BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia,
akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran,
kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, serta diakhiri dengan
kematian.
Dari proses siklus kehidupan tersebut,
kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri besar, & ilmu
pengetahuan belum berhasil menguaknya. Untuk dapat menentukan kematian
seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar
berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari
Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat
waktu kematian. Sebagaimana firman Allah:
Èe@ä3Ï9ur >p¨Bé& ×@y_r& ( #sŒÎ*sù uä!%y` öNßgè=y_r&
Ÿw tbrãÅzù'tGó¡o„ Zptã$y™ ( Ÿwur šcqãBωø)tGó¡o„ ÇÌÍÈ
Artinya: Tiap-tiap umat mempunyai batas
waktu. Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya
barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (al-a’raf: 34)
Makalah ini bermaksud untuk mengetahui
apa hakikat dan hukum dari bunuh diri dan euthanasia menurut pandangan agama,
etik, dan kesehatan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan bunuh diri?
2. Bagaimana
hukum bunuh diri?
3. Apa
yang dimaksud dengan euthanasia?
4. Bagaimana
hukum euthanasia?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui makna bunuh diri
2. Untuk
mengetahui hukum bunuh diri
3. Untuk
mengetahui makna euthanasia
4. Untuk
mengetahui euthanasia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bunuh Diri
1.
Pengertian
Bunuh Diri
Suatu upaya yang
disadari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan, individu secara sadar dan
berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk mati. Perilaku bunuh diri
meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibat
kan kematian, luka atau menyakiti diri sendiri[1].
2.
Hukum
Bunuh Diri
Bunuh diri adalah dosa besar, karena adanya ancaman khusus baginya,
sebagaimana sabdanya:
“Barangsiapa bunuh diri dengan besi, maka di neraka jahanam nanti besi
itu selalu di tangannya, ia menusuk-nusukkannya ke perutnya selama-lamanya. Dan
barangsiapa bunuh diri dengan minum racun, maka di neraka jahanam nanti ia akan
terus meminumnya selama-lamanya. Dan barangsiapa bunuh diri dengan menjatuhkan
diri dari gunung, maka di neraka jahanam nanti, ia akan menjatuhkan (dirinya)
selama-lamanya.” (HR. Muslim,
109)
Jika Allah berkehendak, dosa bunuh diri bisa
diampuni, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ
أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاء
“Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan mengampuni dosa
selain syirik bagi siapa yang dikehendaki.” (Qs. An-Nisa: 48)
B. Euthanasia
1.
Pengertian
Euthanasia
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani,
yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity,
dan Thanatos yang berarti mati.
Jadi secara etimologis, euthanasia dapat
diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan secara harafiah, euthanasia tidak
dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.
Menurut Philo (50-20 SM), euthanasia
berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam
bukunya Vita Caesarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa
derita”.[2]
Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan
peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan
dokter.
Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah
qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia
berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang
akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada
dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.[3]
Euthanasia merupakan tindakan
penghentian kehidupan manusia baik dengan cara menyuntikkan zat tertentu atau
dengan meminum pil atau dengan cara lainnya. Tindakan ini muncul akibat
terjadinya penderitaan yang berkepanjangan dari pasien. Di beberapa negara
eropa dan sebagian Amerika Serikat, tindakan euthanasia ini telah mendapat izin
dan legalitas negara. Pada umumnya mereka beranggapan bahwa menentukan hidup
dan mati seseorang adalah hak asasi yang harus dijunjung tinggi.
Kode Etik Kedokteran Indonesia
menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
1.
Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan
aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.
2.
Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat
penenang.
3.
Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri & keluarganya.[4]
2.
Macam-Macam
Euthanasia
Macam-macam euthanasia, antara lain:
1.
Euthanasia Aktif
Euthanasia
aktif artinya mengambil kehidupan seseorang untuk mengurangi penderitaannya.
Ada aspek kesengajaan mematikan orang tersebut, misalnya dengan menyuntikkan
zat kimia tertentu untuk mempercepat proses kematiannya, misalkan ada seseorang
menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering
kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal
dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang
sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya
sekaligus.
2.
Euthanasia Pasif
Euthanasia
pasif artinya membiarkan si sakit mati secara alamiah tanpa bantuan alat bantu
seperti pemberian obat, makanan, atau alat bantu buatan. Euthanasia pasif,
membiarkan kematian. Euthanasia pasif biasanya dibedakan atas euthanasia pasif
alamiah dengan bukan alamiah. Euthanasia pasif alamiah berarti menghentikan
pemberian penunjang hidup alamiah seperti makanan, minuman dan udara. Sedangkan
euthanasia pasif bukan alamiah berarti menghentikan penggunaan alat bantu mekanik
buatan misalnya mencabut respirator (alat bantu pernapasan) atau organ-organ
buatan. Euthanasia pasif alamiah sama dengan pembunuhan sebab dengan sengaja
membiarkan si sakit mati tanpa makan-minum (membunuh pelan-pelan). Sedangkan
mencabut alat bantu yang mungkin hanya berfungsi memperpanjang ‘penderitaan’
tidak sama dengan membunuh sebab memang si sakit tidak sengaja dimatikan
melainkan dibiarkan mati secara alamiah.
3.
Auto euthanasia,
Seorang
pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis
&dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.
Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis
tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Selain itu, euthanasia bisa juga
dibedakan atas euthanasia voluter dan euthanasia non-voluter:
1.
Voluntary euthanasia: Permohonan
diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat
mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan fisik dan
jiwa yang tidak menunjang.
2.
Involuntary euthanasia: Keinginan yang
diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena, misalnya seseorang
yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan untuk mati berada
pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.
Yang pertama berarti si sakit
menghendaki dan meminta sendiri dan mengetahui kematiannya. Maka euthanasia
voluter sering disamakan dengan bunuh diri, sedangkan euthanasia non-voluter
sering disamakan dengan pembunuhan.
3.
Hukum
Euthanasia
a. Aspek
Agama/ Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna
yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini
solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia
pasif.
1) Euthanasia
Aktif
Syariah Islam
mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan
sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan
penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien
sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah
jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa
orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
Ÿwur
(#qè=çGø)s?
š[øÿ¨Z9$#
ÓÉL©9$#
tP§ym
ª!$#
žwÎ)
Èd,ysø9$$Î/
4
Artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam :
151)
$tBur
šc%x.
?`ÏB÷sßJÏ9
br&
Ÿ@çFø)tƒ
$·ZÏB÷sãB
žwÎ)
$\«sÜyz
Artinya:
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` :
92)
Ÿwur
(#þqè=çFø)s?
öNä3|¡àÿRr&
4
¨bÎ)
©!$#
tb%x.
öNä3Î/
$VJŠÏmu‘
Artinya: “Dan janganlah
kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
(QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa
haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu
termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang
merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif,
misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan
dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam
(Khilafah), sesuai firman Allah :
$pkš‰r'¯»tƒ
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
|=ÏGä.
ãNä3ø‹n=tæ
ÞÉ$|ÁÉ)ø9$#
’Îû
‘n=÷Fs)ø9$#
(
”çtø:$#
Ìhçtø:$$Î/
߉ö6yèø9$#ur
ωö7yèø9$$Î/
4Ós\RW{$#ur
4Ós\RW{$$Î/
4
ô`yJsù
u’Å"ãã
¼ã&s!
ô`ÏB
ÏmŠÅzr&
ÖäóÓx«
7í$t6Ïo?$$sù
Å$rã÷èyJø9$$Î/
íä!#yŠr&ur
Ïmø‹s9Î)
9`»|¡ômÎ*Î/
3
y7Ï9ºsŒ
×#‹ÏÿøƒrB
`ÏiB
öNä3În/§‘
×pyJômu‘ur
3
Ç`yJsù
3“y‰tGôã$#
y‰÷èt/
y7Ï9ºsŒ
¼ã&s#sù
ë>#x‹tã
ÒOŠÏ9r&
ÇÊÐÑÈ
Artinya:
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”
(QS Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul
maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan
lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT
:
Artinya: “Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah
100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan
hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk
dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar,
atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham,
atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990:
113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia
aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga
kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah
(empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui
dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan
euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit
yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW
bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik
kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang
menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah
yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
2) Euthanasia
Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif,
sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan
tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan
tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien.
Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara
menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya
menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung
kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni,
apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada
perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya
mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat,
seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68)
hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits,
di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di
sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang
tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah
hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Sesungguhnya Allah Azza Wa
Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka
berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA).
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah
SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr)
itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban
(li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul : “Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab”
“Perintah itu pada asalnya adalah
sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas
hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun
bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits
lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib.
Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang
diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada
Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan
sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk
kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat
surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.”
Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata
lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka
berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu
berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya
tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang
memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah),
bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib.
Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum,
1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau
berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi
pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak
mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya?
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan
bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ
otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan
alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat
bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan
wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi
kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih
bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien,
karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk
aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif
dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien
–setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi
dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter
tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab
mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab
dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi
adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien
tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak
penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
b. Aspek
Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP
hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya
euthanasia aktif & dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan
sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter
selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat
latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan
tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi
penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang
belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana
mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup,
& tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut,
tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya
telah cukup antisipasif dalam menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain
dengan menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai
“Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent”. Disebutkan di sana,
manusia dewasa & sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak
dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang
bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88
mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini
tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun
di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter & rumah sakit
masih memiliki pandangan & kebijakan yang berlainan.
Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal
338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh.
Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan dimasukkannya unsur “dengan
rencana lebih dahulu”, karenanya biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang
direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia dapat menyangkut dua
aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang
disebut ‘concursus idealis’ yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan
bahwa:
1) Jika
suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan
hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan
yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
2) Jika
suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula
dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas ‘lex
specialis derogat legi generalis’, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan
peraturan yang sifatnya umum.
c. Aspek
Hak Azasi
Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan
dengan hak hidup, hak damai, & sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas
adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan
pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung
menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan
dianutnya hak untuk hidup layak & sebagainya, secara tidak langsung
seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan
diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan
yang hebat.
d. Aspek
Ilmu Pengetahuan
Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan
keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan
penderitaan pasien. Apabila secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk
mendapat kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak
boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya
yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu
kebohongan, karena di samping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan
terseret dalam habisnya keuangan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Suatu upaya yang
disadari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan, individu secara sadar dan
berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk mati. Perilaku bunuh diri
meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibat
kan kematian, luka atau menyakiti diri sendiri
Euthanasia dapat diartikan sebagai
mati dengan baik. Sedangkan secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan
sebagai pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.
Macam-Macam
Euthanasia
1.
Euthanasia Aktif
2.
Euthanasia Pasif
3.
Auto euthanasia
DAFTAR PUSTAKA
Aspek Hukum dalam
Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia Maret 15, 2008
Clinton dalam Mental
Health Nursing Practice (1995: 262)
Farid Ma'ruf pada 26
Januari 2007
http://zumrohhasanah.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar