PESAN SINGKAT

Rabu, 14 Desember 2011

Nikah Lintas Agama


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis / suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan – perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya kita sebut sebagai “pernikahan beda agama’
Pernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang, seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti ini hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk.
Keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan pergaulan di masyarakat semakin luas dan beragam, hal ini telah mengakibatkan pergeseran nilai agama yang lebih dinamis daripada yang terjadi pada masa lampau, seorang muslimin dan muslimat sekarang ini lebih berani untuk memilih pendamping hidup non-muslim. Hal ini tentu saja dianggap oleh masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam sebagai penyalahan atau pergeseran nilai-nilai Islam yang ada. Tak jarang hal ini sering menimbulkan gejolak dan reaksi keras di kalangan masyarakat kita. Masalah ini menimbulkan perbedaan pendapat dari dua pihak pro dan kontra, masing-masing pihak memiliki argumen rasional maupun argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka masing-masing terhadap dalil-dalil Islam tentang pernikahan beda agama.
Salah satu masalah yang menjadi sorotan dalam konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat sekarang ini ialah, dimana sering kita jumpai terjadinya pelangsungan Pernikahan Beda Agama. Kalau kita mau meninjau lebih jauh mengenai
Negara Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas dan terbentuk dari ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke.Dalam wilayah yang luas dan banyak terpisahkan oleh lautan itu, hidup golongan-golongan masyarat yang berbeda latar belakang satu sama lain.Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam tersebut, baik dari segi budaya, suku, ras, agama, kontak antar satu golongan masyarakat satu dengan yang lain sudah tentu tidak dapat dihindarkan. Kontak antar masyarakat yang berbeda latar belakang ini pada kemudian hari menimbulkan adanya suatu fenomena dalam masyarakt yaitu berupa perkawinan campuran.
Salah satu perkawinan campuran yang paling banyak mengundang perdebatan adalah perkawinan campuran antara pasangan yang memiliki agama yang berbeda. Masalahnya, dengan perkawinan beda agama akan terjadi suatu perbedaan prinsipil dalam perkawinan itu sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah yang rumit untuk diselesaikan di kemudian hari. Ole karena itu kemudian hal ini banyak mendapat tentangan dari masyarakat luas, tetapi juga oleh hukum positif di negara kita serta hukum agama yang mereka anut. Walau tidak dapat dipungkiri ada saja pihak yang pro terhadap keberadaan perkawinan beda agama ini.
Islam sendiri sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di Indonesia sebenarnya juga menentang keras mengenai keberadaan perkawinan antar agama di dalam masyarakat Indonesia saat ini. Sangat dilarang bagi umat Islam untuk menikahi pasangan yang non muslim. Larangan ini dapat kita jumpai dalam sumber-sumber hukum Islam yang menyebutkannya secara implisit maupun eksplisit.
Namun ada juga pertentangan dalam Islam sendiri mengenai penafsiran sumber-sumber hukum Islam tersebut yang menyangkut perkawinan beda agama. Ada mazhab yang memberikan sedikit kelonggaran dalam pelaksanaan perkawinan beda agama dengan kondisi-kondisi yang sudah ditentukan sebelumnya. Sementara mazhab yang lain secara tegas menentang segala bentuk perkawinan antara muslim dengan non-muslim.
Dengan adanya berbagai perbedaan pandangan mengenai perkawinan beda agama ini, maka tim penyusun makalah ini tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai perkawinan beda agama di Indonesia, terutama dilihat dari perspektif hukum Islam. Hal ini dikarenakan tidak dapat kita pungkiri, sebagian besar masyarakat Indonesia menganut agama Islam sehingga sudah barang tentu hukum Islam diperhitungkan sebagai salah satu sistem hukum yang banyak hidup di tengah masyarakat Indonesia.Dengan begitu hukum Islam dapat menjadi salah satu tolak ukur dalam menilai masalah perkawinan beda agama ini.[1]







1.2. Rumusan Masalah
a.       Bagaimana Konsep Dan Pengertian Pernikahan Beda Agama?
b.      Bagaimana Sumber-sumber Hukum Yang Mengatur Tentang Pernikahan Beda Agama.
c.       Bagaimana Pandangan Islam dan Masyarakat Terhadap Pernikahan Beda Agama?
1.3. Tujuan Masalah
a.       Untuk Mendiskripsikan Konsep Dan Pengertian Pernikahan Beda Agama.
b.      Mengetahui Sumber-sumber Hukum Yang Mengatur Tentang Pernikahan Beda.
c.       Mengetahui Pandangan Islam dan Masyarakat Terhadap Pernikahan Beda Agama.











BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsep dan Pengertian Pernikahan Beda Agama
Pernikahan merupakan salah satu jenis ibadah dalam Islam. Setiap manusia yang telah dewasa, dan sehat jasmani rohani pasti membutuhkan teman hidup. Teman hidup yang dapat memenuhi  kebutuhan biologisnya, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang diajak bekerja sama demi mewujudkan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Menurut bahasa, nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah, nikah adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan serta menghalalkan hubungan tubuh antara keduanya atas dasar sukarela dan persetujuan bersama demi mewujudkan keluarga bahagia yang diridhai oleh Allah SWT.
Pernikahan beda agama dapat diartikan sebagai perkawinan dua insan yang berbeda agama, kepercayaan atau paham.[2]
Pernikahan beda agama pada dasarnya berarti pernikahan yang dilang-sungkan antar pasangan yang berbeda agama satu sama lain. Pernikahan bernuansa keragaman ini banyak terjadi dan kita jumpai di dalam kehidupan bermasyarakat.. Pernikahan yang dilakukan oleh mereka tidak lagi didasarkan pada satu akidah agama, melainkan hanya pada cinta. Seolah cinta semata yang menjadi dasar suatu pernikahan.
Yang dimaksud dengan pernikahan beda agama ialah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Misalnya perkawinan antara seorang pria Muslim dengan seorang wanita Protestan dan sebaliknya.[3]
Beberapa karya yang membahas atau sekedar menyinggung perkawinan beda agama antara lain: Hazairin dalam karyanya, tinjauan mengenai Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Ia secara tegas menyatakan bahwa bagi orang islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang hindu-Budha seperti yang dijumpai di Indonesia.[4]
Sedangkan menurut Abdurrahman,SH perkawinan beda agama yaitu suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan lainnya.[5]
Ada 2 jenis menikah beda agama:
  1. Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam
a.       Laki-laki muslim menikah dengan wanita bukan ahli kitab
b.      Laki-laki muslim menikah dengan wanita ahli kitab
Laki-laki muslim menikah dengan perempuan bukan ahli kitab:
Perkawinan pria muslim dengan wanita bukan ahli kitab, terbagi menjadi:
a.       Perkawinan dengan wanita musrik
Agama Islam tidak memperkenankan pria muslim menikah dengan wanita musyrik, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3

Artinya: ”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (Al-Baqarah:221)

Nash di atas dengan jelas melarang mengawini wanita musryik. Demikian juga pendapat para ulama menegaskan demikian.[6]
b.      Perkawinan dengan majusi
Pria muslim juga tidak diperbolehkan mengawini wanita majusi (penyembah api), sebab mereka tidak termasuk ahli kitab. Demikian pendapat Jumhur ulama, dan yang dimaksud ahli kitab adalah Yahudi dan Nashara.
Sedangkan golongan Zhahiriyah memperbolehkan pria muslim kawin dengan wanita majusi karena orang-orang majusi dimaksudkan kedalam kelompok ahli kitab.[7]
Abu Tsaur juga memperbolehkan berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
سنوابهم سنة أهل االكتاب
Artinya:”Tetapkanlah bagi mereka jalan ahli kitab”.

Di samping itu ada ulama lain yang memperbolehkannya, karena menurut yang memperbolehkannya, karena menurut satu riwayat, bahwa Huzaifah juga pernah kawin dengan wanita majusi. Demikian juga pada orang-orang majusi ditetapkan Jizyah (pajak), sehingga keberadaan mereka sama dengan orang Yahudi dan Nashara.
Dalam persoalan ini, yang dipandang paling tepat adlah pendapat Jumhur ulama, yaitu pria muslim tidak dibenarkan kawin dengan wanita majusi, sebab mereka tidak termasuk ahli kitab, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:
br& (#þqä9qà)s? !$yJ¯RÎ) tAÌRé& Ü=»tGÅ3ø9$# 4n?tã Èû÷ütGxÿͬ!$sÛ `ÏB $uZÎ=ö7s% bÎ)ur $¨Zä. `tã öNÍkÉJy#uÏŠ šúüÎ=Ïÿ»tós9 ÇÊÎÏÈ
Artinya: “(Kami turunkan Al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: "Bahwa Kitab itu Hanya diturunkan kepada dua golongan (Yahudi dan Nashara) saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.” (Q.S Al-An’am: 156).

Sekiranya orang-orang majusi dianggap sebagai ahli kitab, maka dalam ayat tersebut seharusnya disebut tiga golongan, bukan dua golongan.
Sedangkan sabda Nabi diatas adalah sebagai bukti, bahwa mereka tidak memiliki kitab dan maksud hadist tersebut hanya sebatas pemberian perlindungan terhadap darah (keselamatan) mereka dan untuk membayar jizyah (pajak) bukan maksud lain.
Mengenai riwayat Huzhaifah, dianggap kurang kuat (lemah), karena menurut riwayat Abu Wail, Huzhaifah pernah kawin dengan wanita Yahudi. Begitu juga menurut Ibnu Sirin, bahwa istrinya adalah orang Nasrani.[8]
c.       Perkawinan dengan wanita Shabiah
Shabiah adalah satu golongan dalam agama Nasrani: Shabiah dinisbatkan kepada Shab paman Nabi Nuh as. Ada pula yang berpendapat, dinamakan Shabiah, karena berpindah dari satu agama ke agama lain.
Ibnu Hamman mengatakan bahwa orang-orang shabiah adalah golongan yang memadukan anatara agama Yahudi dan Nasrani. Mereka menyembah bintang-bintang. Dalam berbagai buku hadist disebutkan, bahwa mereka termasuk golongan ahli kitab.
Ibnu Qudamah berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang orang-orang Shabiah. Menurut riwayat Ahmad, bahwa mereka adalah orang-orang Nasrani.” Tetapi ditampat lain dia berkata:”pernah kudengar bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat mengagungkan hari Sabtu. Jadi mereka, termasuk orang-orang Yahudi?
Menurut riwayat Umar, bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat mengagungkan hari sabtu. Sedangkan Mujahid menganggap, mereka berada diantara agama Yahudi dan Nasrani.
Imam Syafi’i mengambil jalan tengah yaitu apabila mereka lebih mendekati keyakinan mereka kepada salah satu agama (Yahudi dan Nasrani), maka orang tersebut termasuk golongan agama itu. Bila tidak mendekati kedua agama itu, berarti orang itu bukan ahli kitab.[9]
Dari uraian diatas dapat dipahami, bahwa para ulama tetap berbeda pendapat, ada yang mengatakan termasuk ahli kitab dan ada pula yang menyatakan tidak.
Dengan demikian maka hukum perkawinan dengan wanita shabiah, juga berbeda pendapat.
Abu Hanifah berpendapat boleh kawin dengan wanita shabiah. Sedang Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, tidak memperbolehkannya, karena mereka penyembah patung-patung dan bintang-bintang. Pendapat Mazhab Maliki juga sejalan dengan pendapat ini.
Mazhab Syafii dan Hambali juga membuat garis pembatas dalam permasalahan ini. Jika mereka menyerupai orang-orang Yahudi atau Nasrani dalam prinsip-prinsip agamanya, maka wanita shabiah itu boleh diyakini. Tetapi bila berbeda dalam hal-hal prinsip, berarti mereka tidak termasuk golongan Yahudi atau Nasrani dan berarti pula, bahwa wanita shabiah itu tidak boleh dikawini oleh pria muslim.
d.      Perkawinan dengan wanita penyembah berhala
Para ulama telah sepakat, bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita penyemabah berhala dan penyembah benda-benda lainnya, karena termasuk orang-orang kafir. Sebagaimana firman Allah:
 Ÿwur (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ̍Ïù#uqs3ø9$# .....
Artinya:”dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir....” (Q.S Al-Muntahanah: 10)

Pada ayat lain Allah berfirman:
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sãƒ
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.”(Q.S Al-Baqarah:221)

Nash diatas cukup jelas dan tegas tentang pengharaman mengawini wanita-wanita penyemabah berhala.
Perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum pernikahan pria muslim dengan wanita ahli kitab.[10]
1)      Menurut pendapat Jumhur Ulama baik hanafi, Maliki, Syafii maupun Hambali, seorang pria muslim diperbolehkan kawin dengan ahli kitab yang berada dalam lindungan (kekuasaan) negara Islam (ahli Dzimmah).
2)      Golongan Syiah Imamiyah dan Syiah Zaidiyah berpendapat, bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita ahli kitab.
Golongan pertama (Jumhur ulama) mendasar pendapat mereka kepada beberapa dalil:
a)      Firman Allah yang berbunyi
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% ......
Artinya: “Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu...”(Q.S Al-Maidah: 5)

b)      Diantara para sahabat ada pula yang kawin dengan ahli kitab, seperti Ustman bin Affan mengawini Nailah binti al-Gharamidah seorang wanita beragama Nasrani, yang kemudian masuk Islam. Demikian juga Hudzaifah mengawini wanita Yahudi dari penduduk Madain.
c)      Jabir ra. pernah ditanya tentang perkawinan pria muslim dengan wanita Yahudi atau Nasrani: Beliau menjawab:”Kamipun pernah menikah dengan mereka pada waktu penaklukan Kuffah bersama-sama dengan Saad bin Abi Waqqash.
Golongan kedua (Syiah), melandaskan pendapat pada beberapa dalil:[11]
a)        Firman Allah:
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sãƒ
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.”(Q.S Al-Baqarah:221)

Golongan ini berpendapat wanita-wanita ahli kitab termasuk kafir, karena wanita-wanita ahli kitab itu telah musrik (menyekutukan Allah) berdasarkan riwayat Ibnu Umar, bahwa beliau pernah ditanya tentang hukum mengawini wanita Yahudi atau Nasrani. Beliau menjawab:”Sesungguhnya Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi orang-ornag mukmin, saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari pada anggapan seorang wanitan (Nasrani), bahwa Tuhannya adalah Isa. Padahal Isa hanya seorang manusia dan hamba Allah.
1)        Firman Allah:
Ÿwur (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ̍Ïù#uqs3ø9$# .....
Artinya:”dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir....” (Q.S Al-Muntahanah: 10)

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, mereka berpendapat, ahli kitab itu termasuk orang-orang kafir. Dengan demikian hukunnya tetap diharamkan, tidak boleh kawin.
Kalau kita perhatikan pendapat Syiah (Imamiyah dan Zaidiyah), maka mereka menganggap, bahwa ahli kitab itu musyrik. Akan tetapi didalam AlQuran sendiri dinyatakan bahwa antara ahli kitab dan musyrik itu tidak sama, sebagaimana firman Allah:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$#ur Îû Í$tR zO¨Yygy_ tûïÏ$Î#»yz !$pkŽÏù 4 y7Í´¯»s9'ré& öNèd ŽŸ° Ïp­ƒÎŽy9ø9$# ÇÏÈ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”. (Q.S Al-Bayyinah: 6).

Dalam ayat diatas cukup jelas, bahwa ahli kitab dan musyrik itun berbeda.
Kemudian dikalangan Jumhur Ulama yang membolehkan kawin dengan ahli kitab juga berbeda pendapat.[12]
1)        Sebagian mazhab hanafi, Syafii, Maliki dan Hambali mengatakan bahwa hukum perkawinan itu makruh.
2)        Menurut pendapat sebagian mazhab Maliki, Ibnul Qosim, Khalil bahwa perkawinan itu diperbolehkan secara mutlak dan ini merupakan pendapat Malik.
3)        Az-Zarkasyi (Mazhab Syafii) mengatakan bahwa pernikahan itu disunatkan, apabila wanita ahli kitab kitab itu diharapkan dapat masuk Islam. Sebagai contohnya adalah perkawinan Usman bin Affan dengan Nailah, sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini. Sebagian mazhab Syafii pun ada yang berpendapat demikian.
2.      Perempuan muslim menikah dengan laki-laki non muslim dan ahli kitab
Hukum mengenai perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam adalah jelas-jelas dilarang (haram). Dalil yg digunakan untuk larangan menikahnya muslimah dengan laki-laki non Islam adalah Surat Al Baqarah(2):221,“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”

