BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Telah
kita ketahui bahwasanya di dunia ini terdapat bermacam-macam agama. Mulai dari
agama samawi sampai agama ardhi. Ada tiga agama besar di dunia yakni Islam,
Kristen dan Buddha. Agama Islam dibawah oleh Nabi Muhammad, sedangkan agama
Kristen dibawah oleh Yesus Kristus dan agama Buddha dibawah oleh Siddharta
Gauttama. Dalam makalah ini kami akan mencoba membahas secara singkat tentang
agama Budha, baik dalam segi asal usul agama Budha, sistem ketuhan, kitab-kitab
sucinya, sekte dalam agama budha, doktrin-doktrin yang dikembangkan, praktek
keagamaan dalam agama Budha, ritual keagamaan dalam agama Budha, upacara
keagamaan, tempat-tempat suci, bandingan dengan islam.
B.
Tujuan
Pembahasan
Dengan dibuatnya makalah ini, baik untuk
penulis maupun pembaca, kita bisa mengetahui asal usul agama Budha, sistem
ketuhan, kitab-kitab sucinya, sekte dalam agama Budha, doktrin-doktrin yang
dikembangkan, praktek keagamaan dalam agama Budha ritual keagamaan dalam agama
Budha, upacara keagamaan, tempat-tempat suci, bandingan dengan islam.
C.
Alasan
Pembahasan
Kita
sebagai orang islam hendaknya harus mengetahui asal usul agama Budha, sistem
ketuhan, kitab-kitab sucinya, sekte dalam agama Budha, doktrin-doktrin yang
dikembangkan, praktek keagamaan dalam agama Budha ritual keagamaan dalam agama
Budha, upacara keagamaan, tempat-tempat suci, bandingan dengan islam. Hal ini
demikian guna dapat menumbuhkan kecintaan kita terhadap islam, karena disini kita
belajar membandingkan Islam dengan agama Budha.
BAB
II
Tinjauan
Umum Agama Budha
A. Asal-Usul
Agama Buddha
Dalam
alur sejarah agama-agama di India zaman agama Buddha dimulai semenjak tahun 500
SM hingga tahun 300 M. secara historis agama tersebut mempunyai kaitan erat
dengan agama yang mendahuluinya dan yang datang sesudahnya, yaitu agama Hindu.[1]
Cerita
mengenai riwayat Buddha sendiri dilipti oleh mitoligi yang jaib, sehingga
menimbulkan penilaian yang berbeda-beda terhadap kebenaran cerita-cerita tersebut.
E. Senart (1875) berpendapat bahwa cerita tentang riwayat itu hanyalah mite
yang telah berkembang pada zaman sebelum Gautama lahir. Dan mite ini
menggambarkan pemujaan terhadap matahari. H. Oldemberg (1881) berpendapat bahwa
Buddha Gautama memang benar-benar pernah lahir. Tetapi cerita mengenai dirinya
disesuaikan dengan keadaan pada waktu itu. Oleh karena itu jika orang ingin
mengetahui kebenaran riwayat hidup Buddha, segala cerita luar biasa harus
dianggap tidak ada. Lalu cerita yang masuk akal disusun kembali, sehingga
keadaan sebenarnya dapat didekati. H. Kern menyatukan kedua pendapat tersebut
dengan menyatakan bahwa Buddha Gautama memang benar-benar pernah ada, tetapi
cerita kehidupan memang diliputi oleh suatu mite tentang matahari yang menerangi
bumi.[2]
B. Pendiri
Agama Buddha
Tersebutlah dalam cerita-cerita yang
berkembang di kalangan umat Buddha bahwa jauh sebelum zaman prasejarah pernah
hidup seorang makhluk yang bernama Sumedha.
Ia pernah mengalami berjuta-juta kali reinkanasi selama ia dalam tubuh
seorang manusia yang mempunyai derajat ke-buddha-an yang bernama Sidharta.
Sebelum itu ia telah merintis berjuta-juta kali dalam bentuk binatang, manusia,
dan dewa. Tidak semua makhluk bias menjelma dalam tubuh yang mempunyai derajat
ke-buddhan-an, sebab derajat ini hanya bias dicapai oleh orang-orang yang
benar-benar te;ah mempersembahkan pengorbanan yang sebesar-besarnya dan kasih
sayang sedalam-dalamnya terhadap semua umat manusia.
Menurut riwayat,
Sidharta dilahirkan pada kira-kira tahun 563 SM. Di daerah Kapilawastu, di kaki
pegunungan Himalaya. Ayahnya seorang raja yang kaya raya, bernama Sudhodana dan
ibunya bernama Maya. Riwayat tentang kelahiran Buddha diliputi oleh cerita-cerita
yang unik.
Menurut
sumber dari Mahayana, seorang Boddhisattwa dalam bentuk seekor gajah putih dari
sorga Tusita memasuki rahim Maya sehingga ia hamil. Setelah ia melahirkan, anak
tiu diberi nama Shidarta Gautama Sakyamuni, artinya pendeta dari suku Sakya.
Menjelang
kelahirannya banyak terjadi peristiwa yang luar biasa, seperti keadaan dunia
tiba-tiba tampak begitu indahnya, diliputi oleh tebaran bunga teratai,
pohon-pohon pada berbunga, orang bisu bias bicara, orang tuli bias mendengar,
orang buta bias melihat, orang lumpuh bias berjalan, alat-alat music pada
berbunyi sendiri-sendiri dan lain-lain keajaiban lagi. Itu semua merupakan
pertanda akan datangnya anak yang kelak menjadi pemimpin yang besar.
Di
wkatu masih kecil, Sidharta telah menunjukkan kecerdasan pikirannya yang jauh
melebihi kawan-kawannya. Bahkan ia sudah bias menulis sebelum diajar oleh
gurunya. Lagi pula ia memiliki sifat-sifat terpuji. Oleh ayahnya yang
berkedudukan sebagai raja, ia hendak dimanjakan. Segala keinginannya akan
dikabulkan asalkan ia mau menetap di istana dan kelak bersedia menggantikan
ayanya sebagai raja. Namun ia menolak hidup yang diliputi serba kemewahan bahka
ia tertarik untuk hidup sederhana sebagai petapa. Kemudian ia bertekad untuk
meninggalkan istana. Riwayat hidup Shidarta termuat dalam buku: Lalitavistara dan Jatakamala Aryasura serta digambarkan dengan visual pada dinding
candi Borobudur.
Setelah
ia menginjak usia 29 tahun, terbutlah keinsafan batinnya, bahwa hidup kduniaan
dalam suasana kemewahan di istana tidakhlah member ketentraman batinnya.
Timbulnya keinsafan demikian itu Karen di waktu ia bercengkerama telah melihat
beberapa peritiwa yang sangat mengesankan. Ia melihat seorang tua yang sangat
lemah tubuhnya, sehingga hidupnya penuh dengan penderitaan. Ia berpikir bahwa
bagaimanapun juga orang hidup itu akan akhirnya pasti akan mengalami tua yang
penuh dengan penderitaan itu. Ia melihat orang sakit yang merasakan penderitaan
karena penyakitnya itu. Ia juga elihat orang mati, yang meskipun tubuhnya masih
tampak utuh, tetapi sudah tidak mempunyai daya apapun. Ia harus berpisah dengan
harta, tahta dan segala sesuatu yang dicintainya. Terakhir ia melihat seorang
pendeta pertapa yang meskipun hidup miskin tapi tampak cerah wajahnya
melambangkan kedamaian yang terdapat dalam batinnya. Maka Shidarta sangat
tertarik untuk menempuh jalan hidup penuh orang pertapa ini.
Dari
beberapa peristiwa yang dijumpainya itu, ia dapat mengambil kesimpulan bahwa
hidup di dunia ini penuh penderitaan. Akhirnya ia memituskan untuk meniggalkan
sitana ayahnya, guna mencari jalan yang dapat membebaskan manusia dari
penderitaan. Ia mengembara masuk ke luar hutan, berpuasa dan bertapa guna
mendapatkan pengetahuan yang sejati. Akhirnya setelah ia bersemedi di bawa
pohon Boddhi di Boddh Gaya tersingkaplah baginya: “pengetahuan tentang
kebenaran yang sejati.” Maka sejak itu ia memakai gelar Buddha, artinya yang
telah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran yang sejati. Dengan derajat yang
dicapainya itu ia dapat melihat alam kedewaan yang orang biasa tidak dapat
melihatnya, dan dapat melihat kembali rentetan perjalanan hidupnya yang
dulu-dulu semenjak ia masih berwujud Sumedha dengan berbagai bentuk reinkarnasinya.
C.
Sistem
Ketuhanan Agama
Budha
Pada
umumnya bila orang membicarakan suatu agama. Dibicarakan tentang keyakinan
kepada tuhan yang maha kuasa itu dijadikan pandangan pertama. Akan tetapi
kepuasan kepercayaan kepuasan dalam agama budha jarang sekali dikemukakan.
Jika
diperhatikan khotbah-khotbah Budha Guatama dan soal jawabannya dengan kelima
temannya di benares, ia tidak percaya kepada tuhan-tuhan yang banyak, dewa dan
berhala-berhala dipuja dalam agama hindu bahkan penyembahan demikian dicela
dalam agama budha
Kepercayaan kepada Tuhan dalam agama Budha jarang
sekali dikemukakan. Akan tetapi
Ketuhanan Brahma tetap diakui oleh Budha, ia tetap mengakui Brahma sebagai
Tuhan yang menciptakan dan memberi kasih sayang kepada makhluknya dan tidak
mempercayai akan adanya Tuhan yang banyak seperti dewa dan berhala-berhala yang
dipuja agama Hindu. Oleh karena itu agama Budha digolongkan agama yang
menuhankan Tuhan yang satu (monotheisme).[3] Dalam
salah satu ucapannya Budha Guatama pernah mengatakan:
“Biarlah
tuhan menjadiakan segala sesuatu, dan manusia hendaklah memelihara kesucian
ciptaan Tuhan”. kesucian yang sempurna itulah dia tuhan. Kesucian yang demikian
harus terdapat pada tiap-tiap manusia”
D.
Kitab
Suci Agama Budha
Kitab
suci agama Budha bernama Tripittaka, artinya tiga keranjang. Kitab itu berisi
pidato-pidato dan ajaran Budha Gautama, yang dikumpulkan oleh para muridnya
setelah Budha meninggal dunia.
Dinamakan
kitab Tripittaka, karena memang kitab itu merupakan tiga himpunan pidato Budha,
yakni:
1.
Winayapittaka
berisi berbagai hukum dan peraturan dalam kehidupan para penganut
Budha.
2.
Sutrantapittaka
Berisi pidato-pidato dan wejangan Budha
3.
Abdhidharmapittaka
Berisi penjelasan dan uraian tentang keagamaan.[4]
E. Sekte Dalam Agama Budha
Theravada (Pali: theravada; Sansekerta: sthaviravada); secara
harafiah berarti, "Ajaran Sesepuh" atau "Pengajaran
Dahulu", merupakan mazhab tertua Agama Buddha yang masih bertahan.
Ditemukan di India. Theravada merupakan ajaran yang konservatif, dan secara
menyeluruh merupakan ajaran terdekat dengan Agama Buddha pada awalnya, dan
selama berabad-abad menjadi kepercayaan yang berkuasa di Sri Lanka (sekitar 70%
dari penduduk dan sebagian besar benua di Asia Tenggara (Kambodia), (Laos),
(Myanmar), (Thailand). Mazhab Theravada juga dijalankan oleh sebagian minoritas
dari Barat Daya Cina oleh etnik Shan dan Tai), Vietnam (oleh Khmer Krom),
Bangladesh (oleh etnik group dari Barua, Chakma, dan Magh), Malaysia dan
Indonesia, dan yang belakangan ini mendapatkan lebih banyak popularitas di
Singapura dan Negara Barat. Sekarang ini, mazhab Theravada dari Agama Buddha
mencapai lebih dari 100 juta pengikut di seluruh dunia, dan dalam dekade
terakhir ini mazhab Theravada telah menanamkan akarnya di Negara Barat dan di
India.
1) Prinsip Dasar Theravada
a) Empat Kebenaran Mulia
Dukkha; Duka atau Penderitaan
Dukkha Samudaya; Sebab Penderitaan
Dukkha Nirodha; Berakhirnya Penderitaan
Dukkha Nirodha Gamini Patipada; Cara
Menghentikan Penderitaan
2) Tiga Corak Umum/Tilakkhana
a. Ketidak-kekalan adalah satu dari Tiga Corak
Kehidupan. Istilah ini menggambarkan pendapat Agama Buddha bahwa segala hal
atau gejala yang berkondisi (materi atau pengalaman) adalah tidak tetap,
senantiasa berubah dan tidak kekal. Segala sesuatu yang kita alami melalui
indera kita terbentuk dari bagian-bagian, yang keberadaannya terbentuk dari
kondisi-kondisi luar. Segala sesuatu berubah senantiasa, demikian juga dengan
kondisi dan hal itu sendiri berubah tanpa henti. Segala hal berubah menjadi
sesuatu, dan berhenti. Tidak ada yang abadi.
b. Derita, walaupun dukkha seringkali
diterjemahkan sebagai "penderitaan", arti filosofisnya lebih
menyerupai "kegelisahan", selayaknya berada dalam keadaan terganggu.
Dengan demikian, "penderitaan" merupakan artian yang terlalu sempit
untuk "konotasi emosional yang negatif" (Jeffrey Po), yang dapat
memberikan kesan akan pandangan Buddhis yang kurang yakin, tetapi Agama Buddha
bukanlah mengenai keyakinan atau ketidak-yakinan, tetapi kenyataan. Dengan
demikian, banyak dari naskah atau tulisan-tulisan Agama Buddha, kata Dukkha
dibiarkan demikian adanya, tanpa pemberian arti, guna memberikan arti yang
lebih luas.
c. Tanpa Inti; dalam filosofi India,
pengertian akan diri disebut ātman (yang lebih mengarah kepada,
"Jiwa" atau diri-metafisik), yang merujuk pada keadaan yang tidak
berubah, bersifat tetap lewat pemahaman akan keberadaan. Agama Buddha tidak
menerima pemahaman akan ātman, pada penekanan ketidak kekalan, tetapi kemampuan
untuk berubah. Oleh karena itu, seluruh pemahaman akan diri secara keseluruhan
adalah tidak benar dan terbentuk di alam ketidak-tahuan.
3) Jalan Utama Berunsur Delapan
Jalan Utama Berunsur Delapan seringkali
dibagi menjadi tiga bagian:
Kebijaksanaan
(Pali:Panna ; Sansekerta:prajna)
a) Pengertian Benar (samma-ditthi)
b) Pikiran Benar (samma-sankappa)
Kemoralan (Pali: Sila)
a) Ucapan Benar (samma-vaca)
b) Perbuatan Benar (samma-kammanta)
c) Pencaharian Benar (samma-ajiva)
Konsentrasi (Pali: Samadhi)
a) Daya-upaya Benar (samma-vayama)
b) Perhatian Benar (samma-sati)
c) Konsentrasi Benar (samma-samadhi)
4) Empat Tingkat Pencerahan
Melalui pelatihan dan pembelajaran,
pengikut mazhab Theravada dapat mencapai salah satu dari empat tingkat
pencerahan:
a) Pemasuk Arus - Mereka yang telah mematahkan ketiga
belenggu (Pandangan salah tentang Aku, Keraguan, kemelekatan terhadap peraturan
dan ritual) tidak akan terlahirkan kembali ke dalam keadaan atau kelahiran
(sebagai binatan, preta, atau di neraka). Ia hanya dapat dilharikan sebagai
manusia atau di surga. Mereka paling tidak akan dilahirkan sebanyak tujuh kali
sebelum mencapai pencerahan.
b) Kembali Sekali - Mereka yang telah melenyapkan ketiga
belenggu utama dan melemahkan belenggu akan nafsu indria dan dendam atau
dengki, akan kembali ke alam manusia satu kali lagi sebelum mencapai Nirwana
dalam kehidupan tersebut.
c) Tidak Kembali - Mereka yang telah melenyapkan kelima
belenggu, yang mengikat mahluk hidup pada alam perasaan. Seorang
"Tidak-Kembali" (Anagami) tidak akan kembali kedalam alam manusia
setelah meninggal dunia, mereka akan terlahirkan kembali di alam yang lebih
tinggi guna mencapai Nirwana.
d) Arahat - Mereka yang telah mencapai Pencerahan, mengalami
Nirwana, dan telah mencapai keadaaan akan tanpa kematian, terbebas dari segala
bentuk kekotoran batin yang tersisa. Kebodohan, kegemaran dan keterikatan
mereka tidak ada lagi. Mencapai tinkat Arahat digambarkan pada naskah terdahulu
sebagai tujuan kehidupan biara.
Mahayana (berasal dari bahasa Sansekerta: mahayana yang secara
harafiah berarti 'Kendaraan Besar) adalah satu dari dua aliran utama Agama
Buddha dan merupakan istilah pembagian filosofi dan ajaran Sang Buddha.
Mahayana, yang dilahirkan di India, digunakan atas tiga pengertian utama:
Sebagai tradisi yang masih berada, Mahayana merupakan
kumpulan terbesar dari dua tradisi Agama Buddha yang ada hari ini, yang lainnya
adalah Theravada. Pembagian ini seringkali diperdebatkan oleh berbagai
kelompok.
Menurut cara pembagian klasifikasi filosofi Agama
Buddha berdasarkan aliran Mahayana, Mahayana merujuk kepada tingkat motifasi
spiritual (yang dikenal juga dengan sebutan Bodhisattvayana Berdasarkan pembagian
ini, pendekatan pilihan yang lain disebut Hinayana, atau Shravakayana. Hal ini
juga dikenal dalam Ajaran Theravada, tetapi tidak dianggap sebagai pendekatan
yang sesuai. Menurut susunan Ajaran Vajrayana mengenai pembagian jalur
pengajaran, Mahayana merujuk kepada satu dari tiga jalan menuju pencerahan, dua
lainnya adalah Hinayana dan Vajrayana. Pembagian pengajaran dalam Agama Buddha
Vajrayana, dan tidak dikenal dalam ajaran Agama Buddha Mahayana dan Theravada.
Walaupun asal-usul keberadaan Mahayana mengacu pada
Buddha Gautama, para sejarawan berkesimpulan bahwa Mahayana berasal dari India
pada abad ke 1, atau abad ke 1 SM. Menurut sejarawan, Mahayana menjadi gerakan
utama dalam Agama Buddha di India pada abad ke 5, mulai masa tersebut
naskah-naskah Mahayana mulai muncul pada catatan prasasti di India. Sebelum
abad ke 11 (ketika Mahayana masih berada di India), Sutra-sutra Mahayana masih
berada dalam proses perbaikan. Oleh karena itu, beragam sutra dari sutra yang
sama mungkin muncul. Terjemahan-terjemahan ini tidak dianggap oleh para
sejarawan dalam membentuk sejarah Mahayana.
Dalam perjalanan sejarahnya, Mahayana menyebar
keseluruh Asia Timur. Negara-negara yang menganut ajaran Mahayana sekarang ini
adalah Cina, Jepang, Korea dan Vietnam dan penganut Agama Buddha Tibet (etnis
Himalaya yang diakibatkan oleh invasi Cina ke Tibet). Aliran Agama Buddha
Mahayana sekarang ini adalah "Pure Land", Zen, Nichiren, Singon,
Tibetan dan Tendai. Ketiga terakhir memiliki aliran pengajaran baik Mahayana
maupun Vajrayana.
Tidak ada perbedaan
mendasar di antara ajaran Mahayana dan Theravada. Hal ini bisa dicermati dari
ajaran yang sama persis mengenai:
1)
Diakuinya Buddha Sakyamuni
sebagai Guru
2)
Empat Kesunyataan Mulia
3)
Delapan Jalan Tengah
4)
Paticca-Samuppada atau Sebab
Musabab Yang Saling Bergantungan
5)
Keduanya tidak mengakui adanya
mahluk yang menciptakan atau mengatur dunia ini
6)
Keduanya menerima Anicca, Dukkha,
Anatta dan Sila, Samadhi, Panna
Ajaran di atas adalah
ajaran paling mendasar dalam Buddhisme.
Vajrayana adalah suatu ajaran Buddha yang di Indonesia lebih sering dikenal dengan nama Tantra
atau Tantrayana. Namun banyak juga istilah lain yang digunakan, seperti
misalnya: mantrayana, ajaran mantra rahasia, ajaran Buddha eksoterik. Vajrayana
adalah merupakan ajaran yang berkembang dari ajaran Buddha Mahayana, dan berbeda dalam hal praktek,
bukan dalam hal filosofi. Dalam ajaran Vajrayana, latihan meditasi sering di
barengi dengan visualisasi.
F. Doktrin-Doktrin Yang Dikembangkan Agama Budha
Sang
budha mengajar dengan gaya percakapan, bukannya dengan cara yang menggurui.
Beliau mendorong munculnya pertanyaan dan merespon sesuai dengan pengertian
pendengarnya melalui penggunaan bahasa sehari-hari dan bukannya dengan bahasa
sanskerta kuno seperti yang digunakan oleh para pendeta Brahmin dalam upacara
mereka.
Sang
budha sering berlaku bak seorang dokter spiritual yang pertama-pertama yang
membuat diagnosis tentang penyakitnya, memahmai bahwa penyakit itu bisa
disembuhkan dan mengetahui caranya, lalu mmberikan pengobatan yang tepat untuk
membuat si pasien sembuh. Gaya mengajarnya tak perlu diragukan lagi yaitu tidak
begitu formal dibandingkan yang tampak dalam pelukisan di berbagai buku.
1.
Karma,
Hawa Nafsu, dan Kelahiran Kembali
Menurut sang budha kita memilki sejumlah ciri yang menentukan kita
, apakah manusia atau hewan. Hal ini disebut KHANDHA. Istilah dari bahasa
sansekerta yang berarti “kelompok” dikenal sebagai AGREGAT. Meskipun agak sulit
diterima , kebenaran penting yang ditekankan oleh sang budha adalah tak adanya
diri pada ciri yang mana pun atau keseluruhannya.Sang budha mengerti betapa
pengindraan yang mengenali terjadinya sesuatu setelah kejadian lain. Mungkin
menciptakan kesan mengenai suatu diri yang ”memiliki” indra, maka beliau
mengajarkan tentang tidak adanya prinsip yang mengatur di balik pengindraan dan
indra tubuh.
Karena kelahiran mengumpulkan khandha dalam suatu susunan tertentu,
maka kematian memisahkannya. Kesinambungan hanya terjadi karena perbuatan dan
tujuan masa lalu akan memainkannya seperti dalang memainkan wayang, kalu tidak
dalam kehidupan ini maka kehidupan lainnya. Meski hukum karma tidak dapat di
lacak dengan indra, kita diberi tahu bahwa sang budha mendapatkan kebenaran ini
ketika melakukan meditasi mendalam pada saat mencapai penerangan sempurna.
Sang budha menolak paham PEMUSNAHAN dan KEABADIAN. Tak ada
kemungkinan bahwa suatu identitas berlanjut kalau bentuk fisik, perasaan,
persepsi, dan formasi mentalnya sendiri bersifat tidak kekal. Apa yang menjadi
wahana pada diri untuk memasuki kehidupan yang lain, apabila semua ini telah
musnah?Aspek apa dalam pribadi yang tidak terlalu berubah sehingga bisa menjadi
tempat bagi suatu diri.
Sang budha mencoba untuk membuat konsep kelahiran kembali tanpa
identitas itu menjadi lebih mudah dimengerti dengan menggunakan rujukan
sehari-hari. Misalnya setetes air yang diambil dari sungai besar mungkin tampak
memiliki keberadaan atau”hidup” tersendiri. Kalau tetes air dikembalikan ke
sungai dan tetes lain dipisahkan, maka meskipun tetes kedua mengandung
susunanunsur kimia yang sama denagn tetes pertama. Tak ada kesinambungan
identitas diantara kedua tetes air tersebut. Demikian juga dengan tetes-tetes
lainnya. Kelahiran kembali atau reinkarnasi sama juga dalam hal merupakan suatu
penyusunan kembali berbagai unsur tanpa suatu idenitas abadi.
Roda kejadian ajaran sang budha
Kodrat tertentu yang akan memenuhi kelompok ciri-ciri yang
sesudahnya itu tergantung pada kodrat karma yang masih belum terbayar ketika
kelompok ciri yang sebelumnya itu menjadi berantakan atau mati. Dengan kata
lain energinya masih dimainkan. Tak ada diri yang menjadi musnah atau
abadi.Hanya kebebasan idaman dan karmalah yang bisa membendung terjadinya
aliran dan kelahiran kembali ini, dan hanya nirvana yang hidup etis dan
kebebasannya dari ketidaktahuan bisa memberikan kebebasan itu.
Tiga Corak Umum
Pengajaran pertama yang diberikan sang budha adalah kepada para
pertapa yang telah berada bersamanya selama bertahun-tahun pertapaanya.tiga
corak yang menentukan semua keberadaan (eksistensi):
a)
Semua
yang diciptakan dan tercipta selalu berubah dann tidak kekal (Anicca).
b)
Semua
yang diciptakan dan tercipta selamanya tidak memuaskan dan menderita (Dukkha).
c)
Semua
yang diciptakan dan tercipta tidak ada diri atau jiwa abadi (Anatta).
2.
Kesadaran
Dan Identitas Yang Salah
Kesadaran adalah produk dari karma yang lalu, mungkin
diakumulasikan selama banyak kelahiran, dicerminkan dalam interaksi yang unik
dalam waktu sekarang. Dan hal ini terjadi dengan begitu tidak kentaranya sehingga
kita mungkin membuat asumsi yang salah mengenai adanya identitas stabil yang
mengalami perubahan.begitu sebaliknya.
Sang budha bisa menerima bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita
mengandaikan suatu kepribadian bagi diri sendiri dan bagi apa yang kita anggap
sebagai yang alin.hal ini diakui sebagai fungsi dalam kehidupan sehari-hari,
meskipun secara mutrlak seluruh kehidupan hanyalah kelompok fisik dan agrerat
mental yang selalu berubah.
3.
Karma
Secara sederhana karma berarti perbuatan, tetapi bisa juga berarti
kerja, tradisi atau hukum spiritual mengenai sebab akibat, tergantung pada
konteks penggunaan kata tersebut. Menurut apa yang dilukiskan oleh sang budha,
karma adalah hukum tanpa pengadilan dan konsekuensi yang tak memihak atau
secara sederhana adalah hukum tentang akibat yang mengikuti sebab.Segala
perbuatan yang memiliki.
4.
Reinkarnasi
Dalam Dharmapada(s), sang Budha mengibaratkan hidup dengan sebuah
rumah yang dibangun dan dibangun kembali berkali-kali. Kiasan ini digunakannya
untuk menjelaskan reinkarnasi (kelahiran kembali). Beliau mempunyai reputasi
yang baik dengan ceritanya kepada para pendengaranya mengenai betapa lamanya
beliau melakukan pencarian tentang siapakah yang membangun rumah kehidupan itu,
melalui perputaran banyak kehidupan dan kematian, dan sekarang akhirnya beliau
telah menyaksikan si pembangun rumah. Rumah ini sama sekali tak akan dibangun
kembali karena kasau (kayu penompang rumah) yang berupa tindakan buruk dimasa
laulya telah patah, hubungan berwujud ketidaktahuan pun telah dihancurkan, dan
penyakitnya yang berupa idaman telah lenyap.
Umat Budha yang awal berpendapat bahwa pada suatu masa hanya bisa
ada satu Budha. Pendapat ini didasarkan pada ajaran bahwa seseorang calon budha
hanya dilahirkan kembali untuk hidup bila dunia telah melupakan Dharma yang
diajarkan oleh Budha sebelumya. Oleh karena itu begitu seseorang budha muncul,
orang yang mendap[atkan wawasan mengenai Dharma dan prilaku serta pengertiaanya
sempurna disebut Arahat (P).
Orang-orang yangtelah mencapai tahap penerangan sempurna yang
tertinggi dan akan mendapatkan kebebasan yang hanya sebagian dan bersyarat. Ia
akan menjalani kelahiran kembali yang lebih baik sesuai dengan kaarmanya yang
masih tersisa. Para Arahat hanya mencapai ketidakterikatan di dalam hidup ini.
Penganut budha yang berikutnya tidak
membatasi pengalaman nirvana sepenuhnya hanya bagi budha pada masanya. Selama
berada dalam kehidupan ini, indra-indra masih berfungsi, juga pada orang yang
telah menjadi Arahat. Selalu saja masih ada penolakan terhadap hal yang tak
menyenangkan. Kelahiran kembali disebabkan oleh karma, idaman, dan keenganan
yang masih hadir didalam kesadaran ketika matinya (agregat yang kita kenal
sebagi) tubuh fisik. Bila dengan terjadinya kematian fisik ternyata indra
kepemilikan dan idaman telah ikut berhenti, maka tak ada hal yang terpendam
untuk mengalami kelahiran yang lain.
5.
Nirvana
Penerangan sempurna, atau nirvana, dilukiskan sebagai keadaan
ketika mencapai pengertian mengenai tak adanya diri atau roh, dan tak ada
sesuatu pun seperti dewa yang menjadi tempat menyatu setelah kematian tubuh
fisik. Tak ada nafsu atau keterikatan yang tersisa, karena sungguh tak masuk
akan untuk membawanya kehadapan kebenaran ini. Pendeta maupun dewa-dewa tidak
bisa menghadiahkan nirvana dan pemberian sesajen bukanlah bagia dari prosesnya.
Sungguh jarang ada manusia yang bisa mencapai taraf pengambilan jaran dan
wawasan seperti ini. Begitu kebenaran ditaati dan dipatuhi, maka menurut dang
budha akhir dari kehidupan orang yang bersangkutan sama halnya seperti nyala
api yang telah ditiup. Nyala api itu tidak pergi kemana-mana. Nirvana total dan
lengkap seperti ini jarang sekali senhingga,pada saat Siddharta Gautama hidup,
muncul pendapat bahwa hal itu terjadi pada saat wafatnya seorang budha. Nirvana
menghasilkan suatu pengelakan yang selengkapnya dari kelahiran kembali, sebab
tak ada keterkaitan atau karma yang tersisa.
Dengan kebijaksanaan sang Budha menghindari pertanyaan menyangkut
nirvana, karena beliau menyadari bahwa jawaban yang mungkin diberikan justru
akan diangap sebagai sesuatu sesuatu yang definitif. Definisi menciptakan
mental, harapan mental menciptakan keterikatan dan selanjutnya keterikantan
harus disingkirkan juga oleh yang bersangkutan. Bahkan ajaran yang diberikan
harus ditafsirkan menurut situasinya dengan pengertian etis dan bukannya
sebagai aturan yang tidak luwes. Nirvana tidak mungkin dilukiskan secara khusus
karena konsepnya tak dapat tercangkup atau terekspresikan dengan bahasa.
Definisi yang verbal pun akan menimbulkan batasan-batasan yang samarsamar dan
BAB
I
Praktek
Keagamaan Dalam Agama Budha
A.
Ritual
Keagamaan Dalam Agama Budha (Sama Di Kebaktian)
Dalam agama Budha bisa didapati juga upacara-upacara
ibadat: pemujaan, pertapaan dan sebagainya. Akan tetapi ajaran budha yang asli
tidak ada kejelasan bagaimana cara sembahyang yang sebenarnya. Oleh karena ajarannya
tegas tentang hal tuhan tidak ada, maka sepeninggal budha, patung budha sendiri
telah menjadi sembahan yang utama, bahkan sisa pennggalanyan seperti abu
mayatnya, potongan kuku, rambutnya Gautama yang tersimpan dalam stupapun telah
dipuja. Semuanya itu adalah karena dorongan kecintaan parapengikutnya kepada
budha sendiri.
Walaupun pada mulanya
agama budha datang merombak agama hindu, akan tetapi dalam soal pemujaan tidak
ada bedanya. Budha mencela penyembahan kepada patung dan berhala, tetapi penganut
budha sendiri sepeninggalnya telah menempatkan patung-patungnya di dalam candi,
kuil dan stupa untuk disembah. Menyan dan dupa stanggi yang berkepul dari
parupuyan didalam kuil dan candi hindu, demikian pun masih di budha.
Kesalehan hidup yang
diajarkan dalam agama budha lebih ditujukan kepada akhlak dan pembentukan diri
pribadi, dengan melaksanakan dharma, tetapi tidak dijelaskan kebaktian dan
ibadat kepada tuhan disamping melaksanakan akhlak yang baik itu. Karena
kaburnya ajaran agama budha mengenai ketuhanan, disinilah segi kelemahannya,
sehingga faham-faham agama berhala menyelundup kedalamnya.
B.
Upacara
Keagamaan
1). Suatu cetusan hati nurani manusia
terhadap suatu keadaan
2). Sebagai salah satu bentuk kebudayaan
dapat kita selenggarakan sesuai dengan tradisi dan perkembangan jaman asalkan
selalu di dasarkan pada pandangan benar.
3). Buddha Dhamma sebagai ajaran universal,
tidak mengalami perubahan
(pengurangan maupun tambahan).
Dua Cara pemujaan :
Dalam agama Buddha juga terdapat ajaran tentang
“pemujaan”. Namun, pemujaan dalam agama Buddha di tujukan pada obyek yg benar
(patut) dan didasarkan pada pandangan
benar. Menurut naskah Pali – Dukanipata, Anguttara Nikaya, Sutta Pitaka, ada
dua cara pemujaan yaitu :
a) Amisa Puja
Makna Amisa Puja : secara halafiah berarti
pemujaan dengan persembahan.
Kitab Mangalattha – Dipani menguraikan 4
hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan Amisa Puja ini :
a.
Sakkara : memberikan persembahan materi
b.
Garukara : Menaruh kasih serta bakti terhadap nilai nilai luhur
c.
Manana : Memperlihatkan rasa percaya / yakin
d.
Vandana : menguncarkan ungkapan / kata persanjungan
Selain itu, ada 3 hal lagi yg harus
diperhatikan agar amisa puja dapat dilakukan sebaik-baiknya. Ketiga hal
tersebut yaitu :
a.
Vatthu Sampada : Kesempurnaan materi
b.
Cetana Sampada : Kesempurnaan dlm kehendak
c.
Dakkhineyya Sampada : Kesempurnaan dlm objek pemujaan
b) Patipatti Puja
Makna Patipatti puja : secara halafiah
berarti pemujaan dengan pelaksanan, sering juga di sebut sebagai Dhamma puja. Menurut
kitab paramatthajotika, yg dimaksud “pelaksanaan” dlm hal ini adalah :
a. Berlindung pada Tisarana ( tiga
perlindungan ), yakni Buddha, Dhamma,
dan Arya Sangha
b. Serta bertekad untuk melaksanakan Pancasila
Buddhist ( lima kemoralan ) yakni
pantangan untuk membunuh, mencuri, berbuat asusila, berkata yg tidak benar,
mengkonsumsi makanan/minuman yg melemahkan kesadaran (kewaspadaan)
c. Bertekad melaksanakan Attahanga sila (
delapan sila ) pada hari-hari uposattha
Berusaha menjalankan Parisuddhi Sila (
Kemurniaan Sila ), yaitu :
1.
Pengendalian diri dalam tata tertib ( pattimokha-samvara )
2.
Pengendalian enam indera ( indriya-samvara )
3.
Mencari nafkah hidup secara benar ( ajiva-parisuddhi )
4.
Pemenuhan kebutuhan hidup yg layak ( paccaya-sanissita )
C.
Tempat-Tempat
Suci
Diantara lambang agama budha yang amat utama ialah
stupa, yaitu suatu bangunan bundar, seperti gobah dan berpuncak lurus keatas.
Kedudukan stupa dalam agama budha sama seperti masjid dalam islam. Bangunan
stupa timbulnya mempunyai suatu kisah yang penting dalam sejarah agama budha.
Pada suatu hari ada dua
murid penganut budha yang pertama diberi tanda mata oleh budha yang terdiri dari
potongan kuku dan rambut budha, yang lalu disuruh menyimpanya dalam stupa, lalu
murit tersebut bertanya. Apakan stupa itu dan bagaimana bentuknya budha. Lalu
budha mencontohkan dengan membuka pakaiannya. Lalu dilipatkannya pakaian itu
dengan bentuk segi empat dan diletakkan dia atas tanah serta diatasnya
diletakanmangkoknya dengan tertangkup, diatas mankok itu ditegakkan tongkatnya.
Demikianlah bentuk bangunan stupa yang harus dibuat mereka. Dasar rata laksana
tikar dan bundara laksana payung sebagai lambang penghormatan dan kebesaran.
Dalam perkembangan
agama budha kemudian stupa itu ada lima macam :
1. Untuk penyimpanan tulang-belulangatau abu
jenazah budha, atau para arhat dan biksu terkemuka. Stupa yang demikian dinamai
: Dhatugarba (dagoba).
2. Untuk menyimpan benda-benda suci yang
berasal dari diri budha atau dari arhat dan biksu yang terkemuka seperti :
potongan rambut, kuku, gigi, tongkat dan bajunya.
3. Untuk peringatan tempat-tempat terjadinya
eristiwa penting dan bersejarah dalam hidup budha.
4. Sebagai lambang suci agama budha
5. Tempat pemujaan.
Dalam keterangan mengenai ibadah telah disebutkan bahwa budha sendiri akhirnya
telah menjadi sembahan dan pujaan dari penganut budha. Abu mayat, tulang
belulang, potongan rambut, gigi, bekas pakaian, tongkat dan mangkoknya yang
dipakai dalam pengembaraannya dan meminta minta semuanya itu disimpan dala
stupa-stupa itu, bekas pusaka dan bekas perkakas budha juga menjadi sesembahan
dan pemujaan. Kemudia patung-patung budha pun telah ditempatkan didalam stupa
dan itu pun telah menjadi sesembahan yang utama. Stupa yang demikian pundisebut
Gaitya.
Perlu juga diketahui,
bahwa dalam menjalankan dharma dalam menuju nirwana, penganut budha selain
melatih diri menekan tresna (nafsu) ditambah lagi dengan pemujaan kepada budha
itu. Tetapi budha yang dimaksud di dini tidak hanya budha gautama, tetapi
menurut kepercayaan mereka selai budha yang telah lalu itu masih akan ada budha
yang lain yang akan lahir kemuka dunia ini membawa ajaran budha. Juga dalam
kenyataan para arhat dan biksu tertinggipun telah menjadi pujaan dan sembahan
pula, begitu juga barang peningalan mereka yang terdapat dalam stupa-stupa itu.
D.
Bandingan
Dengan Islam
Tabel Perbandingan
Agama Budha dengan Islam
|
BUDHA
|
ISLAM
|
Tuhan
|
Brahma
|
Allah
|
Kita
Suci
|
Tripitaka
|
Al-Qur’an
|
Pembawa
Ajaran
|
Nabi Muhammad
SAW
|
|
Pemimpin Umat
|
Pendeta/Bikhsu
|
Syekh/Kyai
|
Waktu Ibadah Ibadah
|
Minggu serta setiap tanggal 1, 8,
15, dan 23 penanggalan Chandra Sengkala
|
Sholat 5 kali dalam sehari, seminggu nostop
|
Tempat
Ibadah
|
Vihara atau Stupa
|
Masjid
|
Moral
|
Menjunjung
Tinggi Nilai-Nilai Moral
|
Menjunjung
Tinggi Nilai-Nilai Moral
|
Hukuman
|
Karma
|
Ahzab Illahi
|
Aliran/Madzhab
|
Imam Syafi’i, Hanafi, Hambali, Maliki,
|
|
Doktrin
|
Surga Barat,
|
Surga, Neraka
|
Keimanan
|
Jalan Utama Berunsur Delapan Sradha atau Iman
|
Rukun Iman
ada 6
|
|
|
|
Hari Raya
|
Hari Raya Trisuci Waisak, Kathina, Asadha, Magha Puja |
Iddul Fitri
& Iddul Ad’ha
|
Tanggal Merah
|
||
Hari Agama Nasional
|
BAB
VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Agama Buddha lahir di negara India, lebih tepatnya
lagi di wilayah Nepal sekarang, sebagai reaksi terhadap agama Brahmanisme.
Sejarah agama Buddha mulai dari abad ke-6 SM sampai sekarang dari lahirnya
Siddharta Gautama. Dengan ini, ini adalah salah satu agama tertua yang masih
dianut di dunia. Agama Buddha berkembang dengan unsur kebudayaan India,
ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia
Timur dan Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya, agama ini praktis telah
menyentuh hampir seluruh benua Asia dan telah menjadi agama mayoritas di
beberapa negara Asia seperti Thailand, Singapura, Kamboja, Myanmar, Taiwan,
dsb. Pencetusnya ialah Siddhartha Gautama yang dikenal sebagai Gautama Buddha
oleh pengikut-pengikutnya. Ajaran Buddha sampai ke negara Tiongkok pada tahun
399 Masehi, dibawa oleh seorang bhiksu bernama Fa Hsien. Masyarakat Tiongkok
mendapat pengaruhnya dari Tibet disesuaikan dengan tuntutan dan nilai lokal.
Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka
sebagai rujukan utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang hyang
Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan
ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Piṭaka (kotbah-kotbah Sang Buddha), Vinaya Piṭaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma Piṭaka
hai muhammad. aku rasa kamu muslim. tapi knapa tertarik nulis tentang budhis? ada alasan lain selain karena toleransi nggak? mungkin bisa di share ke saya.
BalasHapusanyway mungkin kamu bisa berkunjung di blog saya juga
http://hepymuyassaroh.blogspot.co.id/