lain.
2.    Hukum berdakwah
Al-quran surat An-nahl:125
 äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ  
Artinya: serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk
Dalam tafsir ayat ini bisa dijelaskan sebagai wajibnya umat islam untuk melakukan dakwah (menjadi da’i).
Dalam konteks ilmu, penuaian kewajiban itu mensyaratkan kesempurnaan sehingga tidak terjebak pada asal menunaikan atau hanya mengikuti kebiasaan saja.disini makna kewajiban diperluas wajibnya umat islam untuk  mempelajari,menguasai dan mengembangkan ilmu dakwah, wajibnya orang untuk menjadi Da’i diikuti dengan kewajiban untuk mengilmukan kegiatan dakwah islam, kaidahnya berbunyi :
ما لا يتم الو اجب الا به فهو واجب
“ sesuatu kewajiban dipandang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib”
Kewajiban dakwah itu akan menjadi sempurna jika ditopang oleh sejumlah faktor-faktor yang melekat pada figur da’i baik berupa penguasaan terhadap ilmu, professionalisme, serta ahlak dan kepribadian.

3.    Prasyarat-prasyarat Da’i
a.    Dai wajib memiliki wawasan yang luas dan pemahaman agama yang mendalam.
Abdullah nasir menyebutkan sekurang-kurangya ada lima cakupan yang penting dimilki dai yaitu : wawasan keislaman, wawasan sejarah, wawasan humaniora, wawasan ilmiah, dan wawasan kontemporer.
Pertama Wawasan Keislaman
Adalah bahwa seseorang dai dituntut untuk mengetahui pengetahuan yang terkait dengan al-quran, al-hadist, serta ilmu yang termasuk pada rumpun ilmu agama. Penguasaan rumput ilmu itu diharapkan muncul kemampuan untuk : (1) menghindari kisah-kisah israiliyyah yang sering tardapat dalam kitab tafsir, (2) waspada terhadap riwayat-riwayat yang palsu dan lemah, (3)  waspada terhadap statement dan pendapat-pendapat yang rusak, (4) waspada terhadap mereka yang ada keragu terhadap hadist-hadist, (5) waspada terhadap hadist-hadist palsu dan dhaif.
Dengan penguasaan keislaman terutama fiqh, agar dapat membetulkan masalah-masalah yang dihadapi serta meluruskan penyimpangan dalam masalah hukum syariat.
Didalam menyapaikan pesan dakwah, da’i hendaknya mampu mengaitkan hukum dengan dalil-dalil (al-quran dan hadist) sekurang-kurangya mengenal dalil-dalil dan madzabnya, dan lebih bagus lagi ketika menerangkan dalil diterangkan juga hikmah dan pengaruh bagi diri dan kehidupan.
Kedua Wawasan Sejarah
Monzer kahf pernah mengatakan bahwa sejarah merupakan laboratorium bagi umat islam ( the history is the laboratorium for muslim). Dengan menguasai sejarah berarti seorang da’i akan memahami hikmah-hikmah bagi peristiwa yang pernah ada dipermukaan bumi, rahasiaan kejayaan dan kejatuhan suatu bangsa. Syamsudin RS dalam bukunya studi sejarah dakwah sekurang-kurangnya arti penting mempelajari sejarah dakwah dijabarkan sebagai berikut. Pertama, meluaskan pandangan dan membukakan persoalan umat islam tentang sikap dan prilaku sejarah, seeta perubahan-perubahan sosial yang timbel. Kedua, sejarah dakwah merupakan saksi jujur keberadaan dakwah yang menampilkan dinamika perkembanggan dakwah dan hukum-hukum yang mengatur hubungan antara kualitas dakwah dan kondisi masyarakatnya.
Ketiga Wawasan Humaniora
Seorang dai  penting menguasai wawasan humaniora seperti : psikologis, sosiologis, ekonomi, ahlak, pendidikan, geografi, dll.
Keempat Wawasan Ilmiah
Wawasan ini sangat penting karena disebabkan :
(1) dalam kehidupan kontemporer ilmu menjadi nadi dan motor penggerak.
(2) banyak hal yang dikaitkan dengan ilmu dan digunakan sebagai sarana pemahaman agama.
(3)  dakwah dituntut untuk memenuhi standar-standar ilmiah, menimbnag kualitas dan memanfaatkan prediksi-prediksi yang diberikan oleh ilmu pengetahuan.
Kelima Wawasan Kontemporer.
Wawasan kontemporer adalah wawasan yang diterima da’i oleh kenyataan hidup. Yakni apa yang terjadi dengan manusia kini, dalam dunia islam dan dunia umumnya. 
Wawasan kontemporer yang penting dimiliki para da’i antara lain :
(1) pengetahuan tentang dunia islam.
(2) kondisi kekuatan dunia yang memusui islam seperti yang diperankan 3 kekuatan : yahudi internasional, salibi, komunisme internasional.
(3) situasi agama-agama kontemporer.
(4) situasi madzab-madzab kontemporer.
(5) situasi dan kondisi pergerakan-pergerakan islam kontenporer.

Tanpa wawasan seorang da’i tak akan mampu memberikan penjelasan yang baik tentang islam kepada orang lain, tidak mendatangkan manfaat bagi umatnya, dan menyembuhkan penyaki-penyakit hati dan tak mampu menjadi da’i yang berhasil dan profesional serta dihargai dan dihormati oleh masyarakat. Selai wawasan da’i dituntut kompetensi untuk memiliki pemahaman yang mandalam tenyang islam (taffaquh fid-din). Yang dimaksud pemahaman disini seorang da’i bukan sekedar tahu apa itu islam secara tekstual tetapi juga secara kontekstual, bukan hanya dari sisi dhohirnya tetapi juga dari sisi bathinnya.
Buah dari pemahaman tentunya seorang da’i akan mendapatkan petunjuk yang benar bagaimana seharusnya ia bertindak, berucap, dan memperlakukan orang lain. Ada beberapa pemikiran sebagai buah pemahaman tentang keharusan dakwah antara lain :
·       Dakwah itu mempermudah tidak mempersulit.
·       Menghilangkan kesulitan.
·       Menggembirakan bukan menakut-nakuti.
·       Suatu yang menjadi boleh demi menghindari kerusakan.
·       Kesulitan mendatangkan kemudahan.
·       Melakukan pengulangan agar menjadi jelas.
·       Kesempitan menjadi meluas.
·       Memilih bahaya yang paling ringan atau keburukan yang paling rendah.
·       Meninggalkan kemslahatan terendah untuk kemaslahatn yang tinggi.
·       Fatwah bisa berubah karena perubahan zaman, ruang, situasi, dfan kondisi.
·       Taklif sesuai kemampuan.
·       Kesukaran harus dihilangkan.
·       Menolak kemadaratan dan kerusakan.
·       Tidak melakukan pemaksaan dalam agama.
·       Merawat hal-hal yang positif dan mengambil sesuatu yang baik

b.    Da’i wajib memiliki ahlakul karimah dan berkepribadian yang rasuli
Dalam konteks ini maka sudah sepantasnya seorang da’i memilki kompetensi yang dimilki oleh nabi. Sejarah mencatat nabi saw memilki sifat-sifat antara lain : shiddiq, fathonah, amanah dan tabligh ( sifat), hammiyah, rendah hati(tawadhu), dermawan (judd), berwibawah (mahabbat), suka memberi hadiyah (hadiyyah), pemaaf (‘afw), penuh harap (raja’), lemah lembut (riqqatul qalb), hati-hati (ikhtiyat).
Dalam beberapa hadist diterangkan :
“Dari Siti Aisyah r.a. Rasulullah saw bersabda : sesungguhnya Allah tidak mengutusku untuk menjadi pemersulit dan memperberat, akan tetap Allah mengutusku untuk menjadi pengajar yang mempermudah” (H.R. BUKHA “Dari Siti Aisyah r.a berkata:” sesungguhnya Allah itu maha lemah lembut menyukai kelemah lembutan dalm segala urusan” (H.R. BUKHARI).
Nabi saw sebagai da’i merupakan sosok yang sangat memperhatikan cara-cara berdakwah yang benar antara lain :
1)    Mengedepankan sikap proposional dalam menyikapi kermungkaran.
2)   Memperhatikan akibat yang akan ditimbulkan bagi rasul jika sekiranya dilakukan amar ma’ruf nahyi mungkar justru menimbulkan kemadharatan,maka beliau akan menahan diri untuk tidak melakukannya terlebih dahulu.
3)   Tidak bersikap kasar atau pun mencaci maki seseorang yang berbuat salah.
Dari penjelasan di atas bahwa cara dakwa Rasulullah SAW yang bernialai etis dalam prakteknya dilakukan dengan memberikan arahan sevcara bijaksana dengan melihat situasi dan kondisi, bertahap dalam menyampaikan pesan, mengambil yang paling ringan dari dua perkara yang berat, mempermudah dan tidak mempersulit.
       Sebagai pelengkap, Jum’ah Amin Abdul Azis dalam fiqih dakwah, memberikan pula wawasannya mengenai kaidah dalam berdakwah :
1)    Memberikan keteladanan sebelum berdakwah
2)    Mengikat hati sebelum menjelaskan
3)    Mengenalkan sebelum memberi beban
4)    Bertahap dalam pembebanan
5)    Memudahkan bukan menyulitkan
6)    Yang pokok sebelum yang cabang
7)    Membesarkan hati sebelum memberi ancaman
8)    Memberikan pemahaman bukan memdiktih
9)    Mendidik bukan menelanjangi

4.    Da’i wajib melaksanakan tugasnya dengan profesional
Secara sederhana kompetensi profesional dipahami sebagai piawai sebagai prektek dakwah antara lain piawai melaksanakan tugas sesuai bidang keahliaanya dalam dakwa (tabliq, irsyat, tadbir, tahwir), piawai dalam merencana kegiatan dakwah, piawai memformulasikan materi dakwah dan penyampaiannya serta piawai dalam mengunakan metode dan medioa dakwah.
a.    Piawai dalam mengunakan dakwah did dasarkan sekurang-kurangannya dalam pemahaman standar metode, yakni dalam pengunaannbya mempertimbangankan pengunaan metode yang tepat dan relefan. Metode ini tentu di ditetapkan sesuai kondisi objek dakwah, oleh karena itu seorang Da’i dalam ciri profesional ini menguasai ragam metode dakwah dan mengimplementasikannya.
b.    Maksudnya dai dituntut untuk mengunakan teknologi, tidak gaptek, memahami karakteristik media, mampu mendesain media dakwah tertentu
c.    Piawai menyusun materi dakwah sebelum dakwah dilangsungkan seorang Da’i terlebih dahulu membuat konsepdan menyusun materi dakwah yang akan dilaksanankaanya. Konsep mengacu kepada standar pembeuatan materi dakwah antara lain: merujuk pada Al Quran dan Hadis, memperkaya materi dengan penafsiran mufasir, kaidah-kaidah fiqih, ungkapan-ungkapan bijak, kisah-kisah teladan, tidak menjelekjeleknan kelompok berbeda, tidak memiucu konflik, tidak ngawur, improfisasi sesuai dengan topik.















BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Implikasi Penerapan Kewajiban Berdakwah Bagi Umat Islam Dakwah adalah amalan yang disyariatkan dan masuk kategori fardhu kifayah. Tidak boleh kategori diabaikan, diacuhkan, dan dikurangi bobot kewajibannya. Hal itu disebabkan terdapat sedemikian banyak perintah dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah untuk berdakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar.

B.  Saran
Sejatinya setiap muslim adalah da'i bukan seperti yang dipahami banyak orang bahwa yang mempunyai tugas dakwah hanyalah penceramah, kiyai atau ustadz saja. Betul bahwa kewajiban itu lebih diberatkan kepada mereka, karena pemahaman mereka yang lebih terhadap Islam tapi ini tidak seharusnya tidak bisa dijadikan alasan untuk menanggalkan kewajiban dakwah dari seseorang. Jika, seseorang merasa belum layak untuk berdakwah kepada orang lain, karena, misalnya, pengetahuannya yang masih terbatas, maka kewajibannya yang pertama adalah mendakwahi dirinya sendiri. Ia harus katakan pada dirinya bahwa pemahamannya masih sedikit, maka ia harus berbuat dan belajar lagi agar, kemudian, ia bisa menyeru orang lain. Maka, jika berdakwah kepada orang lain dirasa oleh seseorang belum layak, objek dakwah baginya adalah dirinya sendiri.









DAFTAR PUSTAKA

Enjang, Etika Dakwah, Widya pajdadjaran: Bandung, 2009
Fawaz Bin Hulail bin Rabah As-Suhaimi, Pokok-Pokok Dakwah Manhaj Salaf, Griya Ilmu: Jakarta Timur, 2007
Fathul Bahri An-Nabiry, Meneliti Jalan Dakwah, Amzah: Jakarta, 2008
Moh, Ali, Aziz, Ilmu Dakwah, Kencana Media Group: jakarta, 2004
Munir, Metode Dakwah, Kencana Media Group: Jakarta, 2009
Samsul, Munir, Amin, Ilmu Dakwah, Sinar Grafika Offset: Jakarta,2009


[1] Prof. Muh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2004) Hal.145
[2] Ibid., Hal.146
[3] M. Munir, S.Ag, Metode Dakwah (Prenada Media: Jakarta, 2003) Hal.28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GALERI

Photobucket