Jadi, wanita musliman dilarang atau diharamkan menikah dengan non muslim, apapun alasannya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Alquran di atas. Bisa dikatakan, jika seorang muslimah memaksakan dirinya menikah dengan laki-laki non Islam, maka akan dianggap berzina.
2.2.Sumber-sumber Hukum Yang Mengatur tentang Pernikahan Beda Agama.
1.      Al-Qur’an
Adapun dalam Al-Qur’an, setidaknya ada tiga ayat yang menegaskan haramnya beda agama.
Syahnya perkawinan menurut Hukum Islam harus memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sebagai berikut :
a.       Syarat Umum, artinya tidak bertentangan dengan larangan-larangan yang termaktub dalam ketentuan Q.S Al-Baqoroh (2): 221 yaitu larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan pengecualiannya Q.S Al-Maidah (5): 5, yaitu khusus bagi laki-laki Islam boleh mengawini perempuan ahli kitab, seperti Yahudi dan Nashrani. Dan tidak bertentangan dengan larangan-larangan dalam Q.S An-Nisa’ (4): 22, 23, dan 24.
Surat Al-Baqarah (2) Ayat 221:
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôtƒ n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôtƒ n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãƒur ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbr㍩.xtGtƒ ÇËËÊÈ  
“dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

                        Surat Al-Ma’idah (5) Ayat 5:
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sŒÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uŽöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB Ÿwur üÉÏ­GãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3tƒ Ç`»uKƒM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»sƒø:$# ÇÎÈ  
“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi”.

b.       Syarat Khusus, adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin permpuan, dan harus beragama Islam, Aqil baligh (dewasa dan berakal), sehat baik jasmani maupun rohani.
c.       Harus ada persetujuan bebas antara kedua calon pengantin, artinya perkawinan tidak boleh dilaksanakan dengan paksaan.
d.      Harus ada wali nikah
e.       Harus ada dua orang saksi, dengan syarat beragam Islam, Dewasa dan adil.
f.       Mahar (mas kawin).
g.      Pernyataan ijab qobul.[13]
2.      Hadits
Hadits Jabir bahwa Nabi bersabda:
نَتَزَوَّجُ نِسَاءَ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلاَ يَتَزَوُّجُوْنَ نِسَائَنَا
Artinya: “Kita boleh menikah dengan wanita ahli kitab, tetapi mereka tidak boleh nikah dengan wanita kita”.[14]
Ibnu Jarir berkata dalam Tafsirnya 4/367: “Sanad hadits ini sekalipun ada pembicaraan, namun kebenaran  isinya merupakan ijma’ umat”. Dan dinukil Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 1/587.
3.      Ijma’
Selama berabad-abad lamanya, Umat Islam menjalankan agamanya dengan tenang dan tentram, termasuk dalam masalah ini, tidak ada satupun ulama yang membolehkan nikah beda agama, tetapi anehnya tiba-tiba sebagian kalangan mencoba untuk meresahkan umat dan menggugat hukum ini. Di atas, telah kami kemukakan sebagian nukilan ijma’ dari ahli tafsir, kini akan kami tambahkan lagi penukilan ijma’ tersebut:
1.      Ibnul Jazzi mengatakan: “Laki-laki non Muslim haram menikahi wanita muslimah secara mutlak. Ketentuan ini disepakati seluruh ahli hukum Islam”.[15]
2.      Ibnul Mundzir berkata: “Seluruh ahli hukum Islam sepekat tentang haramnya pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki beragama Yahudi atau Nasrani atau lainnya”.[16]
3.      Ibnu Abdil Barr berkata: “Ulama telah ijma’ bahwa muslimah tidak halal menjadi istri orang kafir”.[17]
Sebenarnya, masih banyak lagi ucapan ulama ahli fiqih dan ahli hadits tentang masalah ini. Lantas masihkah ada keraguan tentang kesesatan orang yang menyeleisihinya?!!
4. Kaidah Fiqih
Dalam kaidah fiqih disebutkan:
الأَصْلُ فِي الأَبْضَاعِ التَّحَرِيْمُ
Artinya: “Pada dasarnya dalam masalah farji (kemaluan) itu hukumnya haram.”
Karenanya, apabila dalam masalah farji wanita terdapat dua hukum (perbedaan pendapat), antara halal dan haram, maka yang dimenangkan adalah hukum yang mengharamkan.[18]
FATWA MUI[19]
Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional MUI VII pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005 M setelah menimbang:
1.      Belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama
2.      Perkawinan beda agama bukan saja mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, tetapi sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat
3.      Di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi dan kemaslahatan
Dan memperhatikan:
1.      Keputusan fatwa MUI dalam Munas II tahun 1400/1980 tentang perkawinan campuran
2.      Pendapat Sidang Komisi C bidang fatwa pada Munas VII MUI 2005
Dengan bertawakkal kepada Allah memutuskan dan menetapkan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
Di samping itu ada keputusan Musyawarah Nasional ke II Majlis Ulama Indonesia No. 05/Kep/Munas II/MUI/1980 tanggal 1 juni 1980 tentang Fatwa, yang menetapkan pada angka 2 perkawinan Antar Agama Umat Beragama, bahwa: (O.S, Eoh, Op.Cit. , h. 133).
1.      Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslimah adalah haram hukumya.
2.      Seorang laki-laki muslimah diharamkan mengawini wanita bukan muslimah. Tentang perkawinan atara laki-laki muslimah dengan wanita Ahli Kitab terdapat perbedaan pendapat.
Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya, maka MUI memfatwakan perkawinan tersebut haram kukumnya. Dengan adanya farwa ini maka Majelis Ulama Indonesia mengharapkan agar seorang pria Islam tidak boleh kawin dengan wanita non Iskam kareka haram hukumnya.
Selanjutnya Dr. Qurais Shihab, dengan lantang mengatakan, pernikahan ini tidak sah, baik menirut agama maupun menurut negara.
Pendapat ini di kuatkan oleh Dr. Muardi Khatib, salah seorang tokoh majelis tarjih Muhammadiyah yang berpendapat bahwa persoalan ini jelas di dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 221, disana dijelaskan sercara tegas bahwa seorang wanita Muslim Haram hukumnya menikah dengan laki-laki non Muslim -dan sebaliknya laki-laki Muslim haram menikahi wanita non Muslim, “ini sudah menjadi konsensus ulama,” tambahnya, “Kensekwensinya pernikahan ini harus dibatalkan”. Pendapat senada juga disampaikan K.H. Ibrahim Hosen yang mengatakan, menurut mazhad Syafi’I, setelah turunnya al-Quran orang Yahudi dan Nasrani tidak lagi disebut ahll kitab. (Media Dakwah, Desember 1996, h. 31).
2.3.Pandangan Islam dan Hukum Indonesia Terhadap Pernikahan Beda Agama.
1.      Pandangan Agama Islam
Pertama, Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak memperkenankannya. Dalam Alquran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi :
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr&    
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguh nya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkah orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221)

Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang yang tidak beragama Islam. (O.S. Eoh, 1996 : 117)
Kedua, QS al-Mumtahanah (60): 10 yang mengaskan ketidakhalalan  wanita Muslim bagi laki-laki kafir dan sebaliknya, Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Ketiga,  Q.S al-Maidah (5): 5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikahi wanita Ahli Kitab.  Allah berfirman :
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sŒÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uŽöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB Ÿwur üÉÏ­GãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3tƒ Ç`»uKƒM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»sƒø:$# ÇÎÈ  
“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi”.

Dari tiga ayat yang sama-sama dijadikan sebagai rujukan dalam merumuskan hukum perkawinan beda agama, ternyata ulama’ memiliki pendapat yang berbeda-beda. Untuk laki-laki Muslim mempunyai ketentuan tersendiri yang berbeda dengan wanita Muslim. Agar lebih jelas pemahamannya, maka akan dibahas perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim, perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Musyrik, dan perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab.
Perkawinan Wanita Muslim Dengan Laki-Laki non-Muslim
Islam melarang perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim, baik laki-laki ahli kitab, musyrik, atau atheis, dengan pertibangan keselamatan agamannya tanggal karena pengaruh suaminya.[20]
Tidak halal bagi wanita Muslim kawin dengan laki-laki non-Muslim, baik pengikut faham komunis. Hindu atau yang lainnya atau dari ahli kitab. Sebab laki-laki punya hak tanggung jawab mengurusi isterinya, dan ia harus taat pada suaminya, maka tidaklah benar seorang kafir atau musyrik menguasai seorang perempuan yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah (tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad itu utusan Allah), Allah berfirman dalam Q.S an-Nisa’ (4): 141, bahwa “Allah benar-benar tidak akan member izin kepada orang-orang kafir menguasai orang-orang beriman.[21]
Umar r.a menyatakan bahwa “tidak halal bagi laki-laki non-muslim menikahi wanita muslimah selama si laki-laki tetap belum masuk islam”. Sikap Sayyidina Umar Khattab yang tegas itu didasarkan pada al-Qur’an surat al-Mumtahananh (60) ayat 10.[22]
Ulama berpendapat bahwa al-Qur’an melarang wanita Muslim menikah dengan laki-laki non-Muslim, baik dari kalangan musyrik maupun Ahli Kitab, bahkan ibnu Hamz menyatakan haram secara muthlak.[23]
Jadi wanita Muslim hanya diperbolehkan menikah dengan laki-laki Muslim. “menurut mayoritas ulam, larangan pernikahan ini didasarkan pada al-Qur’an, as-sunnah dan ijma. Menurut At-Tabari, wanita Muslim haram hukumnya untuk menikah atau dinikahkan dengan laki-laki musyrik, apapun jenis kemusyrikannya. At-Tabari mengutip pemahaman terhadap ayat itu dengan mengatakan: “kamu tidak boleh menikahkan (wanita beriman) dengan laki-laki Yahudi atau Kristen dan orang musyrik yang tidak seagama dengan denganmu”.[24]
Pernikahan seperti in dilarang karena dikhawatirkan wanita Muslim akan terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan yang berlainan agama dengannya. Allah menjelaskan dalam firmannya: “mereka ngajak ke neraka”, yakni maengajak kepada kekufuran yang akan menjadi sebab asuk ke neraka. Hal ini disebabkan karean sorang laki-laki memiliki kekuasaan dan wewenang atas isterinya. Dengan demikian wanita tidak memiliki kebebasan dalam rumah tangganya, termasuk kebebasan beragama dan mendidik anak-anaknya. Oleh karena itu pernikahan antara wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim akan membahayakan agamanya.[25]  
Amir Syarifuddin mengatakan, jika alasan larangan menikah antara wanita Muslim dengan laki-laki Ahli Kitab dikarenakan wanita tidak memiliki kebebasan dalam rumah tangganya, karena ia dalam posisi dipimpin dan harus taat kepada suami, maka bagaiman jika kedudukan wanita dalam rumah tangga setara atau sederajat dengan suami.[26]
Adapun dalil yang menjadi dasar hokum untuk larangan kawin antara wanita muslimah dengan pria non muslim, ialah:
a.       Firman allah dalam surat Al-Baqarah  ayat 221:
b.      Ijma’ para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan pria non muslim.
2.      Pandangan Hukum Indonesia
·         UU Perkawinan no. 1/1974 pasal 2 ayat 1 dan pasal (f) berbunyi: “mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”.
·         Pasal 2 ayat 1 UUP berbunyi: “perkawinan adalah syah apabila dilakukan dengan hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.








BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Yang dimaksud dengan pernikahan beda agama ialah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Misalnya perkawinan antara seorang pria Muslim dengan seorang wanita Protestan dan sebaliknya.[27]
Ada 2 jenis menikah beda agama:
  1. Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam
2.      Perempuan muslim menikah dengan laki-laki non muslim dan ahli kitab
Sumber-sumber Hukum Yang Mengatur tentang Pernikahan Beda Agama.
1.      Al-Qur’an
2.      Hadits
3.      Ijma’
4.      Kaidah fiqih
5.      Fatwa MUI
Pandangan Islam dan Masyarakat Terhadap Pernikahan Beda Agama.
1.      Pandangan Agama Islam
Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak memperkenankannya. Dalam Alquran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi :
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr&    
2.      Pandangan Hukum Indonesia
·         UU Perkawinan no. 1/1974 pasal 2 ayat 1 dan pasal (f) berbunyi: “mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”.
·         Pasal 2 ayat 1 UUP berbunyi: “perkawinan adalah syah apabila dilakukan dengan hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
3.2  Saran
Untuk kesempurnaan makalah ini, penulis membutuhkan saran dan masukan. Semoga apa yang telah kami sajikan bisa bermanfaat untuk seluruh masyarakat umum khususnya untuk para penulis sendiri.








Daftar Pustaka

Abdurrachman dan Riduan Syahrani, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni, Bandung, 1978
Abdurrahman I Doi, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, Rineka Cipta, Jakarta 1992.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000
Ali, M, Hasan. Masail Fiqhiyah 1997 .Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Hasan, Ali, M. Berumah Tangga Dalam Islam. 2006. Jakarta: Siraja Prenada media  Group
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Wanita Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta, 191



[2] Drs. H. Mahjuddin, M. Pd. I. Masail fiqhiyah Berbagai Ksusu Yang Dihadapi “Hukum Islam” Masa Kini (Jakarta: Kalam Mulia, 2003). Hlm, 39
[3] Abdurrachman dan Riduan Syahrani, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni Bandung, 1978, hal. 20
[4] Hazain, Tinjauan Mengenai Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Tintamas, Jakarta, 1986, hal. 2
[5] ibid
[6] M. Ali Hasan. Masail Fiqhiyah.(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1997) hlm 8
[7] Ibid, hlm 8
[8] M Ali Hasan. Berumah Tangga Dalam Islam. (Jakarta: Siraja Prenada Media Group: 2006) hlm 240
[9] Ibid, hlm 241
[10] Ibid, hlm 243
[11] Ibid, hlm 245
[12] Ibid, hlm 247
[13] Ibid,. hal.50-53
[14] Hal ini pernah ditanyakan oleh seorang Nashroni kepada salah seorang ulama muslim: “Kenapa kalian membolehkan pria muslim menikah dengan wanita kami, tetapi melarang kami menikahi wanita kalian?!”. Alim tersebut menjwab: “Karena kami beriman dengan Nabi kalian, tetapi kalian tidak beriman dengan Nabi kami (Nabi Muhammad)!!”. (Lihat Syarh Ushul Min Ilmi Ushul, Ibnu Utsaimin hlm. 527-528).
[15] Qowaninul Ahkam hlm. 29.
[16] Lihat Al-Mughni 6/634.
[17] Lihat Al-Ijma’ hlm. 250.
[18] Al-Asybah wa Nazhoir, as-Suyuthi hlm. 84.
[20] Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit., hal 16
[21] Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Wanita Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1991, hal. 26-27
[22] Lihat Adian Husaini, Anggota Komisi Kerukunan Beragama Mejelis Ulama’ Indonesia, Dalam nyeleneh, promosi Kawin Antar Agama Itu, 21 Juli 2002, hal. 2
[23] Lihat Liza Suci Amalia dalam tesisnya, Ibnu Hazm, Al-Mushalla Bi Al-Asar, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Xi, 1988, hal. 125
[24] Lihat Liza Suci Amalia dalam tesisnya, Ibnu Jarir At-Tabari, jami’ al-bayan fi ta’wil al-Qur’an, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,t.t, Beirut, II: hal. 223
[25] Lihat Liza dalam tesisnya, Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, al-Ma’arif, Bandung, 1987, hal. 94
[26]  Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Angkasa Raya, Padang, 1993, hal. 83
[27] Abdurrachman dan Riduan Syahrani, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni Bandung, 1978, hal. 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GALERI

Photobucket