PESAN SINGKAT

Kamis, 15 Desember 2011

Agama Budha,


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Telah kita ketahui bahwasanya di dunia ini terdapat bermacam-macam agama. Mulai dari agama samawi sampai agama ardhi. Ada tiga agama besar di dunia yakni Islam, Kristen dan Buddha. Agama Islam dibawah oleh Nabi Muhammad, sedangkan agama Kristen dibawah oleh Yesus Kristus dan agama Buddha dibawah oleh Siddharta Gauttama. Dalam makalah ini kami akan mencoba membahas secara singkat tentang agama Budha, baik dalam segi asal usul agama Budha, sistem ketuhan, kitab-kitab sucinya, sekte dalam agama budha, doktrin-doktrin yang dikembangkan, praktek keagamaan dalam agama Budha, ritual keagamaan dalam agama Budha, upacara keagamaan, tempat-tempat suci, bandingan dengan islam.

B.  Tujuan Pembahasan
 Dengan dibuatnya makalah ini, baik untuk penulis maupun pembaca, kita bisa mengetahui asal usul agama Budha, sistem ketuhan, kitab-kitab sucinya, sekte dalam agama Budha, doktrin-doktrin yang dikembangkan, praktek keagamaan dalam agama Budha ritual keagamaan dalam agama Budha, upacara keagamaan, tempat-tempat suci, bandingan dengan islam.

C.  Alasan Pembahasan
Kita sebagai orang islam hendaknya harus mengetahui asal usul agama Budha, sistem ketuhan, kitab-kitab sucinya, sekte dalam agama Budha, doktrin-doktrin yang dikembangkan, praktek keagamaan dalam agama Budha ritual keagamaan dalam agama Budha, upacara keagamaan, tempat-tempat suci, bandingan dengan islam. Hal ini demikian guna dapat menumbuhkan kecintaan kita terhadap islam, karena disini kita belajar membandingkan Islam dengan agama Budha.


BAB II
Tinjauan Umum Agama Budha
A.  Asal-Usul Agama Buddha
Dalam alur sejarah agama-agama di India zaman agama Buddha dimulai semenjak tahun 500 SM hingga tahun 300 M. secara historis agama tersebut mempunyai kaitan erat dengan agama yang mendahuluinya dan yang datang sesudahnya, yaitu agama Hindu.[1]
Cerita mengenai riwayat Buddha sendiri dilipti oleh mitoligi yang jaib, sehingga menimbulkan penilaian yang berbeda-beda terhadap kebenaran cerita-cerita tersebut. E. Senart (1875) berpendapat bahwa cerita tentang riwayat itu hanyalah mite yang telah berkembang pada zaman sebelum Gautama lahir. Dan mite ini menggambarkan pemujaan terhadap matahari. H. Oldemberg (1881) berpendapat bahwa Buddha Gautama memang benar-benar pernah lahir. Tetapi cerita mengenai dirinya disesuaikan dengan keadaan pada waktu itu. Oleh karena itu jika orang ingin mengetahui kebenaran riwayat hidup Buddha, segala cerita luar biasa harus dianggap tidak ada. Lalu cerita yang masuk akal disusun kembali, sehingga keadaan sebenarnya dapat didekati. H. Kern menyatukan kedua pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa Buddha Gautama memang benar-benar pernah ada, tetapi cerita kehidupan memang diliputi oleh suatu mite tentang matahari yang menerangi bumi.[2]

B.  Pendiri Agama Buddha
            Tersebutlah dalam cerita-cerita yang berkembang di kalangan umat Buddha bahwa jauh sebelum zaman prasejarah pernah hidup seorang makhluk yang bernama Sumedha. Ia pernah mengalami berjuta-juta kali reinkanasi selama ia dalam tubuh seorang manusia yang mempunyai derajat ke-buddha-an yang bernama Sidharta. Sebelum itu ia telah merintis berjuta-juta kali dalam bentuk binatang, manusia, dan dewa. Tidak semua makhluk bias menjelma dalam tubuh yang mempunyai derajat ke-buddhan-an, sebab derajat ini hanya bias dicapai oleh orang-orang yang benar-benar te;ah mempersembahkan pengorbanan yang sebesar-besarnya dan kasih sayang sedalam-dalamnya terhadap semua umat manusia.
Menurut riwayat, Sidharta dilahirkan pada kira-kira tahun 563 SM. Di daerah Kapilawastu, di kaki pegunungan Himalaya. Ayahnya seorang raja yang kaya raya, bernama Sudhodana dan ibunya bernama Maya. Riwayat tentang kelahiran Buddha diliputi oleh cerita-cerita yang unik.
Menurut sumber dari Mahayana, seorang Boddhisattwa dalam bentuk seekor gajah putih dari sorga Tusita memasuki rahim Maya sehingga ia hamil. Setelah ia melahirkan, anak tiu diberi nama Shidarta Gautama Sakyamuni, artinya pendeta dari suku Sakya.
Menjelang kelahirannya banyak terjadi peristiwa yang luar biasa, seperti keadaan dunia tiba-tiba tampak begitu indahnya, diliputi oleh tebaran bunga teratai, pohon-pohon pada berbunga, orang bisu bias bicara, orang tuli bias mendengar, orang buta bias melihat, orang lumpuh bias berjalan, alat-alat music pada berbunyi sendiri-sendiri dan lain-lain keajaiban lagi. Itu semua merupakan pertanda akan datangnya anak yang kelak menjadi pemimpin yang besar.
Di wkatu masih kecil, Sidharta telah menunjukkan kecerdasan pikirannya yang jauh melebihi kawan-kawannya. Bahkan ia sudah bias menulis sebelum diajar oleh gurunya. Lagi pula ia memiliki sifat-sifat terpuji. Oleh ayahnya yang berkedudukan sebagai raja, ia hendak dimanjakan. Segala keinginannya akan dikabulkan asalkan ia mau menetap di istana dan kelak bersedia menggantikan ayanya sebagai raja. Namun ia menolak hidup yang diliputi serba kemewahan bahka ia tertarik untuk hidup sederhana sebagai petapa. Kemudian ia bertekad untuk meninggalkan istana. Riwayat hidup Shidarta termuat dalam buku: Lalitavistara dan Jatakamala Aryasura serta digambarkan dengan visual pada dinding candi Borobudur.
Setelah ia menginjak usia 29 tahun, terbutlah keinsafan batinnya, bahwa hidup kduniaan dalam suasana kemewahan di istana tidakhlah member ketentraman batinnya. Timbulnya keinsafan demikian itu Karen di waktu ia bercengkerama telah melihat beberapa peritiwa yang sangat mengesankan. Ia melihat seorang tua yang sangat lemah tubuhnya, sehingga hidupnya penuh dengan penderitaan. Ia berpikir bahwa bagaimanapun juga orang hidup itu akan akhirnya pasti akan mengalami tua yang penuh dengan penderitaan itu. Ia melihat orang sakit yang merasakan penderitaan karena penyakitnya itu. Ia juga elihat orang mati, yang meskipun tubuhnya masih tampak utuh, tetapi sudah tidak mempunyai daya apapun. Ia harus berpisah dengan harta, tahta dan segala sesuatu yang dicintainya. Terakhir ia melihat seorang pendeta pertapa yang meskipun hidup miskin tapi tampak cerah wajahnya melambangkan kedamaian yang terdapat dalam batinnya. Maka Shidarta sangat tertarik untuk menempuh jalan hidup penuh orang pertapa ini.
Dari beberapa peristiwa yang dijumpainya itu, ia dapat mengambil kesimpulan bahwa hidup di dunia ini penuh penderitaan. Akhirnya ia memituskan untuk meniggalkan sitana ayahnya, guna mencari jalan yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan. Ia mengembara masuk ke luar hutan, berpuasa dan bertapa guna mendapatkan pengetahuan yang sejati. Akhirnya setelah ia bersemedi di bawa pohon Boddhi di Boddh Gaya tersingkaplah baginya: “pengetahuan tentang kebenaran yang sejati.” Maka sejak itu ia memakai gelar Buddha, artinya yang telah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran yang sejati. Dengan derajat yang dicapainya itu ia dapat melihat alam kedewaan yang orang biasa tidak dapat melihatnya, dan dapat melihat kembali rentetan perjalanan hidupnya yang dulu-dulu semenjak ia masih berwujud Sumedha  dengan berbagai bentuk reinkarnasinya.

C.  Sistem Ketuhanan Agama Budha
Pada umumnya bila orang membicarakan suatu agama. Dibicarakan tentang keyakinan kepada tuhan yang maha kuasa itu dijadikan pandangan pertama. Akan tetapi kepuasan kepercayaan kepuasan dalam agama budha jarang sekali dikemukakan.
Jika diperhatikan khotbah-khotbah Budha Guatama dan soal jawabannya dengan kelima temannya di benares, ia tidak percaya kepada tuhan-tuhan yang banyak, dewa dan berhala-berhala dipuja dalam agama hindu bahkan penyembahan demikian dicela dalam agama budha
Kepercayaan kepada Tuhan dalam agama Budha jarang sekali dikemukakan. Akan tetapi Ketuhanan Brahma tetap diakui oleh Budha, ia tetap mengakui Brahma sebagai Tuhan yang menciptakan dan memberi kasih sayang kepada makhluknya dan tidak mempercayai akan adanya Tuhan yang banyak seperti dewa dan berhala-berhala yang dipuja agama Hindu. Oleh karena itu agama Budha digolongkan agama yang menuhankan Tuhan yang satu (monotheisme).[3] Dalam salah satu ucapannya Budha Guatama pernah mengatakan:
Biarlah tuhan menjadiakan segala sesuatu, dan manusia hendaklah memelihara kesucian ciptaan Tuhan”. kesucian yang sempurna itulah dia tuhan. Kesucian yang demikian harus terdapat pada tiap-tiap manusia

D.  Kitab Suci Agama Budha
Kitab suci agama Budha bernama Tripittaka, artinya tiga keranjang. Kitab itu berisi pidato-pidato dan ajaran Budha Gautama, yang dikumpulkan oleh para muridnya setelah Budha meninggal dunia.
Dinamakan kitab Tripittaka, karena memang kitab itu merupakan tiga himpunan pidato Budha, yakni:
1.      Winayapittaka
berisi berbagai hukum dan peraturan dalam kehidupan para penganut Budha.
2.      Sutrantapittaka
Berisi pidato-pidato dan wejangan Budha
3.      Abdhidharmapittaka
Berisi penjelasan dan uraian tentang keagamaan.[4]

E.  Sekte Dalam Agama Budha
Theravada (Pali: theravada; Sansekerta: sthaviravada); secara harafiah berarti, "Ajaran Sesepuh" atau "Pengajaran Dahulu", merupakan mazhab tertua Agama Buddha yang masih bertahan. Ditemukan di India. Theravada merupakan ajaran yang konservatif, dan secara menyeluruh merupakan ajaran terdekat dengan Agama Buddha pada awalnya, dan selama berabad-abad menjadi kepercayaan yang berkuasa di Sri Lanka (sekitar 70% dari penduduk dan sebagian besar benua di Asia Tenggara (Kambodia), (Laos), (Myanmar), (Thailand). Mazhab Theravada juga dijalankan oleh sebagian minoritas dari Barat Daya Cina oleh etnik Shan dan Tai), Vietnam (oleh Khmer Krom), Bangladesh (oleh etnik group dari Barua, Chakma, dan Magh), Malaysia dan Indonesia, dan yang belakangan ini mendapatkan lebih banyak popularitas di Singapura dan Negara Barat. Sekarang ini, mazhab Theravada dari Agama Buddha mencapai lebih dari 100 juta pengikut di seluruh dunia, dan dalam dekade terakhir ini mazhab Theravada telah menanamkan akarnya di Negara Barat dan di India.
1)   Prinsip Dasar Theravada
a)   Empat Kebenaran Mulia
Dukkha; Duka atau Penderitaan
Dukkha Samudaya; Sebab Penderitaan
Dukkha Nirodha; Berakhirnya Penderitaan
Dukkha Nirodha Gamini Patipada; Cara Menghentikan Penderitaan
2)   Tiga Corak Umum/Tilakkhana
a.    Ketidak-kekalan adalah satu dari Tiga Corak Kehidupan. Istilah ini menggambarkan pendapat Agama Buddha bahwa segala hal atau gejala yang berkondisi (materi atau pengalaman) adalah tidak tetap, senantiasa berubah dan tidak kekal. Segala sesuatu yang kita alami melalui indera kita terbentuk dari bagian-bagian, yang keberadaannya terbentuk dari kondisi-kondisi luar. Segala sesuatu berubah senantiasa, demikian juga dengan kondisi dan hal itu sendiri berubah tanpa henti. Segala hal berubah menjadi sesuatu, dan berhenti. Tidak ada yang abadi.
b.    Derita, walaupun dukkha seringkali diterjemahkan sebagai "penderitaan", arti filosofisnya lebih menyerupai "kegelisahan", selayaknya berada dalam keadaan terganggu. Dengan demikian, "penderitaan" merupakan artian yang terlalu sempit untuk "konotasi emosional yang negatif" (Jeffrey Po), yang dapat memberikan kesan akan pandangan Buddhis yang kurang yakin, tetapi Agama Buddha bukanlah mengenai keyakinan atau ketidak-yakinan, tetapi kenyataan. Dengan demikian, banyak dari naskah atau tulisan-tulisan Agama Buddha, kata Dukkha dibiarkan demikian adanya, tanpa pemberian arti, guna memberikan arti yang lebih luas.
c.    Tanpa Inti; dalam filosofi India, pengertian akan diri disebut ātman (yang lebih mengarah kepada, "Jiwa" atau diri-metafisik), yang merujuk pada keadaan yang tidak berubah, bersifat tetap lewat pemahaman akan keberadaan. Agama Buddha tidak menerima pemahaman akan ātman, pada penekanan ketidak kekalan, tetapi kemampuan untuk berubah. Oleh karena itu, seluruh pemahaman akan diri secara keseluruhan adalah tidak benar dan terbentuk di alam ketidak-tahuan.
3)   Jalan Utama Berunsur Delapan
Jalan Utama Berunsur Delapan seringkali dibagi menjadi tiga bagian:
Kebijaksanaan (Pali:Panna ; Sansekerta:prajna)
a)    Pengertian Benar (samma-ditthi)
b)   Pikiran Benar (samma-sankappa)
Kemoralan (Pali: Sila)
a)    Ucapan Benar (samma-vaca)
b)   Perbuatan Benar (samma-kammanta)
c)    Pencaharian Benar (samma-ajiva)
Konsentrasi (Pali: Samadhi)
a)    Daya-upaya Benar (samma-vayama)
b)   Perhatian Benar (samma-sati)
c)    Konsentrasi Benar (samma-samadhi)
4)   Empat Tingkat Pencerahan
Melalui pelatihan dan pembelajaran, pengikut mazhab Theravada dapat mencapai salah satu dari empat tingkat pencerahan:
a)      Pemasuk Arus - Mereka yang telah mematahkan ketiga belenggu (Pandangan salah tentang Aku, Keraguan, kemelekatan terhadap peraturan dan ritual) tidak akan terlahirkan kembali ke dalam keadaan atau kelahiran (sebagai binatan, preta, atau di neraka). Ia hanya dapat dilharikan sebagai manusia atau di surga. Mereka paling tidak akan dilahirkan sebanyak tujuh kali sebelum mencapai pencerahan.
b)     Kembali Sekali - Mereka yang telah melenyapkan ketiga belenggu utama dan melemahkan belenggu akan nafsu indria dan dendam atau dengki, akan kembali ke alam manusia satu kali lagi sebelum mencapai Nirwana dalam kehidupan tersebut.
c)      Tidak Kembali - Mereka yang telah melenyapkan kelima belenggu, yang mengikat mahluk hidup pada alam perasaan. Seorang "Tidak-Kembali" (Anagami) tidak akan kembali kedalam alam manusia setelah meninggal dunia, mereka akan terlahirkan kembali di alam yang lebih tinggi guna mencapai Nirwana.
d)     Arahat - Mereka yang telah mencapai Pencerahan, mengalami Nirwana, dan telah mencapai keadaaan akan tanpa kematian, terbebas dari segala bentuk kekotoran batin yang tersisa. Kebodohan, kegemaran dan keterikatan mereka tidak ada lagi. Mencapai tinkat Arahat digambarkan pada naskah terdahulu sebagai tujuan kehidupan biara.
Mahayana (berasal dari bahasa Sansekerta: mahayana yang secara harafiah berarti 'Kendaraan Besar) adalah satu dari dua aliran utama Agama Buddha dan merupakan istilah pembagian filosofi dan ajaran Sang Buddha. Mahayana, yang dilahirkan di India, digunakan atas tiga pengertian utama:
Sebagai tradisi yang masih berada, Mahayana merupakan kumpulan terbesar dari dua tradisi Agama Buddha yang ada hari ini, yang lainnya adalah Theravada. Pembagian ini seringkali diperdebatkan oleh berbagai kelompok.
Menurut cara pembagian klasifikasi filosofi Agama Buddha berdasarkan aliran Mahayana, Mahayana merujuk kepada tingkat motifasi spiritual (yang dikenal juga dengan sebutan Bodhisattvayana Berdasarkan pembagian ini, pendekatan pilihan yang lain disebut Hinayana, atau Shravakayana. Hal ini juga dikenal dalam Ajaran Theravada, tetapi tidak dianggap sebagai pendekatan yang sesuai. Menurut susunan Ajaran Vajrayana mengenai pembagian jalur pengajaran, Mahayana merujuk kepada satu dari tiga jalan menuju pencerahan, dua lainnya adalah Hinayana dan Vajrayana. Pembagian pengajaran dalam Agama Buddha Vajrayana, dan tidak dikenal dalam ajaran Agama Buddha Mahayana dan Theravada.
Walaupun asal-usul keberadaan Mahayana mengacu pada Buddha Gautama, para sejarawan berkesimpulan bahwa Mahayana berasal dari India pada abad ke 1, atau abad ke 1 SM. Menurut sejarawan, Mahayana menjadi gerakan utama dalam Agama Buddha di India pada abad ke 5, mulai masa tersebut naskah-naskah Mahayana mulai muncul pada catatan prasasti di India. Sebelum abad ke 11 (ketika Mahayana masih berada di India), Sutra-sutra Mahayana masih berada dalam proses perbaikan. Oleh karena itu, beragam sutra dari sutra yang sama mungkin muncul. Terjemahan-terjemahan ini tidak dianggap oleh para sejarawan dalam membentuk sejarah Mahayana.
Dalam perjalanan sejarahnya, Mahayana menyebar keseluruh Asia Timur. Negara-negara yang menganut ajaran Mahayana sekarang ini adalah Cina, Jepang, Korea dan Vietnam dan penganut Agama Buddha Tibet (etnis Himalaya yang diakibatkan oleh invasi Cina ke Tibet). Aliran Agama Buddha Mahayana sekarang ini adalah "Pure Land", Zen, Nichiren, Singon, Tibetan dan Tendai. Ketiga terakhir memiliki aliran pengajaran baik Mahayana maupun Vajrayana.
Tidak ada perbedaan mendasar di antara ajaran Mahayana dan Theravada. Hal ini bisa dicermati dari ajaran yang sama persis mengenai:
1)   Diakuinya Buddha Sakyamuni sebagai Guru
2)   Empat Kesunyataan Mulia
3)   Delapan Jalan Tengah
4)   Paticca-Samuppada atau Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan
5)   Keduanya tidak mengakui adanya mahluk yang menciptakan atau mengatur dunia ini
6)   Keduanya menerima Anicca, Dukkha, Anatta dan Sila, Samadhi, Panna
Ajaran di atas adalah ajaran paling mendasar dalam Buddhisme.
Vajrayana adalah suatu ajaran Buddha yang di Indonesia lebih sering dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana. Namun banyak juga istilah lain yang digunakan, seperti misalnya: mantrayana, ajaran mantra rahasia, ajaran Buddha eksoterik. Vajrayana adalah merupakan ajaran yang berkembang dari ajaran Buddha Mahayana, dan berbeda dalam hal praktek, bukan dalam hal filosofi. Dalam ajaran Vajrayana, latihan meditasi sering di barengi dengan visualisasi.
F.   Doktrin-Doktrin Yang Dikembangkan Agama Budha
Sang budha mengajar dengan gaya percakapan, bukannya dengan cara yang menggurui. Beliau mendorong munculnya pertanyaan dan merespon sesuai dengan pengertian pendengarnya melalui penggunaan bahasa sehari-hari dan bukannya dengan bahasa sanskerta kuno seperti yang digunakan oleh para pendeta Brahmin dalam upacara mereka.
Sang budha sering berlaku bak seorang dokter spiritual yang pertama-pertama yang membuat diagnosis tentang penyakitnya, memahmai bahwa penyakit itu bisa disembuhkan dan mengetahui caranya, lalu mmberikan pengobatan yang tepat untuk membuat si pasien sembuh. Gaya mengajarnya tak perlu diragukan lagi yaitu tidak begitu formal dibandingkan yang tampak dalam pelukisan di berbagai buku.
1.    Karma, Hawa Nafsu, dan Kelahiran Kembali
Menurut sang budha kita memilki sejumlah ciri yang menentukan kita , apakah manusia atau hewan. Hal ini disebut KHANDHA. Istilah dari bahasa sansekerta yang berarti “kelompok” dikenal sebagai AGREGAT. Meskipun agak sulit diterima , kebenaran penting yang ditekankan oleh sang budha adalah tak adanya diri pada ciri yang mana pun atau keseluruhannya.Sang budha mengerti betapa pengindraan yang mengenali terjadinya sesuatu setelah kejadian lain. Mungkin menciptakan kesan mengenai suatu diri yang ”memiliki” indra, maka beliau mengajarkan tentang tidak adanya prinsip yang mengatur di balik pengindraan dan indra tubuh.
Karena kelahiran mengumpulkan khandha dalam suatu susunan tertentu, maka kematian memisahkannya. Kesinambungan hanya terjadi karena perbuatan dan tujuan masa lalu akan memainkannya seperti dalang memainkan wayang, kalu tidak dalam kehidupan ini maka kehidupan lainnya. Meski hukum karma tidak dapat di lacak dengan indra, kita diberi tahu bahwa sang budha mendapatkan kebenaran ini ketika melakukan meditasi mendalam pada saat mencapai penerangan sempurna.
Sang budha menolak paham PEMUSNAHAN dan KEABADIAN. Tak ada kemungkinan bahwa suatu identitas berlanjut kalau bentuk fisik, perasaan, persepsi, dan formasi mentalnya sendiri bersifat tidak kekal. Apa yang menjadi wahana pada diri untuk memasuki kehidupan yang lain, apabila semua ini telah musnah?Aspek apa dalam pribadi yang tidak terlalu berubah sehingga bisa menjadi tempat bagi suatu diri.
Sang budha mencoba untuk membuat konsep kelahiran kembali tanpa identitas itu menjadi lebih mudah dimengerti dengan menggunakan rujukan sehari-hari. Misalnya setetes air yang diambil dari sungai besar mungkin tampak memiliki keberadaan atau”hidup” tersendiri. Kalau tetes air dikembalikan ke sungai dan tetes lain dipisahkan, maka meskipun tetes kedua mengandung susunanunsur kimia yang sama denagn tetes pertama. Tak ada kesinambungan identitas diantara kedua tetes air tersebut. Demikian juga dengan tetes-tetes lainnya. Kelahiran kembali atau reinkarnasi sama juga dalam hal merupakan suatu penyusunan kembali berbagai unsur tanpa suatu idenitas abadi.
Roda kejadian ajaran sang budha
Kodrat tertentu yang akan memenuhi kelompok ciri-ciri yang sesudahnya itu tergantung pada kodrat karma yang masih belum terbayar ketika kelompok ciri yang sebelumnya itu menjadi berantakan atau mati. Dengan kata lain energinya masih dimainkan. Tak ada diri yang menjadi musnah atau abadi.Hanya kebebasan idaman dan karmalah yang bisa membendung terjadinya aliran dan kelahiran kembali ini, dan hanya nirvana yang hidup etis dan kebebasannya dari ketidaktahuan bisa memberikan kebebasan itu.
Tiga Corak Umum
Pengajaran pertama yang diberikan sang budha adalah kepada para pertapa yang telah berada bersamanya selama bertahun-tahun pertapaanya.tiga corak yang menentukan semua keberadaan (eksistensi):
a)    Semua yang diciptakan dan tercipta selalu berubah dann tidak kekal (Anicca).
b)   Semua yang diciptakan dan tercipta selamanya tidak memuaskan dan menderita (Dukkha).
c)    Semua yang diciptakan dan tercipta tidak ada diri atau jiwa abadi (Anatta).
2.    Kesadaran Dan Identitas Yang Salah
Kesadaran adalah produk dari karma yang lalu, mungkin diakumulasikan selama banyak kelahiran, dicerminkan dalam interaksi yang unik dalam waktu sekarang. Dan hal ini terjadi dengan begitu tidak kentaranya sehingga kita mungkin membuat asumsi yang salah mengenai adanya identitas stabil yang mengalami perubahan.begitu sebaliknya.
Sang budha bisa menerima bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita mengandaikan suatu kepribadian bagi diri sendiri dan bagi apa yang kita anggap sebagai yang alin.hal ini diakui sebagai fungsi dalam kehidupan sehari-hari, meskipun secara mutrlak seluruh kehidupan hanyalah kelompok fisik dan agrerat mental yang selalu berubah.
3.    Karma
Secara sederhana karma berarti perbuatan, tetapi bisa juga berarti kerja, tradisi atau hukum spiritual mengenai sebab akibat, tergantung pada konteks penggunaan kata tersebut. Menurut apa yang dilukiskan oleh sang budha, karma adalah hukum tanpa pengadilan dan konsekuensi yang tak memihak atau secara sederhana adalah hukum tentang akibat yang mengikuti sebab.Segala perbuatan yang memiliki.
4.    Reinkarnasi
Dalam Dharmapada(s), sang Budha mengibaratkan hidup dengan sebuah rumah yang dibangun dan dibangun kembali berkali-kali. Kiasan ini digunakannya untuk menjelaskan reinkarnasi (kelahiran kembali). Beliau mempunyai reputasi yang baik dengan ceritanya kepada para pendengaranya mengenai betapa lamanya beliau melakukan pencarian tentang siapakah yang membangun rumah kehidupan itu, melalui perputaran banyak kehidupan dan kematian, dan sekarang akhirnya beliau telah menyaksikan si pembangun rumah. Rumah ini sama sekali tak akan dibangun kembali karena kasau (kayu penompang rumah) yang berupa tindakan buruk dimasa laulya telah patah, hubungan berwujud ketidaktahuan pun telah dihancurkan, dan penyakitnya yang berupa idaman telah lenyap.
Umat Budha yang awal berpendapat bahwa pada suatu masa hanya bisa ada satu Budha. Pendapat ini didasarkan pada ajaran bahwa seseorang calon budha hanya dilahirkan kembali untuk hidup bila dunia telah melupakan Dharma yang diajarkan oleh Budha sebelumya. Oleh karena itu begitu seseorang budha muncul, orang yang mendap[atkan wawasan mengenai Dharma dan prilaku serta pengertiaanya sempurna disebut Arahat (P).
Orang-orang yangtelah mencapai tahap penerangan sempurna yang tertinggi dan akan mendapatkan kebebasan yang hanya sebagian dan bersyarat. Ia akan menjalani kelahiran kembali yang lebih baik sesuai dengan kaarmanya yang masih tersisa. Para Arahat hanya mencapai ketidakterikatan di dalam hidup ini. Penganut budha  yang berikutnya tidak membatasi pengalaman nirvana sepenuhnya hanya bagi budha pada masanya. Selama berada dalam kehidupan ini, indra-indra masih berfungsi, juga pada orang yang telah menjadi Arahat. Selalu saja masih ada penolakan terhadap hal yang tak menyenangkan. Kelahiran kembali disebabkan oleh karma, idaman, dan keenganan yang masih hadir didalam kesadaran ketika matinya (agregat yang kita kenal sebagi) tubuh fisik. Bila dengan terjadinya kematian fisik ternyata indra kepemilikan dan idaman telah ikut berhenti, maka tak ada hal yang terpendam untuk mengalami kelahiran yang lain.
5.    Nirvana
Penerangan sempurna, atau nirvana, dilukiskan sebagai keadaan ketika mencapai pengertian mengenai tak adanya diri atau roh, dan tak ada sesuatu pun seperti dewa yang menjadi tempat menyatu setelah kematian tubuh fisik. Tak ada nafsu atau keterikatan yang tersisa, karena sungguh tak masuk akan untuk membawanya kehadapan kebenaran ini. Pendeta maupun dewa-dewa tidak bisa menghadiahkan nirvana dan pemberian sesajen bukanlah bagia dari prosesnya. Sungguh jarang ada manusia yang bisa mencapai taraf pengambilan jaran dan wawasan seperti ini. Begitu kebenaran ditaati dan dipatuhi, maka menurut dang budha akhir dari kehidupan orang yang bersangkutan sama halnya seperti nyala api yang telah ditiup. Nyala api itu tidak pergi kemana-mana. Nirvana total dan lengkap seperti ini jarang sekali senhingga,pada saat Siddharta Gautama hidup, muncul pendapat bahwa hal itu terjadi pada saat wafatnya seorang budha. Nirvana menghasilkan suatu pengelakan yang selengkapnya dari kelahiran kembali, sebab tak ada keterkaitan atau karma yang tersisa.
Dengan kebijaksanaan sang Budha menghindari pertanyaan menyangkut nirvana, karena beliau menyadari bahwa jawaban yang mungkin diberikan justru akan diangap sebagai sesuatu sesuatu yang definitif. Definisi menciptakan mental, harapan mental menciptakan keterikatan dan selanjutnya keterikantan harus disingkirkan juga oleh yang bersangkutan. Bahkan ajaran yang diberikan harus ditafsirkan menurut situasinya dengan pengertian etis dan bukannya sebagai aturan yang tidak luwes. Nirvana tidak mungkin dilukiskan secara khusus karena konsepnya tak dapat tercangkup atau terekspresikan dengan bahasa. Definisi yang verbal pun akan menimbulkan batasan-batasan yang samarsamar dan










BAB I
Praktek Keagamaan Dalam Agama Budha
A.  Ritual Keagamaan Dalam Agama Budha (Sama Di Kebaktian)
Dalam agama Budha bisa didapati juga upacara-upacara ibadat: pemujaan, pertapaan dan sebagainya. Akan tetapi ajaran budha yang asli tidak ada kejelasan bagaimana cara sembahyang yang sebenarnya. Oleh karena ajarannya tegas tentang hal tuhan tidak ada, maka sepeninggal budha, patung budha sendiri telah menjadi sembahan yang utama, bahkan sisa pennggalanyan seperti abu mayatnya, potongan kuku, rambutnya Gautama yang tersimpan dalam stupapun telah dipuja. Semuanya itu adalah karena dorongan kecintaan parapengikutnya kepada budha sendiri.
            Walaupun pada mulanya agama budha datang merombak agama hindu, akan tetapi dalam soal pemujaan tidak ada bedanya. Budha mencela penyembahan kepada patung dan berhala, tetapi penganut budha sendiri sepeninggalnya telah menempatkan patung-patungnya di dalam candi, kuil dan stupa untuk disembah. Menyan dan dupa stanggi yang berkepul dari parupuyan didalam kuil dan candi hindu, demikian pun masih di budha.
            Kesalehan hidup yang diajarkan dalam agama budha lebih ditujukan kepada akhlak dan pembentukan diri pribadi, dengan melaksanakan dharma, tetapi tidak dijelaskan kebaktian dan ibadat kepada tuhan disamping melaksanakan akhlak yang baik itu. Karena kaburnya ajaran agama budha mengenai ketuhanan, disinilah segi kelemahannya, sehingga faham-faham agama berhala menyelundup kedalamnya.

B.  Upacara Keagamaan
1). Suatu cetusan hati nurani manusia terhadap suatu keadaan
2). Sebagai salah satu bentuk kebudayaan dapat kita selenggarakan sesuai dengan tradisi dan perkembangan jaman asalkan selalu di dasarkan pada pandangan benar.
3). Buddha Dhamma sebagai ajaran universal, tidak mengalami perubahan
     (pengurangan maupun tambahan).
Dua Cara pemujaan :
Dalam agama Buddha juga terdapat ajaran tentang “pemujaan”. Namun, pemujaan dalam agama Buddha di tujukan pada obyek yg benar (patut) dan  didasarkan pada pandangan benar. Menurut naskah Pali – Dukanipata, Anguttara Nikaya, Sutta Pitaka, ada dua cara pemujaan yaitu :
a)      Amisa Puja
Makna Amisa Puja : secara halafiah berarti pemujaan dengan persembahan.
Kitab Mangalattha – Dipani menguraikan 4 hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan Amisa Puja  ini :
a.   Sakkara : memberikan persembahan materi
b.   Garukara : Menaruh kasih serta bakti terhadap nilai nilai luhur
c.   Manana : Memperlihatkan rasa percaya / yakin
d.   Vandana : menguncarkan ungkapan / kata persanjungan
Selain itu, ada 3 hal lagi yg harus diperhatikan agar amisa puja dapat dilakukan sebaik-baiknya. Ketiga hal tersebut yaitu :
a.   Vatthu Sampada : Kesempurnaan materi
b.   Cetana Sampada : Kesempurnaan dlm kehendak
c.   Dakkhineyya Sampada : Kesempurnaan dlm objek pemujaan
b)     Patipatti Puja
Makna Patipatti puja : secara halafiah berarti pemujaan dengan pelaksanan, sering juga di sebut sebagai Dhamma puja. Menurut kitab paramatthajotika, yg dimaksud “pelaksanaan” dlm hal ini adalah :
a.    Berlindung pada Tisarana ( tiga perlindungan ), yakni Buddha, Dhamma,  dan Arya Sangha
b.    Serta bertekad untuk melaksanakan Pancasila Buddhist (  lima kemoralan ) yakni pantangan untuk membunuh, mencuri, berbuat asusila, berkata yg tidak benar, mengkonsumsi makanan/minuman yg melemahkan kesadaran (kewaspadaan)
c.    Bertekad melaksanakan Attahanga sila ( delapan sila ) pada hari-hari uposattha
Berusaha menjalankan Parisuddhi Sila ( Kemurniaan Sila ), yaitu :
1.   Pengendalian diri dalam tata tertib ( pattimokha-samvara )
2.   Pengendalian enam indera ( indriya-samvara )
3.   Mencari nafkah hidup secara benar ( ajiva-parisuddhi )
4.   Pemenuhan kebutuhan hidup yg layak ( paccaya-sanissita )

C.  Tempat-Tempat Suci
Diantara lambang agama budha yang amat utama ialah stupa, yaitu suatu bangunan bundar, seperti gobah dan berpuncak lurus keatas. Kedudukan stupa dalam agama budha sama seperti masjid dalam islam. Bangunan stupa timbulnya mempunyai suatu kisah yang penting dalam sejarah agama budha.
            Pada suatu hari ada dua murid penganut budha yang pertama diberi tanda mata oleh budha yang terdiri dari potongan kuku dan rambut budha, yang lalu disuruh menyimpanya dalam stupa, lalu murit tersebut bertanya. Apakan stupa itu dan bagaimana bentuknya budha. Lalu budha mencontohkan dengan membuka pakaiannya. Lalu dilipatkannya pakaian itu dengan bentuk segi empat dan diletakkan dia atas tanah serta diatasnya diletakanmangkoknya dengan tertangkup, diatas mankok itu ditegakkan tongkatnya. Demikianlah bentuk bangunan stupa yang harus dibuat mereka. Dasar rata laksana tikar dan bundara laksana payung sebagai lambang penghormatan dan kebesaran.
            Dalam perkembangan agama budha kemudian stupa itu ada lima macam :
1.       Untuk penyimpanan tulang-belulangatau abu jenazah budha, atau para arhat dan biksu terkemuka. Stupa yang demikian dinamai : Dhatugarba (dagoba).
2.       Untuk menyimpan benda-benda suci yang berasal dari diri budha atau dari arhat dan biksu yang terkemuka seperti : potongan rambut, kuku, gigi, tongkat dan bajunya.
3.       Untuk peringatan tempat-tempat terjadinya eristiwa penting dan bersejarah dalam hidup budha.
4.       Sebagai lambang suci agama budha
5.       Tempat pemujaan.
Dalam keterangan mengenai ibadah  telah disebutkan bahwa budha sendiri akhirnya telah menjadi sembahan dan pujaan dari penganut budha. Abu mayat, tulang belulang, potongan rambut, gigi, bekas pakaian, tongkat dan mangkoknya yang dipakai dalam pengembaraannya dan meminta minta semuanya itu disimpan dala stupa-stupa itu, bekas pusaka dan bekas perkakas budha juga menjadi sesembahan dan pemujaan. Kemudia patung-patung budha pun telah ditempatkan didalam stupa dan itu pun telah menjadi sesembahan yang utama. Stupa yang demikian pundisebut Gaitya.
            Perlu juga diketahui, bahwa dalam menjalankan dharma dalam menuju nirwana, penganut budha selain melatih diri menekan tresna (nafsu) ditambah lagi dengan pemujaan kepada budha itu. Tetapi budha yang dimaksud di dini tidak hanya budha gautama, tetapi menurut kepercayaan mereka selai budha yang telah lalu itu masih akan ada budha yang lain yang akan lahir kemuka dunia ini membawa ajaran budha. Juga dalam kenyataan para arhat dan biksu tertinggipun telah menjadi pujaan dan sembahan pula, begitu juga barang peningalan mereka yang terdapat dalam stupa-stupa itu.

D.  Bandingan Dengan Islam
Tabel Perbandingan Agama Budha dengan Islam

BUDHA
ISLAM
Tuhan
Brahma
Allah
Kita Suci
Tripitaka
Al-Qur’an
Pembawa Ajaran
Nabi Muhammad SAW

Pemimpin Umat
Pendeta/Bikhsu
Syekh/Kyai
Waktu Ibadah Ibadah
Minggu serta setiap tanggal 1, 8, 15, dan 23 penanggalan Chandra Sengkala
Sholat 5 kali dalam sehari, seminggu nostop
Tempat Ibadah
Vihara atau Stupa
Masjid
Moral
Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai Moral
Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai Moral
Hukuman
Karma
Ahzab Illahi
Aliran/Madzhab
Imam Syafi’i, Hanafi, Hambali, Maliki,
Doktrin
Surga Barat,
Nirwana, Reinkarnasi
Surga, Neraka
Keimanan

Jalan Utama Berunsur Delapan Sradha atau Iman
Rukun Iman ada 6



Hari Raya

Hari Raya Trisuci Waisak, Kathina, Asadha, Magha Puja

Iddul Fitri & Iddul Ad’ha
Tanggal Merah
Hari Agama Nasional



















BAB VI
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Agama Buddha lahir di negara India, lebih tepatnya lagi di wilayah Nepal sekarang, sebagai reaksi terhadap agama Brahmanisme. Sejarah agama Buddha mulai dari abad ke-6 SM sampai sekarang dari lahirnya Siddharta Gautama. Dengan ini, ini adalah salah satu agama tertua yang masih dianut di dunia. Agama Buddha berkembang dengan unsur kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya, agama ini praktis telah menyentuh hampir seluruh benua Asia dan telah menjadi agama mayoritas di beberapa negara Asia seperti Thailand, Singapura, Kamboja, Myanmar, Taiwan, dsb. Pencetusnya ialah Siddhartha Gautama yang dikenal sebagai Gautama Buddha oleh pengikut-pengikutnya. Ajaran Buddha sampai ke negara Tiongkok pada tahun 399 Masehi, dibawa oleh seorang bhiksu bernama Fa Hsien. Masyarakat Tiongkok mendapat pengaruhnya dari Tibet disesuaikan dengan tuntutan dan nilai lokal.
Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang hyang Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Piaka (kotbah-kotbah Sang Buddha), Vinaya Piaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma Piaka









[1] Manaf, Mudjahid Abdul. 1994. Sejarah Agama-Agama. Jakarta: RajaGrafindo Persada, hal 21
[2] Ìbid  23
[3] Agus Hakim, Perbandingan Agama (Bandung: Diponegoro. 2004), hal. 170
[4] Ibid., 171-172

1 komentar:

  1. hai muhammad. aku rasa kamu muslim. tapi knapa tertarik nulis tentang budhis? ada alasan lain selain karena toleransi nggak? mungkin bisa di share ke saya.
    anyway mungkin kamu bisa berkunjung di blog saya juga
    http://hepymuyassaroh.blogspot.co.id/

    BalasHapus

GALERI

Photobucket