BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis / suku bangsa
dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia
dihadapkan kepada perbedaan – perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari
kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Yang menjadi
perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan
antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama
ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya kita
sebut sebagai “pernikahan beda agama’
Pernikahan merupakan bagian dari
kemanusiaan seseorang, seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti
ini hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan
dengan orang yang beda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau
wanita Muslim dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang
berujung pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain,
persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat
yang majemuk.
Keadaan
masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan pergaulan di masyarakat semakin
luas dan beragam, hal ini telah mengakibatkan pergeseran nilai agama yang lebih
dinamis daripada yang terjadi pada masa lampau, seorang muslimin dan muslimat
sekarang ini lebih berani untuk memilih pendamping hidup non-muslim. Hal ini tentu saja dianggap oleh
masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam sebagai penyalahan atau
pergeseran nilai-nilai Islam yang ada. Tak jarang hal ini sering menimbulkan
gejolak dan reaksi keras di kalangan masyarakat kita. Masalah ini menimbulkan
perbedaan pendapat dari dua pihak pro dan kontra, masing-masing pihak memiliki
argumen rasional maupun argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka
masing-masing terhadap dalil-dalil Islam tentang pernikahan beda agama.
Salah
satu masalah yang menjadi sorotan dalam konflik-konflik yang timbul dalam
masyarakat sekarang ini ialah, dimana sering kita jumpai terjadinya
pelangsungan Pernikahan Beda Agama. Kalau kita mau meninjau lebih jauh mengenai
Negara
Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas dan terbentuk dari ribuan
pulau dari Sabang sampai Merauke.Dalam wilayah yang luas dan banyak terpisahkan
oleh lautan itu, hidup golongan-golongan masyarat yang berbeda latar belakang
satu sama lain.Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam tersebut,
baik dari segi budaya, suku, ras, agama, kontak antar satu golongan masyarakat
satu dengan yang lain sudah tentu tidak dapat dihindarkan. Kontak antar
masyarakat yang berbeda latar belakang ini pada kemudian hari menimbulkan
adanya suatu fenomena dalam masyarakt yaitu berupa perkawinan campuran.
Salah satu perkawinan campuran yang paling banyak mengundang perdebatan adalah perkawinan campuran antara pasangan yang memiliki agama yang berbeda. Masalahnya, dengan perkawinan beda agama akan terjadi suatu perbedaan prinsipil dalam perkawinan itu sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah yang rumit untuk diselesaikan di kemudian hari. Ole karena itu kemudian hal ini banyak mendapat tentangan dari masyarakat luas, tetapi juga oleh hukum positif di negara kita serta hukum agama yang mereka anut. Walau tidak dapat dipungkiri ada saja pihak yang pro terhadap keberadaan perkawinan beda agama ini.
Islam sendiri sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di Indonesia sebenarnya juga menentang keras mengenai keberadaan perkawinan antar agama di dalam masyarakat Indonesia saat ini. Sangat dilarang bagi umat Islam untuk menikahi pasangan yang non muslim. Larangan ini dapat kita jumpai dalam sumber-sumber hukum Islam yang menyebutkannya secara implisit maupun eksplisit.
Namun ada juga pertentangan dalam Islam sendiri mengenai penafsiran sumber-sumber hukum Islam tersebut yang menyangkut perkawinan beda agama. Ada mazhab yang memberikan sedikit kelonggaran dalam pelaksanaan perkawinan beda agama dengan kondisi-kondisi yang sudah ditentukan sebelumnya. Sementara mazhab yang lain secara tegas menentang segala bentuk perkawinan antara muslim dengan non-muslim.
Salah satu perkawinan campuran yang paling banyak mengundang perdebatan adalah perkawinan campuran antara pasangan yang memiliki agama yang berbeda. Masalahnya, dengan perkawinan beda agama akan terjadi suatu perbedaan prinsipil dalam perkawinan itu sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah yang rumit untuk diselesaikan di kemudian hari. Ole karena itu kemudian hal ini banyak mendapat tentangan dari masyarakat luas, tetapi juga oleh hukum positif di negara kita serta hukum agama yang mereka anut. Walau tidak dapat dipungkiri ada saja pihak yang pro terhadap keberadaan perkawinan beda agama ini.
Islam sendiri sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di Indonesia sebenarnya juga menentang keras mengenai keberadaan perkawinan antar agama di dalam masyarakat Indonesia saat ini. Sangat dilarang bagi umat Islam untuk menikahi pasangan yang non muslim. Larangan ini dapat kita jumpai dalam sumber-sumber hukum Islam yang menyebutkannya secara implisit maupun eksplisit.
Namun ada juga pertentangan dalam Islam sendiri mengenai penafsiran sumber-sumber hukum Islam tersebut yang menyangkut perkawinan beda agama. Ada mazhab yang memberikan sedikit kelonggaran dalam pelaksanaan perkawinan beda agama dengan kondisi-kondisi yang sudah ditentukan sebelumnya. Sementara mazhab yang lain secara tegas menentang segala bentuk perkawinan antara muslim dengan non-muslim.
Dengan
adanya berbagai perbedaan pandangan mengenai perkawinan beda agama ini, maka
tim penyusun makalah ini tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai
perkawinan beda agama di Indonesia, terutama dilihat dari perspektif hukum
Islam. Hal ini dikarenakan tidak dapat kita pungkiri, sebagian besar masyarakat
Indonesia menganut agama Islam sehingga sudah barang tentu hukum Islam
diperhitungkan sebagai salah satu sistem hukum yang banyak hidup di tengah
masyarakat Indonesia.Dengan begitu hukum Islam dapat menjadi salah satu tolak
ukur dalam menilai masalah perkawinan beda agama ini.[1]
1.2.
Rumusan Masalah
a. Bagaimana Konsep Dan Pengertian Pernikahan Beda
Agama?
b. Bagaimana Sumber-sumber Hukum Yang Mengatur Tentang Pernikahan
Beda Agama.
c. Bagaimana Pandangan Islam dan Masyarakat Terhadap
Pernikahan Beda Agama?
1.3.
Tujuan Masalah
a. Untuk Mendiskripsikan Konsep Dan Pengertian
Pernikahan Beda Agama.
b. Mengetahui Sumber-sumber Hukum Yang Mengatur Tentang
Pernikahan Beda.
c. Mengetahui Pandangan Islam dan Masyarakat Terhadap
Pernikahan Beda Agama.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Konsep dan Pengertian Pernikahan Beda Agama
Pernikahan
merupakan salah satu jenis ibadah dalam Islam. Setiap manusia yang telah
dewasa, dan sehat jasmani rohani pasti membutuhkan teman hidup. Teman hidup
yang dapat memenuhi kebutuhan biologisnya, yang dapat mencintai dan
dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang diajak bekerja sama
demi mewujudkan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup berumah
tangga.
Menurut
bahasa, nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah, nikah adalah
melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan serta menghalalkan hubungan tubuh antara
keduanya atas dasar sukarela dan persetujuan bersama demi mewujudkan keluarga
bahagia yang diridhai oleh Allah SWT.
Pernikahan
beda agama dapat diartikan sebagai perkawinan dua insan yang berbeda agama,
kepercayaan atau paham.[2]
Pernikahan
beda agama pada dasarnya berarti pernikahan yang dilang-sungkan antar pasangan
yang berbeda agama satu sama lain. Pernikahan bernuansa keragaman ini banyak
terjadi dan kita jumpai di dalam kehidupan bermasyarakat.. Pernikahan yang
dilakukan oleh mereka tidak lagi didasarkan pada satu akidah agama, melainkan
hanya pada cinta. Seolah cinta semata yang menjadi dasar suatu pernikahan.
Yang
dimaksud dengan pernikahan beda agama ialah suatu perkawinan yang dilakukan
oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara yang
satu dengan yang lainnya. Misalnya perkawinan antara seorang pria Muslim dengan
seorang wanita Protestan dan sebaliknya.[3]
Beberapa
karya yang membahas atau sekedar menyinggung perkawinan beda agama antara lain:
Hazairin dalam karyanya, tinjauan mengenai Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Ia
secara tegas menyatakan bahwa bagi orang islam tidak ada kemungkinan untuk
kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen
dan bagi orang hindu-Budha seperti yang dijumpai di Indonesia.[4]
Sedangkan
menurut Abdurrahman,SH perkawinan beda agama yaitu suatu perkawinan yang
dilakukan oleh orang-orang yang memluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu
dengan lainnya.[5]
Ada
2 jenis menikah beda agama:
- Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam
a.
Laki-laki
muslim menikah dengan wanita bukan ahli kitab
b.
Laki-laki
muslim menikah dengan wanita ahli kitab
Laki-laki muslim menikah dengan
perempuan bukan ahli kitab:
Perkawinan
pria muslim dengan wanita bukan ahli kitab, terbagi menjadi:
a. Perkawinan
dengan wanita musrik
Agama
Islam tidak memperkenankan pria muslim menikah dengan wanita musyrik,
sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
wur
(#qßsÅ3Zs?
ÏM»x.Îô³ßJø9$#
4Ó®Lym
£`ÏB÷sã
4 ×ptBV{ur
îpoYÏB÷sB
×öyz
`ÏiB
7px.Îô³B
öqs9ur
öNä3÷Gt6yfôãr&
3
Artinya: ”Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu.” (Al-Baqarah:221)
Nash
di atas dengan jelas melarang mengawini wanita musryik. Demikian juga pendapat
para ulama menegaskan demikian.[6]
b. Perkawinan
dengan majusi
Pria
muslim juga tidak diperbolehkan mengawini wanita majusi (penyembah api), sebab
mereka tidak termasuk ahli kitab. Demikian pendapat Jumhur ulama, dan yang
dimaksud ahli kitab adalah Yahudi dan Nashara.
Sedangkan
golongan Zhahiriyah memperbolehkan pria muslim kawin dengan wanita majusi
karena orang-orang majusi dimaksudkan kedalam kelompok ahli kitab.[7]
Abu
Tsaur juga memperbolehkan berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
سنوابهم
سنة أهل االكتاب
Artinya:”Tetapkanlah
bagi mereka jalan ahli kitab”.
Di
samping itu ada ulama lain yang memperbolehkannya, karena menurut yang
memperbolehkannya, karena menurut satu riwayat, bahwa Huzaifah juga pernah
kawin dengan wanita majusi. Demikian juga pada orang-orang majusi ditetapkan
Jizyah (pajak), sehingga keberadaan mereka sama dengan orang Yahudi dan
Nashara.
Dalam
persoalan ini, yang dipandang paling tepat adlah pendapat Jumhur ulama, yaitu
pria muslim tidak dibenarkan kawin dengan wanita majusi, sebab mereka tidak
termasuk ahli kitab, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:
br&
(#þqä9qà)s?
!$yJ¯RÎ)
tAÌRé&
Ü=»tGÅ3ø9$#
4n?tã
Èû÷ütGxÿͬ!$sÛ
`ÏB
$uZÎ=ö7s%
bÎ)ur
$¨Zä.
`tã
öNÍkÉJy#uÏ
úüÎ=Ïÿ»tós9
ÇÊÎÏÈ
Artinya: “(Kami
turunkan Al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: "Bahwa Kitab itu
Hanya diturunkan kepada dua golongan (Yahudi dan Nashara) saja sebelum kami,
dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.” (Q.S Al-An’am:
156).
Sekiranya
orang-orang majusi dianggap sebagai ahli kitab, maka dalam ayat tersebut
seharusnya disebut tiga golongan, bukan dua golongan.
Sedangkan
sabda Nabi diatas adalah sebagai bukti, bahwa mereka tidak memiliki kitab dan
maksud hadist tersebut hanya sebatas pemberian perlindungan terhadap darah
(keselamatan) mereka dan untuk membayar jizyah (pajak) bukan maksud lain.
Mengenai
riwayat Huzhaifah, dianggap kurang kuat (lemah), karena menurut riwayat Abu
Wail, Huzhaifah pernah kawin dengan wanita Yahudi. Begitu juga menurut Ibnu
Sirin, bahwa istrinya adalah orang Nasrani.[8]
c. Perkawinan
dengan wanita Shabiah
Shabiah
adalah satu golongan dalam agama Nasrani: Shabiah dinisbatkan kepada Shab paman
Nabi Nuh as. Ada pula yang berpendapat, dinamakan Shabiah, karena berpindah
dari satu agama ke agama lain.
Ibnu
Hamman mengatakan bahwa orang-orang shabiah adalah golongan yang memadukan
anatara agama Yahudi dan Nasrani. Mereka menyembah bintang-bintang. Dalam
berbagai buku hadist disebutkan, bahwa mereka termasuk golongan ahli kitab.
Ibnu
Qudamah berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang orang-orang Shabiah.
Menurut riwayat Ahmad, bahwa mereka adalah orang-orang Nasrani.” Tetapi
ditampat lain dia berkata:”pernah kudengar bahwa mereka adalah orang-orang yang
sangat mengagungkan hari Sabtu. Jadi mereka, termasuk orang-orang Yahudi?
Menurut
riwayat Umar, bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat mengagungkan hari
sabtu. Sedangkan Mujahid menganggap, mereka berada diantara agama Yahudi dan
Nasrani.
Imam
Syafi’i mengambil jalan tengah yaitu apabila mereka lebih mendekati keyakinan
mereka kepada salah satu agama (Yahudi dan Nasrani), maka orang tersebut
termasuk golongan agama itu. Bila tidak mendekati kedua agama itu, berarti
orang itu bukan ahli kitab.[9]
Dari
uraian diatas dapat dipahami, bahwa para ulama tetap berbeda pendapat, ada yang
mengatakan termasuk ahli kitab dan ada pula yang menyatakan tidak.
Dengan
demikian maka hukum perkawinan dengan wanita shabiah, juga berbeda pendapat.
Abu
Hanifah berpendapat boleh kawin dengan wanita shabiah. Sedang Abu Yusuf dan
Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, tidak memperbolehkannya, karena mereka
penyembah patung-patung dan bintang-bintang. Pendapat Mazhab Maliki juga
sejalan dengan pendapat ini.
Mazhab
Syafii dan Hambali juga membuat garis pembatas dalam permasalahan ini. Jika
mereka menyerupai orang-orang Yahudi atau Nasrani dalam prinsip-prinsip
agamanya, maka wanita shabiah itu boleh diyakini. Tetapi bila berbeda dalam
hal-hal prinsip, berarti mereka tidak termasuk golongan Yahudi atau Nasrani dan
berarti pula, bahwa wanita shabiah itu tidak boleh dikawini oleh pria muslim.
d. Perkawinan
dengan wanita penyembah berhala
Para
ulama telah sepakat, bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita
penyemabah berhala dan penyembah benda-benda lainnya, karena termasuk
orang-orang kafir. Sebagaimana firman Allah:
wur
(#qä3Å¡ôJè?
ÄN|ÁÏèÎ/
ÌÏù#uqs3ø9$#
.....
Artinya:”dan
janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir....” (Q.S Al-Muntahanah: 10)
Pada
ayat lain Allah berfirman:
wur
(#qßsÅ3Zs?
ÏM»x.Îô³ßJø9$#
4Ó®Lym
£`ÏB÷sã
Artinya: “Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.”(Q.S
Al-Baqarah:221)
Nash
diatas cukup jelas dan tegas tentang pengharaman mengawini wanita-wanita
penyemabah berhala.
Perkawinan
pria muslim dengan wanita ahli kitab
Para
ulama berbeda pendapat mengenai hukum pernikahan pria muslim dengan wanita ahli
kitab.[10]
1) Menurut
pendapat Jumhur Ulama baik hanafi, Maliki, Syafii maupun Hambali, seorang pria
muslim diperbolehkan kawin dengan ahli kitab yang berada dalam lindungan
(kekuasaan) negara Islam (ahli Dzimmah).
2) Golongan
Syiah Imamiyah dan Syiah Zaidiyah berpendapat, bahwa pria muslim tidak boleh
kawin dengan wanita ahli kitab.
Golongan
pertama (Jumhur ulama) mendasar pendapat mereka kepada beberapa dalil:
a) Firman
Allah yang berbunyi
tPöquø9$#
¨@Ïmé&
ãNä3s9
àM»t6Íh©Ü9$#
( ãP$yèsÛur
tûïÏ%©!$#
(#qè?ré&
|=»tGÅ3ø9$#
@@Ïm
ö/ä3©9
öNä3ãB$yèsÛur
@@Ïm
öNçl°;
( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur
z`ÏB
ÏM»oYÏB÷sßJø9$#
àM»oY|ÁósçRùQ$#ur
z`ÏB
tûïÏ%©!$#
(#qè?ré&
|=»tGÅ3ø9$#
`ÏB
öNä3Î=ö6s%
......
Artinya: “Pada hari Ini dihalalkan
bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab
itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi
Al Kitab sebelum kamu...”(Q.S Al-Maidah: 5)
b) Diantara
para sahabat ada pula yang kawin dengan ahli kitab, seperti Ustman bin Affan
mengawini Nailah binti al-Gharamidah seorang wanita beragama Nasrani, yang
kemudian masuk Islam. Demikian juga Hudzaifah mengawini wanita Yahudi dari
penduduk Madain.
c) Jabir
ra. pernah ditanya tentang perkawinan pria muslim dengan wanita Yahudi atau
Nasrani: Beliau menjawab:”Kamipun pernah menikah dengan mereka pada waktu
penaklukan Kuffah bersama-sama dengan Saad bin Abi Waqqash.
Golongan
kedua (Syiah), melandaskan pendapat pada beberapa dalil:[11]
a)
Firman Allah:
wur
(#qßsÅ3Zs?
ÏM»x.Îô³ßJø9$#
4Ó®Lym
£`ÏB÷sã
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.”(Q.S Al-Baqarah:221)
Golongan
ini berpendapat wanita-wanita ahli kitab termasuk kafir, karena wanita-wanita
ahli kitab itu telah musrik (menyekutukan Allah) berdasarkan riwayat Ibnu Umar,
bahwa beliau pernah ditanya tentang hukum mengawini wanita Yahudi atau Nasrani.
Beliau menjawab:”Sesungguhnya Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi
orang-ornag mukmin, saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari
pada anggapan seorang wanitan (Nasrani), bahwa Tuhannya adalah Isa. Padahal Isa
hanya seorang manusia dan hamba Allah.
1)
Firman Allah:
wur
(#qä3Å¡ôJè?
ÄN|ÁÏèÎ/
ÌÏù#uqs3ø9$#
.....
Artinya:”dan janganlah kamu tetap
berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir....” (Q.S
Al-Muntahanah: 10)
Sebagaimana
telah dikemukakan diatas, mereka berpendapat, ahli kitab itu termasuk
orang-orang kafir. Dengan demikian hukunnya tetap diharamkan, tidak boleh kawin.
Kalau
kita perhatikan pendapat Syiah (Imamiyah dan Zaidiyah), maka mereka menganggap,
bahwa ahli kitab itu musyrik. Akan tetapi didalam AlQuran sendiri dinyatakan
bahwa antara ahli kitab dan musyrik itu tidak sama, sebagaimana firman Allah:
¨bÎ)
tûïÏ%©!$#
(#rãxÿx.
ô`ÏB
È@÷dr&
É=»tGÅ3ø9$#
tûüÏ.Îô³ßJø9$#ur
Îû
Í$tR
zO¨Yygy_
tûïÏ$Î#»yz
!$pkÏù
4 y7Í´¯»s9'ré&
öNèd
°
ÏpÎy9ø9$#
ÇÏÈ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang
kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam;
mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”. (Q.S
Al-Bayyinah: 6).
Dalam
ayat diatas cukup jelas, bahwa ahli kitab dan musyrik itun berbeda.
Kemudian
dikalangan Jumhur Ulama yang membolehkan kawin dengan ahli kitab juga berbeda
pendapat.[12]
1)
Sebagian mazhab hanafi, Syafii, Maliki
dan Hambali mengatakan bahwa hukum perkawinan itu makruh.
2)
Menurut pendapat sebagian mazhab Maliki,
Ibnul Qosim, Khalil bahwa perkawinan itu diperbolehkan secara mutlak dan ini
merupakan pendapat Malik.
3)
Az-Zarkasyi (Mazhab Syafii) mengatakan
bahwa pernikahan itu disunatkan, apabila wanita ahli kitab kitab itu diharapkan
dapat masuk Islam. Sebagai contohnya adalah perkawinan Usman bin Affan dengan
Nailah, sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini. Sebagian mazhab Syafii pun
ada yang berpendapat demikian.
2. Perempuan
muslim menikah dengan laki-laki non muslim dan ahli kitab
Hukum mengenai perempuan beragama
Islam menikah dengan laki-laki non-Islam adalah jelas-jelas dilarang (haram).
Dalil yg digunakan untuk larangan menikahnya muslimah dengan laki-laki non
Islam adalah Surat Al Baqarah(2):221,“Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.”
Jadi,
wanita musliman dilarang atau diharamkan menikah dengan non muslim, apapun
alasannya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Alquran di atas. Bisa dikatakan, jika seorang muslimah
memaksakan dirinya menikah dengan laki-laki non Islam, maka akan dianggap
berzina.
2.2.Sumber-sumber
Hukum Yang Mengatur tentang Pernikahan Beda Agama.
1.
Al-Qur’an
Adapun dalam Al-Qur’an, setidaknya ada tiga ayat yang menegaskan haramnya
beda agama.
Syahnya perkawinan menurut Hukum Islam harus memenuhi rukun-rukun dan
syarat-syarat sebagai berikut :
a. Syarat
Umum, artinya tidak bertentangan dengan larangan-larangan yang termaktub dalam
ketentuan Q.S Al-Baqoroh (2): 221 yaitu larangan perkawinan karena perbedaan
agama dengan pengecualiannya Q.S Al-Maidah (5): 5, yaitu khusus bagi laki-laki
Islam boleh mengawini perempuan ahli kitab, seperti Yahudi dan Nashrani. Dan
tidak bertentangan dengan larangan-larangan dalam Q.S An-Nisa’ (4): 22, 23, dan
24.
Surat Al-Baqarah (2)
Ayat 221:
wur
(#qßsÅ3Zs?
ÏM»x.Îô³ßJø9$#
4Ó®Lym
£`ÏB÷sã
4 ×ptBV{ur
îpoYÏB÷sB
×öyz
`ÏiB
7px.Îô³B
öqs9ur
öNä3÷Gt6yfôãr&
3 wur
(#qßsÅ3Zè?
tûüÏ.Îô³ßJø9$#
4Ó®Lym
(#qãZÏB÷sã
4 Óö7yès9ur
í`ÏB÷sB
×öyz
`ÏiB
78Îô³B
öqs9ur
öNä3t6yfôãr&
3 y7Í´¯»s9'ré&
tbqããôt
n<Î)
Í$¨Z9$#
( ª!$#ur
(#þqããôt
n<Î)
Ïp¨Yyfø9$#
ÍotÏÿøóyJø9$#ur
¾ÏmÏRøÎ*Î/
( ßûÎiüt7ãur
¾ÏmÏG»t#uä
Ĩ$¨Y=Ï9
öNßg¯=yès9
tbrã©.xtGt
ÇËËÊÈ
“dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun
Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
Surat
Al-Ma’idah (5) Ayat 5:
tPöquø9$# ¨@Ïmé&
ãNä3s9
àM»t6Íh©Ü9$#
( ãP$yèsÛur
tûïÏ%©!$#
(#qè?ré&
|=»tGÅ3ø9$#
@@Ïm
ö/ä3©9
öNä3ãB$yèsÛur
@@Ïm
öNçl°;
( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur
z`ÏB
ÏM»oYÏB÷sßJø9$#
àM»oY|ÁósçRùQ$#ur
z`ÏB
tûïÏ%©!$#
(#qè?ré&
|=»tGÅ3ø9$#
`ÏB
öNä3Î=ö6s%
!#sÎ)
£`èdqßJçF÷s?#uä
£`èduqã_é&
tûüÏYÅÁøtèC
uöxî
tûüÅsÏÿ»|¡ãB
wur
üÉÏGãB
5b#y÷{r&
3 `tBur
öàÿõ3t
Ç`»uKM}$$Î/
ôs)sù
xÝÎ6ym
¼ã&é#yJtã
uqèdur
Îû
ÍotÅzFy$#
z`ÏB
z`ÎÅ£»sø:$#
ÇÎÈ
“Pada
hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari
kiamat Termasuk orang-orang merugi”.
b. Syarat Khusus, adanya calon pengantin
laki-laki dan calon pengantin permpuan, dan harus beragama Islam, Aqil baligh
(dewasa dan berakal), sehat baik jasmani maupun rohani.
c. Harus
ada persetujuan bebas antara kedua calon pengantin, artinya perkawinan tidak
boleh dilaksanakan dengan paksaan.
d. Harus
ada wali nikah
e. Harus
ada dua orang saksi, dengan syarat beragam Islam, Dewasa dan adil.
f. Mahar
(mas kawin).
g. Pernyataan
ijab qobul.[13]
2.
Hadits
Hadits Jabir
bahwa Nabi bersabda:
نَتَزَوَّجُ نِسَاءَ
أَهْلِ الْكِتَابِ وَلاَ يَتَزَوُّجُوْنَ نِسَائَنَا
Artinya: “Kita boleh menikah dengan wanita ahli kitab, tetapi mereka tidak boleh
nikah dengan wanita kita”.[14]
Ibnu Jarir berkata dalam Tafsirnya 4/367: “Sanad hadits ini sekalipun ada
pembicaraan, namun kebenaran isinya merupakan ijma’ umat”. Dan dinukil
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 1/587.
3.
Ijma’
Selama berabad-abad lamanya, Umat Islam menjalankan agamanya dengan
tenang dan tentram, termasuk dalam masalah ini, tidak ada satupun ulama yang
membolehkan nikah beda agama, tetapi anehnya tiba-tiba sebagian kalangan
mencoba untuk meresahkan umat dan menggugat hukum ini. Di atas, telah kami
kemukakan sebagian nukilan ijma’ dari ahli tafsir, kini akan
kami tambahkan lagi penukilan ijma’ tersebut:
1.
Ibnul Jazzi mengatakan: “Laki-laki non
Muslim haram menikahi wanita muslimah secara mutlak. Ketentuan ini disepakati
seluruh ahli hukum Islam”.[15]
2.
Ibnul Mundzir berkata: “Seluruh ahli
hukum Islam sepekat tentang haramnya pernikahan wanita muslimah dengan
laki-laki beragama Yahudi atau Nasrani atau lainnya”.[16]
3.
Ibnu Abdil Barr berkata: “Ulama telah
ijma’ bahwa muslimah tidak halal menjadi istri orang kafir”.[17]
Sebenarnya, masih banyak lagi ucapan ulama ahli fiqih dan ahli hadits
tentang masalah ini. Lantas masihkah ada keraguan tentang kesesatan orang yang
menyeleisihinya?!!
4. Kaidah Fiqih
Dalam kaidah
fiqih disebutkan:
الأَصْلُ فِي الأَبْضَاعِ التَّحَرِيْمُ
Artinya: “Pada dasarnya dalam masalah farji (kemaluan)
itu hukumnya haram.”
Karenanya, apabila dalam masalah farji wanita terdapat dua hukum
(perbedaan pendapat), antara halal dan haram, maka yang dimenangkan adalah hukum
yang mengharamkan.[18]
FATWA MUI[19]
Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam
Musyawarah Nasional MUI VII pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005 M
setelah menimbang:
1. Belakangan ini disinyalir banyak
terjadi perkawinan beda agama
2. Perkawinan beda agama bukan saja
mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, tetapi sering mengundang
keresahan di tengah-tengah masyarakat
3. Di tengah-tengah masyarakat telah
muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi
dan kemaslahatan
Dan memperhatikan:
1. Keputusan fatwa MUI dalam Munas II
tahun 1400/1980 tentang perkawinan campuran
2. Pendapat Sidang Komisi C bidang
fatwa pada Munas VII MUI 2005
Dengan bertawakkal kepada Allah
memutuskan dan menetapkan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak
sah.
Di
samping itu ada keputusan Musyawarah Nasional ke II Majlis Ulama Indonesia No.
05/Kep/Munas II/MUI/1980 tanggal 1 juni 1980 tentang Fatwa, yang menetapkan
pada angka 2 perkawinan Antar Agama Umat Beragama, bahwa: (O.S, Eoh, Op.Cit. ,
h. 133).
1.
Perkawinan wanita muslimah dengan
laki-laki non muslimah adalah haram hukumya.
2.
Seorang laki-laki muslimah diharamkan
mengawini wanita bukan muslimah. Tentang perkawinan atara laki-laki muslimah
dengan wanita Ahli Kitab terdapat perbedaan pendapat.
Setelah
mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya, maka MUI
memfatwakan perkawinan tersebut haram kukumnya. Dengan adanya farwa ini maka
Majelis Ulama Indonesia mengharapkan agar seorang pria Islam tidak boleh kawin
dengan wanita non Iskam kareka haram hukumnya.
Selanjutnya
Dr. Qurais Shihab, dengan lantang mengatakan, pernikahan ini tidak sah, baik
menirut agama maupun menurut negara.
Pendapat
ini di kuatkan oleh Dr. Muardi Khatib, salah seorang tokoh majelis tarjih
Muhammadiyah yang berpendapat bahwa persoalan ini jelas di dalam Alquran surat
al-Baqarah ayat 221, disana dijelaskan sercara tegas bahwa seorang wanita Muslim
Haram hukumnya menikah dengan laki-laki non Muslim -dan sebaliknya laki-laki
Muslim haram menikahi wanita non Muslim, “ini sudah menjadi konsensus ulama,”
tambahnya, “Kensekwensinya pernikahan ini harus dibatalkan”. Pendapat senada
juga disampaikan K.H. Ibrahim Hosen yang mengatakan, menurut mazhad Syafi’I,
setelah turunnya al-Quran orang Yahudi dan Nasrani tidak lagi disebut ahll
kitab. (Media Dakwah, Desember 1996, h. 31).
2.3.Pandangan
Islam dan Hukum Indonesia Terhadap Pernikahan Beda Agama.
1. Pandangan
Agama Islam
Pertama,
Pandangan
Agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak
memperkenankannya. Dalam Alquran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang
Islam dengan orang musrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi :
wur
(#qßsÅ3Zs?
ÏM»x.Îô³ßJø9$#
4Ó®Lym
£`ÏB÷sã
4 ×ptBV{ur
îpoYÏB÷sB
×öyz
`ÏiB
7px.Îô³B
öqs9ur
öNä3÷Gt6yfôãr&
3 wur
(#qßsÅ3Zè?
tûüÏ.Îô³ßJø9$#
4Ó®Lym
(#qãZÏB÷sã
4 Óö7yès9ur
í`ÏB÷sB
×öyz
`ÏiB
78Îô³B
öqs9ur
öNä3t6yfôãr&
“Janganlah kamu
nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguh nya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walupun dia menarik hati. Dan
janganlah kamu menikahkah orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221)
Larangan
perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun
wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang yang tidak beragama
Islam. (O.S. Eoh, 1996 : 117)
Kedua,
QS al-Mumtahanah (60): 10 yang mengaskan ketidakhalalan wanita Muslim bagi laki-laki kafir dan
sebaliknya, Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ
اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا
تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ
وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar
yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu
bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah
mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya
di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Al-Mumtahanah: 10)
Ketiga, Q.S al-Maidah (5): 5 yang membolehkan laki-laki
Muslim menikahi wanita Ahli Kitab. Allah berfirman :
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB wur üÉÏGãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3t Ç`»uKM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ÎÅ£»sø:$# ÇÎÈ
“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa
yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah
amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi”.
Dari tiga ayat yang sama-sama dijadikan sebagai
rujukan dalam merumuskan hukum perkawinan beda agama, ternyata ulama’ memiliki
pendapat yang berbeda-beda. Untuk laki-laki Muslim mempunyai ketentuan
tersendiri yang berbeda dengan wanita Muslim. Agar lebih jelas pemahamannya,
maka akan dibahas perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim,
perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Musyrik, dan perkawinan laki-laki
Muslim dengan wanita Ahli Kitab.
Perkawinan Wanita Muslim Dengan Laki-Laki non-Muslim
Islam melarang perkawinan wanita Muslim dengan
laki-laki non-Muslim, baik laki-laki ahli kitab, musyrik, atau atheis, dengan
pertibangan keselamatan agamannya tanggal karena pengaruh suaminya.[20]
Tidak halal bagi wanita Muslim kawin dengan laki-laki
non-Muslim, baik pengikut faham komunis. Hindu atau yang lainnya atau dari ahli
kitab. Sebab laki-laki punya hak tanggung jawab mengurusi isterinya, dan ia
harus taat pada suaminya, maka tidaklah benar seorang kafir atau musyrik
menguasai seorang perempuan yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah Muhammadur
Rasulullah (tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad itu utusan Allah),
Allah berfirman dalam Q.S an-Nisa’ (4): 141, bahwa “Allah benar-benar tidak
akan member izin kepada orang-orang kafir menguasai orang-orang beriman.[21]
Umar r.a menyatakan bahwa “tidak halal bagi
laki-laki non-muslim menikahi wanita muslimah selama si laki-laki tetap belum
masuk islam”. Sikap Sayyidina Umar Khattab yang tegas itu didasarkan pada
al-Qur’an surat al-Mumtahananh (60) ayat 10.[22]
Ulama berpendapat bahwa al-Qur’an melarang wanita
Muslim menikah dengan laki-laki non-Muslim, baik dari kalangan musyrik maupun
Ahli Kitab, bahkan ibnu Hamz menyatakan haram secara muthlak.[23]
Jadi wanita Muslim hanya diperbolehkan menikah
dengan laki-laki Muslim. “menurut mayoritas ulam, larangan pernikahan ini
didasarkan pada al-Qur’an, as-sunnah dan ijma. Menurut At-Tabari, wanita Muslim
haram hukumnya untuk menikah atau dinikahkan dengan laki-laki musyrik, apapun
jenis kemusyrikannya. At-Tabari mengutip pemahaman terhadap ayat itu dengan
mengatakan: “kamu tidak boleh menikahkan (wanita beriman) dengan laki-laki
Yahudi atau Kristen dan orang musyrik yang tidak seagama dengan denganmu”.[24]
Pernikahan seperti in dilarang karena dikhawatirkan
wanita Muslim akan terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan yang berlainan
agama dengannya. Allah menjelaskan dalam firmannya: “mereka ngajak ke neraka”,
yakni maengajak kepada kekufuran yang akan menjadi sebab asuk ke neraka. Hal
ini disebabkan karean sorang laki-laki memiliki kekuasaan dan wewenang atas
isterinya. Dengan demikian wanita tidak memiliki kebebasan dalam rumah
tangganya, termasuk kebebasan beragama dan mendidik anak-anaknya. Oleh karena
itu pernikahan antara wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim akan
membahayakan agamanya.[25]
Amir Syarifuddin mengatakan, jika alasan larangan
menikah antara wanita Muslim dengan laki-laki Ahli Kitab dikarenakan
wanita tidak memiliki kebebasan dalam rumah tangganya, karena ia dalam posisi
dipimpin dan harus taat kepada suami, maka bagaiman jika kedudukan wanita dalam
rumah tangga setara atau sederajat dengan suami.[26]
Adapun dalil yang menjadi dasar hokum untuk larangan
kawin antara wanita muslimah dengan pria non muslim, ialah:
a. Firman
allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221:
b. Ijma’
para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan pria non
muslim.
2. Pandangan
Hukum Indonesia
·
UU Perkawinan no. 1/1974 pasal 2 ayat 1
dan pasal (f) berbunyi: “mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain yang berlaku, dilarang kawin”.
·
Pasal 2 ayat 1 UUP berbunyi: “perkawinan
adalah syah apabila dilakukan dengan hokum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Yang dimaksud dengan
pernikahan beda agama ialah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang
yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara yang satu dengan yang
lainnya. Misalnya perkawinan antara seorang pria Muslim dengan seorang wanita
Protestan dan sebaliknya.[27]
Ada 2 jenis menikah beda agama:
- Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam
2. Perempuan
muslim menikah dengan laki-laki non muslim dan ahli kitab
Sumber-sumber Hukum
Yang Mengatur tentang Pernikahan Beda Agama.
1.
Al-Qur’an
2.
Hadits
3.
Ijma’
4.
Kaidah fiqih
5.
Fatwa MUI
Pandangan
Islam dan Masyarakat Terhadap Pernikahan Beda Agama.
1.
Pandangan Agama Islam
Pandangan Agama
Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak memperkenankannya.
Dalam Alquran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang
musrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi :
wur
(#qßsÅ3Zs?
ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur
îpoYÏB÷sB
×öyz
`ÏiB
7px.Îô³B
öqs9ur
öNä3÷Gt6yfôãr&
3 wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$#
4Ó®Lym
(#qãZÏB÷sã 4 Óö7yès9ur
í`ÏB÷sB
×öyz
`ÏiB
78Îô³B
öqs9ur
öNä3t6yfôãr&
2.
Pandangan Hukum Indonesia
·
UU Perkawinan no. 1/1974 pasal 2 ayat 1
dan pasal (f) berbunyi: “mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain yang berlaku, dilarang kawin”.
·
Pasal 2 ayat 1 UUP berbunyi: “perkawinan
adalah syah apabila dilakukan dengan hokum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”.
3.2 Saran
Untuk
kesempurnaan makalah ini, penulis membutuhkan saran dan masukan. Semoga apa
yang telah kami sajikan bisa bermanfaat untuk seluruh masyarakat umum khususnya
untuk para penulis sendiri.
Daftar Pustaka
Abdurrachman dan Riduan Syahrani, Masalah-Masalah
Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni, Bandung, 1978
Abdurrahman I Doi, Perkawinan Dalam
Syari’at Islam, Rineka Cipta, Jakarta 1992.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan
Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000
Ali, M, Hasan. Masail Fiqhiyah 1997
.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Hasan, Ali, M. Berumah Tangga
Dalam Islam. 2006. Jakarta: Siraja Prenada media Group
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh
Wanita Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta, 191
[1] http://raja1987.blogspot.com/2008/08/kajian-perkawinan-beda-agama-menurut.html.
di akses pada tanggal: 14102011
[2] Drs. H. Mahjuddin, M. Pd. I. Masail fiqhiyah
Berbagai Ksusu Yang Dihadapi “Hukum Islam” Masa Kini (Jakarta: Kalam Mulia,
2003). Hlm, 39
[3] Abdurrachman dan Riduan
Syahrani, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni Bandung,
1978, hal. 20
[4] Hazain, Tinjauan Mengenai
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Tintamas, Jakarta, 1986, hal. 2
[5] ibid
[6] M. Ali Hasan. Masail Fiqhiyah.(Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada. 1997) hlm 8
[7] Ibid, hlm 8
[8] M Ali Hasan. Berumah Tangga
Dalam Islam. (Jakarta: Siraja Prenada Media Group: 2006) hlm 240
[9] Ibid, hlm 241
[10] Ibid, hlm 243
[11] Ibid, hlm 245
[12] Ibid, hlm 247
[13] Ibid,. hal.50-53
[14] Hal ini pernah ditanyakan oleh
seorang Nashroni kepada salah seorang ulama muslim: “Kenapa kalian membolehkan
pria muslim menikah dengan wanita kami, tetapi melarang kami menikahi wanita
kalian?!”. Alim tersebut menjwab: “Karena kami beriman dengan Nabi kalian,
tetapi kalian tidak beriman dengan Nabi kami (Nabi Muhammad)!!”. (Lihat Syarh
Ushul Min Ilmi Ushul, Ibnu Utsaimin hlm. 527-528).
[15] Qowaninul Ahkam hlm.
29.
[16] Lihat Al-Mughni 6/634.
[17] Lihat Al-Ijma’ hlm.
250.
[18] Al-Asybah wa Nazhoir,
as-Suyuthi hlm. 84.
[20] Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit.,
hal 16
[21] Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh
Wanita Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1991, hal. 26-27
[22] Lihat Adian Husaini, Anggota
Komisi Kerukunan Beragama Mejelis Ulama’ Indonesia, Dalam nyeleneh, promosi
Kawin Antar Agama Itu, 21 Juli 2002, hal. 2
[23] Lihat Liza Suci Amalia dalam
tesisnya, Ibnu Hazm, Al-Mushalla Bi Al-Asar, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,
Beirut, Xi, 1988, hal. 125
[24] Lihat Liza Suci Amalia dalam
tesisnya, Ibnu Jarir At-Tabari, jami’ al-bayan fi ta’wil al-Qur’an, Dar
al-Kutub al-Ilmiyah,t.t, Beirut, II: hal. 223
[25] Lihat Liza dalam tesisnya,
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, al-Ma’arif, Bandung, 1987, hal. 94
[26]
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam,
Angkasa Raya, Padang, 1993, hal. 83
[27] Abdurrachman dan Riduan
Syahrani, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni Bandung,
1978, hal. 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar