BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Tujuan
Pembahasan
Tujuan
pembahasan makalah
ini adalah untuk mengetahui gambaran secara umum dan jelas tentang Agama Shinto
yang berbeda dengan agama Islam. Secara lebih jelasnya
tujuan makalah ini yaitu:
1.
Mengetahui bagaimana tinjauan umum agama
shinto yang terbagi menjadi asal-usul agama Shinto, pembawa agama Shinto,
sistem ketuhanan agama Shinto, kitab-kitab suci agama Shinto,
madzhab/sekte-sekte agama Shinto, dan doktrin-doktrin yang dikembangkan agama
Shinto.
2.
Untuk mengetahui praktek keagamaanya
yang terdiri dari ritual keagamaan agama Shinto, upacara-upacara keagamaan
agama Shinto, tempat-tempat suci Agama Shinto dan bandingan agama Shinto dengan
agama Islam
B.
Alasan
Pembahasan
Agama Jepang biasanya disebut dengan agama Shinto.
Sebagai agama asli bangsa Jepang, agama tersebut memiliki sifat yang cukup
unik. Proses terbentuknya, bentuk-bentuk upacara keagamaannya maupun
ajaran-ajarannya memperlihatkan perkembangan yang sangat ruwet. Banyak
istilah-istilah dalam agama Shinto yang sukar dialih bahasakan dengan tepat ke
dalam bahasa lainnya. Kata-kata Shinto sendiri sebenarnya berasal dari bahasa
China yang berarti “jalan para dewa”, “pemujaan para dewa”, “pengajaran para
dewa”, atau “agama para dewa”. Dan nama Shinto itu sendiri baru dipergunakan
untuk pertama kalinya untuk menyebut agama asli bangsa Jepang itu ketika agama
Buddha dan agama konfusius (Tiongkok) sudah memasuki Jepang pada abad keenam
masehi.
Pertumbuhan dan perkembagan agama serta kebudayaan
Jepang memang memperlihatkan kecenderungan yang asimilatif. Sejarah Jepang memperlihatkan
bahwa negeri itu telah menerima berbagai macam pengaruh, baik kultural maupun
spiritual dari luar. Semua pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli,
dengan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut justru memperkaya kehidupan
spiritual bangsa Jepang. Antara tradisi-tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh
dari luar senantiasa dipadukan menjadi suatu bentuk tradisi baru yang jenisnya
hampir sama. Dan dalam proses perpaduan itu yang terjadi bukanlah pertentangan
atau kekacauan nilai, melainkan suatu kelangsungan dan kelanjutan. Dalam bidang
spiritual, pertemuan antara tradisi asli Jepang dengan pengaruh-pengaruh dari
luar itu telah membawa kelahiran suatu agama baru yaitu agama Shinto, agama
asli Jepang.
Oleh karena untuk mengetahui lebih lanjut tentang agama
Shinto, dalam makalah kami akan menjelaskan hal-hal berkaitan dengan agama
Shinto.
BAB II
TINJAUAN UMUM AGAMA SHINTO
A.
Asal Usul Agama
Shinto
Agama ini timbul pada zaman Prasejarah dan siapa pembawanya tak
dapat dikenal dengan pasti. Penyebarannya ialah di Asia dan yang terbanyak
ialah di Jepang.[1]Agama
shinto di Jepang itu tumbuh dan hidup dan berkembang dalam lingkungan penduduk,
bukan datang dari luar. Nama asli agama itu ialah Kami no Michi yang bermakna
jalan dewa.
Pada saat Jepang berbenturan dengan kebudayaan Tiongkok maka nama
asli itu terdesak kebelakang oleh nama baru, yaitu Shin-To. Nama baru itu
perubahan bunyi dari Tien-Tao, yang bermakna jalan langit. Perubahan bunyi iitu
serupa halnya dengan aliran Chan, sebuah sekte agama Budha mazhab Mahayana di
Tiongkok, menjadi aliran Zen sewaktu berkembang di Jepang.
Agama shinto itu berpangkal pada mithos bahwa bumi Jepang itu
ciptaan dewata yag pertama-tama dan bahwa Jimmu Tenno, kaisar Jepang yang
pertama itu adalah turunan langsung dari Amaterasu Omi Kami, yakni Dewi
Matahari dalam perkawinannya dengan Touki Iomi, yakni Dewa Bulan. Sekalian
upacara dan kebaktian terpusat seluruhnya pada pokok keyakinan tersebut.
Sejarah perkembangan agama Shinto di Jepang dapat dibagi kepada
beberapa tahapan masa sebagai berikut:
1.
Masa
perkembangannya dengan pengaruh yang mutlak sepenuhnya di Jepang, yaitu dari
tahun 660 sebelum masehi sampai tahun 552 masehi, didalam masa duabelas abad
lamanya.
2.
Masa agama
Budha dan ajaran Konghuchu dan ajaran Tao masuk ke Jepang, yaitu dari tahun 552
M sanpai tahun 800 M. Yang dalam masa dua setengah abad itu agama sintho
beroleh saingan berat. Pada tahun 645 M Kaisar Kotoku merestui agama Budha dan
menyampingkan Kami no Michi.
3.
Masa
sinkronisasi secara berangsur-angsur antara agama Shinto dengan tiga ajaran
agama lainnya, yaitu dari tahun 800M sampai tahun 1700M. Yang dalam masa
sembilan abad itu pada akhirnya lahir Ryobu-Shinto (Shinto-Panduan). Dibangun
oleh Kobo-Daishi (774-835) dan Kitabake Chikafuza (1293-1354M) dan Ichijo
Kanoyoshi (1465-1500M)dan lainnya.[2]
B.
Sistem
Ketuhanan
Konsep Tuhan dalam kepercayaan Shinto adalah sangat
sederhana yaitu : " Semua benda di dunia, baik yang bernyawa ataupun
tidak, pada hakikatnya memiliki roh, spirit atau kekuatan jadi wajib
dihormati" Sejak awal sebenarnya secara natural manusia sudah menyadari
bahwa mereka bukanlah mahluk kuat dan di luar mereka ada kekuatan lain yang
lebih superior yang langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap
kehidupan mereka sehari-hari. Pengakuan, kekaguman, ketakutan dan juga
kerinduan pada Spirit atau "Kekuatan Besar" yang disebut dengan nama
Kami atau Kami Sama itu diwujudkan dalam bentuk tarian, upacara dan festival
budaya.
Jadi Kamisama adalah tuhan, dewa, atau kekuatan tertinggi
bagi agama atau masyarakat Jepang. Tuhan tersebut hidup di segala tempat dan
diberi nama sesuai dengan tempat atau benda yang ditempati. Tuhan yang berdiam
di gunung diberi nama Kami no Yama, kemudian ada Kami no Kawa (Tuhan sungai),
Kami no Hana (Tuhan bunga).
Pada masa Restoresi Meiji (1868-1912), mulai berdiri
banyak sekte baru dari Shinto seperti contohnya Tenrikyo dan Kenkokyo yang
biasanya digolongkan sebagai agama baru atau Shinshūkyō. Salah satu keunikan
dari Shinto baru ini adalah menggolongkan diri dengan tegas sebagai penganut
monotheisme. Mereka juga memiliki pendiri yang diakui sebagai guru atau nabi
dan juga mempunyai ajaran layaknya agama modern. Ajarannya umumnya sangat
sederhana serta lebih banyak membahas tentang etika dan perbaikan prilaku bukan
dogma atau doktrin, jadi sepertinya lebih dekat ke arah ajaran Buddha atau
Confucianisme. Juga agama Shinto memuja dan menyembah hewan, orang-orangsuci,
roh nenek moyang, para dewa, dewa tereinggi (Amaterasu Omi kami)
Menurut penganut agama Shinto, pengertian Matsuri
adalah suatu ritual yang dipersembahkan untuk Kamisama, tetapi matsuri
dalam penegertian secara global adalah festival atau suatu perayaan. pada
umumnya perayaan matsuri di Jepang dilaksanakan di jinja dan kuil,
walaupun ada juga matsuri yang dilaksanakan di gereja dan juga instansi
tertentu. Sebagian besar matsuri diselenggarakan dengan maksud untuk mendoakan
keberhasilan tangkapan ikan dan keberhasilan panen, kesuksesan dalam bisnis,
kesembuhan dan kekebalan terhadap penyakit, keselamatan dari bencana, dan
sebagai ucapan terima kasih setelah berhasil dalam menyelesaikan suatu tugas
berat. Matsuri juga diadakan untuk merayakan tradisi yang berkaitan dengan
pergantian musim atau mendoakan arwah tokoh terkenal. Makna upacara yang
dilakukan dan waktu pelaksanaan matsuri beraneka ragam seusai dengan tujuan
penyelenggaraan matsuri. Matsuri yang mempunyai tujuan dan maksud yang sama
dapat mempunyai makna ritual yang berbeda tergantung pada daerahnya.
Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui
prosesi atau arak-arakan Mikoshi, Dashi (danjin) dan yatai
yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan berisi Kami atau objek
pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai Chigo (anak kecil dalam
prosesi), Miko (anak gadis pelaksana ritual), Tekomai (laki-laki
berpakaian wanita), hayashi (musik khas matsuri), penari, peserta dan
penonton yang berdandan dan berpakaian bagus, dan pasar kaget beraneka macam
makanan dan permainan
C.
Kitab Suci
Kitab
Suci Agama Shinto
Kitab
yang tertua didalam agama shinto ada dua buah yang disusun sepuluh abad
sepeninggal Jimmu Tenno (660 SM). Dua buah lagi disusun pada masa yang lebih
belakangan. Keempat itu kitab itu adalah:
1.
Kojiki, yang bermakna catatan peristiwa
purbakala. Disusun pada tahun 712 M.
2.
Nihonji, yang bermakna riwayat Jepang.
Disusun pada tahun 720 M.
3.
Yengisiki, yang berisi nyanyian-nyanyian
dan pujaan.
4.
Manyoshiu, yang bermakna himpunan
sepuluh ribu daun. Berisikan bunga rampai, terdiri atas 4496 buah sajak,
disusun antara abad ke-5 dengan abad ke-8 masehi.[3]
Kitab
pertama itu menguraikan tentang alam kayangan tempat kehidupan para dewa dan
dewi sampai kepada Amaterasu omi Kami (dewi Matahari) dan Tsukiyomi (dewa
bulan) diangkat menguasai langit dan puteranya Jimmu Tenno diangkat menguasai
tanah yang indah dan subur (Jepang) di Bumi, lalu disusuli dengan silsilah
turunan kaisar Jepang itu beserta riwayat hidup satu persatunya, selanjutnya
upacara-upacara keagamaan yang dilakukan dalam masa yang panjang itu, berkenaan
dengan pemujaan terhadap kaisar beserta dewa-dewi.
Didalam
kata pendahuluan Kojiki penulisannya menyatakan bahwa dia seorang bangsawan
tingkat lima diistana, yang menerima perintah kaisar untuk menyusun silsilah
para kaisar beserta riwayat hidupnya. Dia menuliskanya berdasarkan kisah turun
temurun yang dihafalkan dan dinyanyikan Reciter, yakni pihak penyanyi
bercerita. Kitab yang kedua bersifat komentar yang panjang lebar atas kitab
yang pertama itu.
Kitab
ketiga dan keempat berisikan himpunan kisah-kisah legendaris, nyanyian
kepahlawanan, beserta sajak-sajak tentang asal-usul kedewaan, asal-usul
kepaulauan Jepang dan kerajaan Jepang. Ragam kisah tentang hal-hal yang
berkaitan kehidupan para dewa dan para dewi dalam kayangan dilangit. Catatan
peristiwa pada masa-masa terakhir barulah didasarkan atas kenyataan sejarah.
D.
Madzhab/
Sekte-Sekte Agama Shinto
|
|
Secara umum Shinto bisa dikelompokkan menjadi 4 bagian atau
kelompok. Yang masing masing mempunyai keunikannya tersendiri.
1.Imperial Shinto (Kyūchū
Shinto atau Koshitsu Shinto)
Shinto
kelompok ini sangat eksklusif dan tidak umum ditemukan. Memiliki beberapa kuil
saja yang kalau tidak salah 5 buah di seluruh negeri. Nama kuil ini biasanya
berakhir dengan nama Jingu, misalnya Heinan Jingu, Meiji Jingu, Ise Jingu dll.
Kuil Shinto kelompok ini selain berfungsi sebagai tempat untuk memuja Kami juga
berfungsi sebagai tempat memuja leluhur khususnya keluarga kerajaan. Salah satu
dari kuil ini dibangun khusus untuk menghormati dewa Matahari. .
2. Folk Shinto (Minzoku
Shinto)
Mithyologi tentang Kojiki, cerita terbentuknya pulau Jepang dan
cerita tentang dewa dewa lain adalah ciri khas dari Shinto kelompok ini. Jadi
Folk Shinto adalah kepercayaan Shinto yang meliputi cerita tua, legenda,
hikayat dan cerita sejarah. Kuil Kibitsu Jinja yang terletak di daerah Okayama,
Jepang tengah adalah salah satu contoh menarik karena dibangun untuk menghormati
tokoh utama dalam cerita rakyat yaitu Momo Taro. Disamping itu Shinto kelompok
ini juga mendapat pengaruh yang kuat dari agama Buddha, Konfucu, Tao dan ajaran
penduduk local seperti Shamanism, praktek penyembuhan dll. Kuil kelompok ini
biasanya mudah dibedakan dengan kuil lainya karena adanya sejarah pendirian
kuil yang unik. Jadi jangan kaget kalau Anda menemukan kuil yang penuh dengan
ornament dan pernak pernik kucing atau binatang dan benda lainya karena sejarah
pendiriannya yang memang berkaitan dengan binatang tersebut.
3. Sect Shinto (Kyoha
atau Shuha Shinto)
Shinto
kelompok ini mulai muncul pada abad ke 19 dan sampai saat ini memiliki kurang
lebih 13 sekte. Dua diantara sekte ini yang cukup banyak pengikutnya adalah
Tenrikyo atau Kenkokyo. Keberadaan dari Sect Shinto ini cukup unik karena
memiliki ajaran, doktrin, pemimpin atau pendiri yang dianggap sebagai nabi dan
yang terpenting biasanya menggolongkan diri dengan tegas sebagai penganut
monotheisme. Shinto golongan ini sepertinya jarang dibahas ataupun kurang
dikenal oleh kebanyakan orang.sehingga konsep monotheisme dari shinto aliran
baru nyaris luput dari tulisan kebanyakan orang.
4.
Shrine Shinto (Jinja
Shinto)
Dari semua
kelompok kuil Shinto yang ada, kelompok inilah yang sepertinya paling mudah
untuk ditemukan. Diperkirakan saat ini ada sekitar 80 ribuan kuil yang ada di
seluruh negeri dan semuanya tergabung dalam satu organisasi besar
yaitu Association of Shinto Shrines.
E.
Doktrin-Doktrin
Yang Di Kembangkan
1.
Tidak mengenal
ajaran apapun
Shinto adalah agama kuno yang
merupakan campuran dari animisme dan dinamisme yaitu suatu kepercayaan primitif
yang percaya pada kekuatan benda, alam atau spirit. Kepercayaan tua semacam ini
biasanya penuh berbagai ritual dan perayaan yang biasanya berhubungan dengan
musim, seperti musim panen, roh, spirit dan lain-lain. Sejak awal sebenarnya
secara natural manusia menyadari bahwa mereka bukanlah makhluk kuat dan diluar
mereka ada kekuatan lain yang lebih superior yang langsung ataupun tidak
lansung berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari.
Pengakuan, kekaguman, ketakutan, dan
juga kerinduan pada Spirit atau “Kekuatan Besar” yang disebut dengan nama Kami
atau Kamisama itu diwujudkan dalam bentuk tarian, upacara, dan festival.
Layaknya suatu kepercayaan yang berakar dari Animisme, umumnya tidak memiliki
ajaran khusus yang harus dipelajari, demikian juga halnya dengan agama Shinto.
Jadi, agama ini sama sekali tidak memiliki buku khusus ataupun kitab suci yang
harus dipelajari sehingga pelajaran ataupun ceramah agama dan sejenisnya tentu
saja tidak ada. Disamping itu Shinto juga tidak mengenal istilah nabi yang
berfungsi sebagai “Founding Father” karena dari awal agama ini muncul secara alami
di masyarakat.
2.
Tidak mengenal
ritual mengorbankan binatang
Upacara ritual dengan mengorbankan
binatang sepertinya adalah umum ditemukan pada kepercayaan masyarakat lama.
Sebagian kecil wilayah di Indonesia mungkin mengenal tradisi menanam kepala kerbau
sebagai ritual untk pembangunan atau peresmian bangunan baru. Namun, pada
kepercayaan semacam ini sama sekali tidak dikenal dalam tradisi Shinto. Hal ini
tentu saja menarik karena bisa dikatakn sangat bertolak belakang dengan tradisi
animisme pada umumnya.
3. Shinto adalah Pemuja Alam
Hal
ini bisa dilihat dari tradisi Shinto yang memberikan penghormatan yang sangat
tinggi kepada alam. Pohon besar misalnya tidak boleh sembarangan ditebang
karena percaya ada Kami yang berdiam di dalamnya. Kebanyakan penduduk jaman
dulu akan taat dan tidak merusak tempat alam atau bahkan terkadang jalan tanpa
melewati hutan, gunung bahkan pulau tertentu karena dipercaya adanya Kami yang
bersemayam di tempat tersebut.
Salah
satu contoh kecil dari penghormatan yang tinggi kepada tumbuhan adalah pada
saat makan, yaitu hormat terhadap makanan khususnya beras. Sehingga hal inilah
yang menyebabkan kebanyakan orang Jepang yang anti untuk menyisakan nasi bahkan
dimakan sampai butir terakhir karena dianggap tidak menghormati roh yang hidup
di dalamnya. Dengan konsep kepercayaan yang sangat sederhana seperti ini bisa
dibilang mereka cukup termasuk sukses menjaga kelestarian alamnya. Sekedar
catatan tambahan, saat ini, tempat yang bisa dihuni di Jepang hanyalah 30% dari
luas dataran yang ada, selebihnya 70% masih berupa gunung dan bukit. Walaupun
angka ini tidak menjelaskan secara langsung hubungan antara kedua variabel ini
secara ilmiah, namun sepertinya hal ini tidak terlepas dari konsep Shinto
sebagai pemuja alam. Kuil shinto juga umumnya selalu dipenuhi dengan sejumlah
pohon besar yang sudah berumur ratusan tahun. Bukan pemandangan yang aneh di
negara Jepang jika seandainya suatu kali Anda melihat sebuah pohon besar yang
tumbuh gagah tepat di tengah jalan serta sebuah kuil kecil didekatnya yang
berdiri entah sejak kapan, tanpa ada yang berani atau berniat menggusurnya.
4. Konsep Tuhan menurut Shinto
Tradisi
Shinto mengenal beberapa nama Dewa yang bagi Shinto bisa juga berarti Tuhan
yang dalam bahasa Jepang disebut dengan istilah Kami atau Kamisama. Kamisama
ini bersemayam atau hidup di berbagai ruang dan tempat, baik benda mati maupun
benda hidup. Pohon, hutan, alam, sungai, batu besar, bunga sehingga wajib untuk
dihormati. Penamaan Tuhan dalam kepercayaan Shinto bisa dibilang sangat
sederhana yaitu kata Kami ditambah kata benda. Tuhan yang berdiam di gunung
akan menjadi Kami no Yama, kemudian Kami no Kawa (Tuhan Sungai), Kami no Hana
(Tuhan Bunga) dan Dewa/Tuhan tertingginya adalah Dewa Matahari (Ameterasu
Omikami) yang semuanya harus dihormati dan dirayakan dengan perayaan tertentu.
Jadi
inti dari konsep Tuhan dalam kepercayaan Shinto adalah sangat sederhana yaitu
”semua benda di dunia, baik yang bernyawa ataupun tidak, pada hakikatnya
memiliki roh, spirit atu kekuatan jadi wajib dihormati” . konsep ini memiliki
pengaruh langsung didalam kehidupan masyarakat Jepang.Misalnya seperti, seni
Ikebana atau merangkai bunga yang berkembang pesat di Jepang karena
salahsatunya dilandasi konsep Shinto tentang Spirit atau Tuhan yang bersemayam
pada bunga serta tumbuhan yang harus dihormati.
5. Hubungan
antara Manusia dengan Tuhan(Dewa)
Hubungan
antara Kami dengan manusia menurut konsep Shinto juga cukup unik kaerna polanya
cenderung tidak bersifat Vertikal, namun lebih banyak bersifat horizontal. Kami
hidup dan berada dibawah gunung, hutan, laut, atau di tengah perkampungan
penduduk yang ditandai dengan berdirinya kuil penjaga desa.
Jadi
konsep Tuhan di atas atau langit dan manusia di bumi sepertinya kurang tepat
untuk kepercayaan Shinto. Mikoshi atau Dashi sebagai perwujudan dari kereta
bagi Kami, yang digotong beramai-ramai selam festival di kuil mungkin salah
satu contoh menarik. ”Kereta Tuhan” ini tidaklah diarak dengan hormat dan
khidmad namun diguncang guncangkan, dibentur-benturkan. Dinaiki beramai-ramai
bahkan tidak jarang diduduki pada bagian atapnya oleh beberarapa orang selama
proses prosesi.
6. Konsep Dosa
Salah
satu tokoh Shinto Shimogamo Shrine mengatakan bahwa, Shinto tidak mengajarkan
adanya perbuatan dosa. Jika melakukan perbuatan tertentu yang menciptakan dosa
seseorang harus mau dibersihkan semata-mata untuk ketenangan pikiran sendiri
dan nasib baik, dan bukan karena dosa yang salah dalam dan dari dirinya
sendiri. Perbuatan jahat dan salah disebut "Kegare",.
"cerah" atau hanya "baik". Membunuh apa pun untuk dapat
bertahan hidup harus dilakukan dengan rasa syukur dan melanjutkan ibadah.
Jepang Modern terus menempatkan penekanan pada pentingnya "aisatsu"
atau ritual frasa dan salam. Sebelum makan, orang harus mengucapkan
"itadakimasu",. "Saya akan dengan rendah hati menerima",
dalam rangka untuk menunjukkan rasa syukur dari makanan pada khususnya dan
umumnya kepada semua makhluk hidup yang kehilangan nyawa mereka untuk membuat
makanan. Kegagalan untuk menunjukkan rasa hormat yang tepat adalah tanda
kebanggaan dan kurangnya kepedulian terhadap orang lain.
7. Konsep surga dan neraka ataupun ajaran tentang
kehidupan alam akhirat
Sepertinya
adalah hal yang umu m
ditemukan pada ajaran agama ataupun kepercayaan primitif sekalipun. Shinto
sepertinya memiliki tradisi yang sedikit menyimpang. Konsep surga dan neraka
hampir tidak disentuh sama sekali dalam kepercayaan Shinto. Hal ini bisa
dilihat dari hampir tidak ditemukannya ritual upacara kematian pada tradisi
Shinto. Ritual dan tata cara pemakaman di Jepang sepenuhnya dilakukan dengan
tata cara agama Budha dan sisanya menggunakan ritual agama Kristen. Kuburan dan
tempat makam juga umumnya berada di bawah organisasi kedua agama tersebut.
Sepertinya ritual Shinto lebih difokuskan pada kehidupan pada kehidupan duniawi
atau kehidupan sekarang terutama yang berhubungan dengan alam khususnya
keselarasan antara manusia dengan alam sekitarnya.
BAB III
PRAKTEK KEAGAMAAN AGAMA SHINTO
1.
Ritual
Keagamaan
Mengenai
tata cara sembahyang atau doa dalam kuil Shinto sangat sederhana yaitu
melemparakan sekeping uang logam sebagai sumbangan di depan altar, mencakupkan
kedua tangan di dada dan selesai. Jadi semua proses berdoa yang dilakukan
dengan berdiri ini tidak lebih dari sepuluh detik. Doa dilakukan tidak mengenal
hari atau jam khusus jadi bebas dilakukan kapan saja. Sedikit catatan, bisa
saya sebutkan bahwa tata cara doa di kuil Shinto dengan kuil Buddha sangatlah
mirip. Yang sedikit berbeda adalah di kuil Buddha tangan dicakupkan ke depan
dada dengan pelan, hening dan tanpa suara, sedangkan kuil Shinto adalah
sebaliknya yaitu mencakupkan tangan dengan keras sehingga menghasilkan suara
sebanyak dua kali (mirip tepuk tangan).
Walaupun
aturan tata cara berdoa ini bisa disebut baku namun sama sekali tidaklah
bersifat mengikat. Berdoa tepat di depan altara utama, dari halaman kuil, dari
luar pintu gerbang, dilakukan tidak dengan mencakupkan tangan namun membungkukan
badan atau bahkan tidak berdoa sama sekali bukanlah masalah sama sekali.[5]
agama
Shinto ada beberapa proses ritual atau ibadah ynag bertujuan untuk mensucikan
diri mereka, Agama Shinto sangat mementingkan ritus-ritus dan memberikan nilai
sangat tinggi terhadap ritus yang sangat mistis. Menurut agama Shinto watak
manusia pada dasarnya adalah baik dan bersih. Adapun jelek dan kotor adalah
pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan negatif yang harus dihilangkan melalui
upacara pensucian (Harae). Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai
agama yang dimulai dengan dengan pensucian dan diakhiri dengan pensucian.
Upacara pensucian (Harae) senantiasa dilakukan mendahului pelaksanaan
upacara-upacara yang lain dalam agama Shinto.
Ritus-ritus
yang dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah untuk memuja dewi Matahari
(Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta
kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada
Bulan Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama.[6]
Juga
2.
Upacara
Keagamaan
Selain itu juga ada beberpa peryaan yang biasnya di peringati oleh
pemeluk agam Shinto dan perayaan itu diadakan untuk tujuan tujuan yang
berkenaan dengan pusaka leluhur, pengudusan, pengusiran roh jahat atau
pertanian, puncak puncak perayaan diadakan pada tahun baru, saat menanam padi
pada musim semi dan pada saat panen pada musim gugur, musim semi dan musim
gugur adalah saat untuk menghormati leluhur dan mengunjungi makamnya, selama
perayaan kami sering diarak melewati jalan jalan dalam tempat pemujaan yang bisa
dibawa bawa untuk membuat setiap orang yakin bahwa kami sedang mengunjungi
masyarakat untuk memberikan perlindungan .[7]
Matsuri berasal dari
kata matsuru (menyembah, memuja) yang berarti pemujaan terhadap Kami atau
ritual yang terkait. Dalam teologi
agama Shinto dikenal empat unsur dalam matsuri: penyucian (harai),
persembahan, pembacaan doa (norito), dan pesta makan. Matsuri yang
paling tua yang dikenal dalam mitologi
Jepang adalah ritual yang dilakukan di depan Amano Iwato.
Matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih tersisa seperti dalam
bentuk Kigansai (permohonan secara individu kepada jinja atau kuil untuk
didoakan dan Jichinsai (upacara sebelum pendirian bangunan atau
konstruksi). Pembacaan doa yang dilakukan pendeta Shinto untuk individu atau
kelompok orang di tempat yang tidak terlihat orang lain merupakan bentuk awal
dari matsuri. Pada saat ini, Ise Jingū merupakan salah satu
contoh kuil agama Shinto yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk
pembacaan doa yang eksklusif bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak
dibolehkan ikut serta.
Sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan penyelenggaraan matsuri
sering melenceng jauh dari maksud matsuri yang sebenarnya. Penyelenggaraan
matsuri sering menjadi satu-satunya tujuan dilangsungkannya matsuri, sedangkan
matsuri hanya tinggal sebagai wacana dan tanpa makna religius.
Kebanyakan festival dilaksanakan pada musim panas sekitar bulan
July dan Agustus dan jatuh pada hari minggu sesuai dengan kalender masehi.
Bulan ini juga merupakan bulan liburan anak sekolah, jadi festival dipastikan
akan dipenuhi oleh para remaja dan anak anak.
Matsuri Terbesar
- Gion Matsuri (Yasaka-jinja, Kyoto, bulan Juli)
- Tenjinmatsuri (Osaka Temmangu, Osaka, 24-25 Juli)
- Kanda Matsuri (Kanda Myōjin, Tokyo, bulan Mei)
a). Gion Matsuri
adalah tradisi yang berasal dari sekitar 1.100 tahun yang lalu.
Pada tahun 869 konon
terjadi wabah penyakit menular yang mengganas di seluruh Jepang, sehingga perlu
diadakan upacara yang disebut Goryō-e untuk menenangkan arwah orang yang
meninggal karena wabah penyakit menular. Pendeta Shintō bernama Urabe Hiramaro
membuat 66 pedang dengan mata di dua sisi (hoko) untuk persembahan
kepada penjaga dari penyakit menular yang disebut dewa Gozutennō. Jumlah Hoko
yang dibuat sesuai dengan jumlah negara-negara kecil (kuni) yang
terdapat di Jepang pada saat itu. Upacara ini kemudian dikenal sebagai Gion
Goryō-e, yang kemudian penyebutannya disingkat menjadi Gion-e.[8]
Sejak tahun 970
upacara terus diselenggarakan setiap tahun hingga menjadi Gion Matsuri seperti
sekarang ini. Prosesi Yamaboko seperti yang dikenal sekarang ini konon berasal
dari tahun-tahun akhir zaman Heian. Gion Matsuri sempat tidak
diselenggarakan sewaktu Perang Onin, akibat kebakaran besar di era Hōei, era Temmei dan era Genji, serta serangan udara pada Perang Dunia II.
Gion Matsuri kemudian dihidupkan kembali oleh warga kota yang merupakan
pengusaha yang berpengaruh (machishū).
Berbeda dengan Gion Matsuri yang dikenal sekarang ini, prosesi
Yamaboko yang menjadi puncak perayaan Gion Matsuri pada tahun 1966 dilakukan dalam dua tahap:
- Zensai (prosesi Yama dan Hoko pada tanggal 17 Juli)
- Ato Matsuri (prosesi Yama saja pada tanggal 24 Juli).
Yamaboko
adalah istilah untuk Yama dan Hoko. Yama adalah kendaraan beroda
(float) besar dari kayu dengan hiasan megah dan ditarik oleh banyak
orang. Hiasan kendaraan (kenshōhin) pada Yama berupa benda-benda
keagamaan dan benda-benda seni seperti karpet yang didatangkan dari Eropa dan Tiongkok
melalui Jalan Sutra.
Perdagangan dengan Dinasti Ming mencapai puncaknya pada zaman Muromachi,
sehingga motif dari luar negeri banyak dipamerkan dalam Gion Matsuri.
Masing-masing Yama mempunyai tema yang biasanya merupakan cerita dongeng yang
berasal dari Tiongkok.
Hoko
adalah jenis Yama dengan menara menjulang tinggi yang di ujung paling atasnya
terdapat hoko (katana
dengan mata di dua sisi) walaupun ada juga Hoko yang tidak bermenara. Hoko juga
dijadikan panggung untuk kelompok orang berpakaian Yukata yang terdiri dari pemain musik
Gionbayashi dan peserta yang berkesempatan naik karena memenangkan undian hasil
membeli Chimaki atau Gofu (semacam jimat). Musik Gionbayashi yang menurut
telinga orang Jepang berbunyi "Kon-chi-ki-chin" baru menjadi tradisi
Gion Matsuri pada zaman Edo.
b). Tenjin matsuri
Perayaan
Tenjinmatsuri dimulai pada tanggal 1 Juni tahun 951.
Pada saat itu, perayaan dibuka dengan ritual menghanyutkan kamihoko
(pedang dengan mata di kedua sisi) di sungai Ōkawa. Lokasi perayaan ditentukan
berdasarkan tempat tersangkutnya kamihoko yang dihanyutkan air sungai. Penghanyutan
kamihoko merupakan asal-usul ritual Hokonagashi yang dilakukan sampai
sekarang ini. Puncak perayaan berupa prosesi perahu berasal dari ritual
Hokonagashi yang menentukan lokasi perayaan di tengah sungai.[9]
3.
Tempat-Tempat
Suci
Kuil Shinto (神社 jinja) adalah struktur
permanen dari kayu yang dibangun untuk pemujaan berdasarkan kepercayaan Shinto.
Tidak semua kuil Shinto adalah bangunan permanen, sejumlah kuil memiliki jadwal
pembangunan kembali. Bangunan di Ise Jingū misalnya, dibangun kembali setiap 20
tahun.
Pada zaman kuno, walaupun tidak didirikan
bangunan, tempat-tempat pemujaan Shinto tetap disebut jinja (kuil Shinto). Pada
masa itu, kekuatan alam yang ditakuti seperti gunung (gunung berapi), air
terjun, batu karang, dan hutan merupakan objek pemujaan. Kuil Shinto berbentuk
bangunan seperti dikenal sekarang, diperkirakan berasal dari bangunan pemujaan
yang dibuat permanen setelah didiami para Kami yang pindah dari goshintai
(objek pemujaan). Kuil Shinto tidak memiliki aula untuk beribadat, dan bukan
tempat untuk mendengarkan ceramah atau menyebarluaskan agama. Pada zaman
sekarang, kuil Shinto dipakai untuk upacara pernikahan tradisional Jepang.
a). Asal Usul Kuil Shinto
Kuil Shinto bermula dari altar (himorogi) yang
dibangun sementara untuk keperluan pemujaan di iwakura (tempat pemujaan alam)
atau tempat tinggal para Kami yang dijadikan tempat terlarang dimasuki manusia,
pada umumnya shintaisan (gunung tempat tinggal para Kami). Bangunan bersifat
permanen mulanya tidak ada. Asal usulnya mungkin seperti utaki di Okinawa.
Sejak zaman kuno hingga sekarang, kuil Shinto
sering tidak memiliki honden. Ada pula kuil yang hanya membangun haiden di
depan iwakura atau gunung/pulau yang terlarang dimasuki manusia (misalnya: Kuil
Ōmiwa, Kuil Isonokami, Munakata Taisha). Sebagian dari kuil Shinto sama sekali
tidak memiliki bangunan, misalnya Kuil Hirō di Kumano Nachi Taisha. Setelah
dibuatkan bangunan permanen, para Kami sehari-harinya dipercaya selalu ada di
dalam kuil Shinto. Bangunan permanen dalam kuil Shinto juga diperkirakan
sebagai hasil pengaruh agama Buddha yang selalu memiliki bangunan untuk
menyimpan patung Buddha.
Berdasarkan alasan yang tidak diketahui,
penganut Shinto kuno mendirikan bangunan di tempat yang berdekatan dengan
goshintai yang sudah dipuja sebelumnya secara turun temurun. Bangunan Kuil
Koshikiiwa misalnya, dibangun berdekatan dengan iwakura. Ketika dirasakan perlu
untuk mendirikan bangunan kuil, misalnya ketika mendirikan desa, penduduk
memilih tempat yang dianggap suci sebagai tempat pemujaan ujigami atau bunrei.
Berdasarkan alasan pendirian bangunan, kuil Shinto dibagi menjadi tiga jenis:
bangunan kuil yang didirikan berdasarkan alasan sejarah (seperti di tempat yang
berkaitan dengan kelahiran sebuah klan, atau di tempat yang berkaitan dengan
tokoh yang disucikan, misalnya Tenmangū di Dazaifu), bangunan kuil yang
didirikan di tempat yang telah disucikan, dan bangunan kuil yang didirikan di
tempat yang mudah dicapai orang. Kuil Nikkō Futarasan misalnya, berada di
puncak gunung hingga perlu dibangun kuil cabang di lokasi yang mudah didatangi.
Bangunan kuil dapat dibangun di mana saja, mulai dari di tengah laut, di puncak
gunung, hingga di atap gedung bertingkat atau di dalam rumah dalam bentuk
kamidana.
b). Pendeta (guji) Dalam Agama Shinto
Pendeta Shinto
disebut kannushi (shinshoku). Istilah kannushi sudah dikenal sejak zaman kuno
untuk orang yang menjalankan ritual di kuil. Di antara tugas utama kannushi
termasuk mengelola kuil dan melaksanakan berbagai upacara, namun tidak memberi
ceramah dan tidak menyebarluaskan agama.Kepala pendeta disebut gūji, tugasnya
memimpin upacara, mengelola manajemen keuangan kuil, dan bertanggung jawab atas
keseluruhan urusan kuil.Miko adalah sebutan untuk wanita asisten kannushi dalam
melaksanakan upacara atau pekerjaan administrasi kuil. Istilah miko dulunya
dipakai untuk wanita yang memiliki kekuatan magis untuk menerima ramalan
(takusen) dalam keadaan raga dirasuki Kami (kamigakari).
4.
Bandingan
Dengan Islam
|
Kepercayaan
shinto
|
Agama islam
|
Sitem ketuhanan
|
Primitif
animisme
|
Samawi,
monotheis
|
Kitab suci
|
Kojiki,
nihonji, yengis hiki, man yos hyu
|
Alquran
|
Pembawa
ajaran
|
Kepercayaan
negara
|
Muhammad SAW
|
Pemimpin
ummat
|
Pendeta
|
Ulama
|
Waktu ibadah
|
Pagi hari dan
hari raya
|
5 waktu
|
Tempat ibadah
|
Kuil
|
Masjid
|
Moral
|
Menjujung
tinggi kehormatan negara dan pribadi
|
Akhlaq
|
Hukuman
|
Karma
|
Dosa neraka
|
Aliran sekte
|
Imperial
Shinto (Kyūchū Shinto atau Koshitsu Shinto)
Folk
Shinto (Minzoku Shinto)
Sect Shinto (Kyoha
atau Shuha Shinto)
Shrine Shinto (Jinja
Shinto)
|
Imam Syafi’i, Hanafi, Hambali, Maliki
|
Doktrin
|
Tidak
mengenal ajaran apapun
|
Surga, Neraka
|
BAB IV
PENUTUP
1.
Kesimpulan
1.
Agama shinto
timbul pada zaman Prasejarah dan siapa pembawanya tak dapat dikenal dengan
pasti. Nama asli agama itu ialah Kami no Michi yang bermakna jalan dewa. Pada
saat Jepang berbenturan dengan kebudayaan Tiongkok maka nama asli itu terdesak
kebelakang oleh nama baru, yaitu Shin-To. Nama baru itu perubahan bunyi dari
Tien-Tao, yang bermakna jalan langit.
2.
Konsep Tuhan dalam
kepercayaan Shinto adalah sangat sederhana yaitu : " Semua benda di dunia,
baik yang bernyawa ataupun tidak, pada hakikatnya memiliki roh, spirit atau
kekuatan jadi wajib dihormati" Sejak awal sebenarnya secara natural
manusia sudah menyadari bahwa mereka bukanlah mahluk kuat dan di luar mereka
ada kekuatan lain yang lebih superior yang langsung ataupun tidak langsung
berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Pengakuan, kekaguman,
ketakutan dan juga kerinduan pada Spirit atau "Kekuatan Besar" yang
disebut dengan nama Kami atau Kami Sama itu diwujudkan dalam bentuk tarian,
upacara dan festival budaya.
3.
Kitab Suci Agama Shinto adalah Kojiki,
Nihonji, Yengisiki, Manyoshiu.
4.
Aliran-aliran
dalam agama Shinto adalah Imperial Shinto (Kyūchū Shinto
atau Koshitsu Shinto), Folk
Shinto (Minzoku Shinto), Sect Shinto (Kyoha atau Shuha Shinto),
Shrine Shinto (Jinja Shinto).
5.
Doktrin-Doktrin
yang dikembangkan dalam agama shinto adalah:
a. Tidak mengenal ajaran apapun
b. Tidak mengenal ritual mengorbankan
binatang
c.
Shinto adalah
Pemuja Alam
6. Mengenai tata cara sembahyang atau doa dalam kuil Shinto sangat
sederhana yaitu melemparakan sekeping uang logam sebagai sumbangan di depan
altar, mencakupkan kedua tangan di dada dan selesai. Jadi semua proses berdoa
yang dilakukan dengan berdiri ini tidak lebih dari sepuluh detik. Doa dilakukan
tidak mengenal hari atau jam khusus jadi bebas dilakukan kapan saja.
Ritus-ritus
yang dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah untuk memuja dewi Matahari
(Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta
kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada
Bulan Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama.
7.
Beberapa
perayaan yang biasanya di peringati oleh pemeluk agama Shinto dan perayaan itu
diadakan untuk tujuan yang berkenaan dengan pusaka leluhur, pengudusan,
pengusiran roh jahat atau pertanian, puncak puncak perayaan diadakan pada tahun
baru, saat menanam padi pada musim semi dan pada saat panen pada musim gugur,
musim semi dan musim gugur adalah saat untuk menghormati leluhur dan
mengunjungi makamnya, selama perayaan kami sering diarak melewati jalan jalan
dalam tempat pemujaan yang bisa dibawa bawa untuk membuat setiap orang yakin
bahwa kami sedang mengunjungi masyarakat untuk memberikan perlindungan.
Matsuri
berasal dari kata matsuru (menyembah, memuja) yang berarti
pemujaan terhadap Kami atau ritual yang terkait. Dalam teologi agama Shinto
dikenal empat unsur dalam matsuri: penyucian (harai), persembahan,
pembacaan doa (norito), dan pesta makan. Matsuri yang paling tua yang
dikenal dalam mitologi Jepang adalah ritual yang dilakukan di depan Amano Iwato.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi,Abu . Perbandingan
Agama .Jakarta: PT. Rineka Cipta.
http://www.eonet.ne.jp/~limadaki/budaya/jepang/artikel/utama/agama_shinto.html. diakses pada 24 November 2011 pada jam
11.15
http://thoriqs.blogspot.com/2011/03/makalah-agama-shinto.html. diakses pada 24 November 2011 pada jam 11.30
http://id.wikipedia.org/wiki/Gion_Matsuri. diakses pada 24 November 2011 pada jam
11.15
http://id.wikipedia.org/wiki/Tenjinmatsuri. diakses pada 24 November 2011 pada jam
11.15
Keene, Michael . Agama-agama dunia. Jakarta: Kanisius.
Sou’yb Joesoef, Agama-agama Besar
di Dunia .Jakarta:Pustaka Al-Husna
Http://myquran.com/forum/showtread.php/10898/mengenal-agama-shinto-lebih-dekat.
Diakses pada 25 November 2011. Pada jam 15.45 WIB
[2] Joesoef Sou’yb, Agama-agama Besar di Dunia
(Jakarta:Pustaka AlHusna), hal.209
[3] Joesoef Sou’YB, Agama-agama Besar di Dunia (Jakarta:Pustaka AlHusna),
hal.210-211
[4] Http://myquran.com/forum/showtread.php/10898/mengenal-agama-shinto-lebih-dekat.
Diakses pada 25 November 2011. Pada jam 15.45 WIB
[5] http://www.eonet.ne.jp/~limadaki/budaya/jepang/artikel/utama/agama_shinto.html. diakses pada 24 november 2011 pada jam 11.15
[6] http://thoriqs.blogspot.com/2011/03/makalah-agama-shinto.html. diakses pada 24 november 2011 pada jam 11.30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar