PESAN SINGKAT

Kamis, 15 Desember 2011

Aliran Kepercayaan Yang Ada di Indonesia


                                                                      BAB I                                                                     
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia selalu haus akan rasa ingin tahu terhadap dzat yang menciptakan dan memberikan rasa aman. Berbagai macam aktivitas ibadah dengan berbagai ritualnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rohani dalam rangka mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan. Mulai dari peribadatan terbuka hingga ritual secara sembunyi-sembunyi dilakukan untuk mendapatkan tujuan tersebut. Di Indonesia, hal yang demikian sudah tidak asing lagi. Gejala umum yang tampak antara lain munculnya berbagai macam aliran kepercayaan, yang biasa disebut dengan kebatinan, tasawuf, ilmu kesempurnaan, teosofi, mistik atau dengan sebutan yang lain.
Munculnya berbagai macam aliran kepercayaan di Indonesia membuat sebagian pihak merasa resah. Kita tidak bisa dengan mudah merubah apa yang mereka yakini, karena tiap individu memiliki hak atas lepercayaannya. Oleh karena itu penting adanya pengetahuan mengenai keberadaan mereka serta hal-hal yang mendasari kepercayaan yang mereka anut.
Makalah ini akan menjelaskan tentang sejarah munculnya aliran kepercayaan di Indonesia disertai dengan beberapa contoh aliran yang ada di Indonesia saat ini. Sehingga diharapkan masyarakat dapat memahami serta tidak mudah menyalahkan kepercayaan orang lain.

B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana hakekat dari aliran kepercayaan?
2.    Bagaimana  sejarah munculnya aliran kepercayaan di Indonesia?
3.    Apa sebab-sebab munculnya aliran-aliran kepercayaan?
4.    Apa saja aliran kepercayaan yang ada di  Indonesia?


C.    Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan  makalah  yaitu:
1.       Mengetahui hakekat  dari aliran kepercayaan
2.      Mengetahui sejarah munculnya aliran kepercayaan di Indonesia
3.      Mengetahui sebab-sebab munculnya aliran-aliran kepercayaan
4.      Mengetahui aliran kepercayaan yang ada di  Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Aliran Kepercayaan
       Menurut M. As’at El Hafidy, aliran adalah suatu cabang daripada faham yang rentannya masih berinduk dari salah satu Agama (Madzhab, Orde, sekte dan lain-lain).[1]
       Sedangkan kata kepercayaan menurut ilmu makna kata (semantik), mempunyai beberapa arti:
a.         Iman kepada agama.
b.        Anggapan (keyakinan) bahwa benar sungguh ada, misalnya kepada dewa-dewa dan orang-orang halus.
c.         Dianggap benar dan jujur, misalnya orang kepercayaan.
d.        Setuju kepada kebijaksanaan perintah atau pengurus.
       Kata kepercayaan menurut istilah (terminologi) di Indonesia pada waktu ini ialah keyakinan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa di luar agama atau tidak termasuk ke dalam agama.Pengertian tersebutdi atas adalah pengertian “kepercayaan” yang diberikan oleh Prof. Kamil Karthapraja di dalam bukunya “Aliran Kebatinan dan Kepercayaa di Indonesia”.[2]
       A.L. Huxley di dalam bukunya The Parennial Philosiphy, seseorang pengarang dan ahli filsafat di negeri Inggris, menyebutkan empat arti:
a.         Percaya/mengandalkan (kepada orang tertentu).
b.         Percaya (faith) kepada wibawa (dari para ahli di suatu bidang il mu pengetahuan).
c.         Percaya (belife) kepada dalil-dalil yang kita sendiri tidak dapat menceknya, apabila           kita mempunyai kesediaan, kesempatan, dan kemampuan untuk itu.
d.        Percaya (belife) kepada dalil-dalil, yang kita ketahui, bahwa kita tidak dapat          menceknya, sekalipun kita menghendakinya.
       Huxley berpendapat, bahwa ketiga arti yang pertama mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan sehari-hari dan dalam arti yang keempat itu dipandangnyasama dengan apa yang biasa disebut “kepercayaan agamani”.
       Kamus umum Purwadarminto 1976, menyatakan bahwa kepercayaan mempunyai pengertian:[3]
a.         Anggapan atau keyakinan bahwa benar (ada, sungguh-sungguh).
b.         Sesuatu yang dipercayai (dianggap benar).

Menurut Prof. Kamil Kartapradja dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa aliran kepercayaan adalah keyakinan dan kepercayaan rakyat Indonesia di luar agama, dan tidak termasuk ke dalam salah satu agama. Aliran kepercayaan itu ada dua macam:
1.      Kepercayaan yang sifatnya tradisional dan animistis, tanpa filosofi dan tidak ada pelajaran mistiknya, seperti kepercayaan orang-orang Perlamin dan Pelebegu di Tapanuli.
2.      Golongan kepercayaan yang ajarannya ada filosofinya, juga disertai mistik, golongan inilah yang disebut atau menamakan dirinya golongan kebatinan. Golongan kebatinan ini dalam perkembangannya akhirnya menamakan dirinya sebagai Golongan Kepercayaan Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.[4]

       Jadi aliran kepercayaan menurut M. As’ad El Hafidy, ialah suatu paham dogmatis, terjalin dengan adat istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa yang masih terbelakang. Pokok kepercayaannya, apa saja adat hidup nenk moyangnya sepanjang masa.

B.  Latar Belakang Sejarah
Seperti keagamaan Suku Batak, Suku Dayak, Suku di Nusa Tenggara Timur dan keagamaan orang Jawa. Yang menunjukkan bahwa sejak zaman kuno, sebelum masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Kristen, dan Islam, berbagai suku bangsa di Indonesia sudah menganut animisme, kepercayaan kepada roh-roh ghaib, yang kemudian bercampur dengan agama-agama dunia yang masuk di Indonesia, terutama agama Islam.[5]
1.    Masuknya Islam Tarekat
Agama Islam yang masuk di Indonesia bukan lagi Islam yang murni tetapi yang sudah dipengaruhi ajaran mistik (tarekat). Tarekat (jalan) adalah suatu aliran dan gerakan yang tumbuh dalam masyarakat Islam dan kehormatan yang diberikan orang kepada para pemimpinnya. Aliran-aliran tersebut memakai nama menurut nama pemimpinnya. Aliran-aliran tarekat yang masuk di Indonesia misalnya Tarekat Syathariah (abad 16-17) yang didirikan Syekh Syatari, Tarekat Qadiriah yang didirikan Abdul Qadir Jailani (wafat 1165), Tarekat Naksabandiyah yang didirikan Bahaudin Naksabandi (wafat 1315), Tarekat Syadzaliah yang didirikan Abdul Hasan Syadzali (wafat 1258), dan kemudian Tarekat Samaniyah, dan ada juga Tarekat Rifaiyah yang didirikan Ahmad Rifa’i (wafat 1182).
Pada umumnya tujuan tarekat-tarekat itu adalah untuk mencapai hakikat Ketuhanan, yang biasanya ditempuh oleh para anggota (murid-muridnya), dengan melakukan bai’at (janji) lebih dulu ketika memasuki tarekat, kemudian berusaha melalui empat tingkat yaitu “syari’ah” (mempelajari hukum), “tarekat” (menempuh cara-cara tertentu), “ma’rifat” (mengetahui ketuhanan) dan terakhir “hakekat” (kebenaran yang tertinggi).
Di antara tarekat-tarekat itu terdapat yang menyimpang, misalnya Tarekat Rifaiyah lambat laun bukan lagi megutamakan pelajaran ibadah melainkan lebih menonjolkan seni pertunjukannya melukai diri seperti permainan debus dan sebagainya. Atau tarekat-tarekat itu mendalami ajaran yang sifatnya ekstrim dan dapat diperalat untuk melakukan pemberontakan terhadap penguasa dan sebagainya.
2.    Politik Adu Domba
Selama penjajahan Belanda sebagian besar pemberontakan rakyat terhadap Belanda dilakukan oleh gerakan yang berlatar belakang kepemimpinan Islam yang didukung kaum tarekat. Misalnya di Jawa sejak zaman Sultan Agung Mataram, Pangeran di Ponegoro. Pihak Belanda untuk dapat menumpas gerakan perlawanan rakyat itu memperalat para bangsawan pemuka adat, sehingga antara golongan adat dan agama di adu domba.
Selain tidak ada lagi perlawanan rakyat, maka kehidupan tarekat-tarekat dan pendidikan agama Islam dicurigai. Begitu pula dilakukan politik adu domba penganut Islam modern (Muhammadiyah) yang diberi cap Wahabi, dengan penganut Islam (Nahdlatul Ulama) Ahlussunnah, yang disebut kaum lama. Perpecahan umat Islam ini berkelanjutan sampai zaman kemerdekaan. Sementara itu misi Kristen mendapat kesempatan berkembang bebas dan baik.


3.    Zaman Kemerdekaan
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka perkembangan agama dan pendidikan Islam berangsur maju di bawah bimbingan Departemen Agama. Begitu pula aliran-aliran kepercayaan tumbuh dan berkembang di bawah pimpinannya yang cendikiawan, sehingga aliran lama muncul kembali dan yang baru tumbuh subur dengan bermacam ragamnya. Sehingga ada di antara kelompok aliran kepercayaan itu yang dapat diperalat Partai Komunis Indonesia sampai meletusnya G30S/PKI.
Di masa orde baru suasana berubah. Umat Islam mereda dari pertikaian masalah ‘furu’’ dan ‘khilafiyah’ yang diwarisi dari zaman Hindia Belanda, kemajuan pendidikan Islam telah melahirkan sarjana-sarjana Islam yang menyadari pentingnya persatuan Islam, diskusi-diskusi ilmiah tentang Islam terus meningkat, tempat-tempat beribadah bertambah baik, umat beragama diarahkan pada kerukunan seagama dan kerukunan antar agama. Sementara itu aliran kepercayaan tumbuh berkembang dan menurut kesamaan haknya dan kedudukannya dengan agama yang resmi diakui, dan di sana sini timbul masalah sosial keagamaan yang baru, misalnya masalah pedukunan dan perkawinan.[6]

C.  Sebab-Sebab Munculnya Aliran-Aliran Baru Dalam Kepercayaan
       Sebab-sebab munculnya aliran-aliran baru dalam kepercayaan menurut M. As’ad El Hafidy:[7]
a.    Karena salah terima, salah faham di waktu menerima pelajaran dari guru agama yang mengambil kiasan dan perlambang, ber dasar kebatinan mendalam dan falsafah yang berpengertian rangkap (berkalimat banyak arti).
b.    Mencampur aduk faktor-faktor penting yang diambil dari sumber-sumber pelajaran agama, mengambil salah satu lafadz dan kalimat dari ayat atau bahasa Arab dengan diberi arti-makna sesuka hatinya, sehingga terjadilah kekliruan murod dan maksudnya dan hilanglah azas tujuan lafdz kalimatt yang asli.
     Sehingga muncullah golongan Islam Mutihan dan Islam Abangan.
c.    Sengaja mengadakan aliran-aliran baru dalam kepercayaan, mistik atau kebatinan dengan dalil “mengembalikan jiwa asli” karena agama Hindu dari India, agama Yahudi, agama Masehi dari Eropa dan Islam Dari Arabia.
d.   Ingin memasyhurkan namanya, membuka praktek perdukunan, meramalkan kebahagiaan, ilmu rajah, perbintangan, bahkan terdapat yang mengharap-harap kedatangan Ratu Adil, Imam Mahdi, Jayabaya, Heru Cokro dan lain-lain.
e.    Bermaksud menenagkan jiwa, gemar menyendiri, bersemedi, bertapa dan mengamalkan Ascetisme (zuhud, riyadhatan nafs) karena berpendapat “suasana keadaan dunia dewasa ini terasa telah penuh berbagai penderitaan batin”.
f.     Bukan tidak mungkin dalam suasana yang serba kacau, pencipta aliran-aliran baru memasang gejala-gejala untuk keuntungan kekayaan pribadi. Jaringan-jaringannya dikembangkan dengan propaganda aliran-aliran tersebut dengan nama-nama yang menarik.
malah ada pula yang sampai hati mempergunakan gelar-gelar kanjeng, kiyai, Bendoro, Resi, Hajar, Begawan, bahkan menobatkan diri Nabi, penerima wahyu langsung dari Tuhan. Dan yang sangat terlalu menganggap dirinya sedrajat dengan Tuhan.
g.    Beranggapan bahwa “bunyi UUD 1945 pasal 18 ” adalah kesempatan untuk menjelmakan aliran-aliran baru dalam kepercayaan. Setiap rang berhak atas kebebasan beragama, keinsyafan batin dan fikiran, dijadikan alasan pokok umum menciptakan agama baru yang dianggap sesuai untuk kepentingannya sendiri.
       Menurut Abdurrahman Wahid, sesuai faktor dalam perkembangan pesat dari aliran-aliran kebatinan adalah “kegagalan hicrarchi dan struktur agama-agama besar di Indonesia untuk memberikan pemecahan bagi persoalan-persoalan sosial yang pokok dari kehidupan masyarakat dewasa ini”.[8]
       Selain pendapat di atas munculnya aliran keagamaan tidak terlepas dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran terhadap pokok-pokok ajaran agama, penekanan pengalaman agama secara eksklusif yang hanya mengakui paham mereka saja yang benar sedangkan paham lain dianggap sesat. Sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh pemikiran dari luar, seperti pemikiran yang dianggap liberal atau literal dalam memahami teks-teks agama, serta faktor politik.[9]

D.  Aliran-Aliran Kepercayaan
1.    Agama Bahai
a.    Latar Belakang Berdirinya
Di negara Iran (Parsi) ada seseorang yang bernama Ali Muhammad As-Syaironzi pada tanggal 5 Jumadil Ula 1260 H (1844 M) mengangkat dirinya menjadi pesuruh Tuhan dengan gelar “Bab” (pintu). Ia mengemukakan dan menyuruh agar semua orang bersiap-siap untuk menerima kedatangan ‘Al-Mahdi Al-Munthadar’, yaitu Nabi yang akan datang di muka bumi ini untuk mempersatukan umat manusia.tapi pada tahun 1850, ia bersama pengikutnya dihukum mati karena mengganggu jalannya pemerintahan Iran.
Setelah peristiwa tersebut pada tahun 1863datang lagi seseorang yang bernama Mat Husin Al-Basyaro’i yang menyatakan dirinya sebagai Nabi yang dikatakan As-Syaironzi. Orang ini berasal dari keturunan bangsawan Iran bernama Baha’ullah (Kemuliaan Tuhan). Dari nama tersebut asal nama agama Baha’i yang artinya ialah agama Kemuliaan.
Begitu raja Iran mengetahui berita tersebut maka raja memerintahkan agar Baha’ullah itu disingkirkan dan diasingkan ke Akka. Dari tempat pengasingan itulah ia menyampaikan ajaran-ajarannya. Pada tahun 1892 sebelum Baha’ullah wafat ia menunjuk putra sulungnya bernama Abdul Baha’ untuk meneruskan ajaran-ajarannya. Begitu pula kemudian abdul Baha’ sebelum wafat ia telah menunjuk putranya Shogi Effendi sebagai penerus ajaran kakeknya. Shogi Effendi ini wafat pada tanggal 4 November 1957 dan kini ajaran Baha’i ini telah menyebar ke berbagai penjuru dunia termasuk di Indonesia.[10]
Apabila diperhatikan apa yang dikatakan Bab cikal bakal agama tentang akan datangnya ‘Al-Mahdi Al-Muhtadhar’, maka agama ini berusaha mentenarkan paham Syi’ah Imamiyah (imam 12) Muhammad Bin Hasal Al-Askary (255-260 H) yang ghaib di Sardab, sebagai orang pertama yang meniupkan tentang Imam Mahdy.

b.    Kitab Suci
Kitab suci agama Baha’i ialah sekumpulan dari berbagai amanat Ali Muhammad As-Syaironzi alias Bab dan ajaran-ajaran Bahaullah, yang semula terpisah-pisah dalam beberapa buku dan catatan, yang ditulis dalam bahasa Arab dan Parsi. Dalam kitab ini juga terdapat tafsiran yang dibuat oleh Abdul Baha’, sedangkan isinya yang lain tidak semata-mata tentang keagamaan tetapi juga tentang keduniawian, seperti soal sosial, politik, dan ekonomi.[11]
Di Indonesia kitab Baha’i diterbitkan oleh Majelis Rohani Baha’i Jakarta dan dicetak dalam berbagai bahasa daerah, seperti bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Makasar, Minangkabau, dan bahasa Indonesia.
c.       Dasar-dasar Kepercayaan
Dasar-dasar kepercayaan dalam agama Baha’i ada 5, yaitu:
1.  Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa
Menurut paham agama Baha’i semua ajaran dan syari’at agama dan ketuhanan yang diturunkan Tuhan dari langit (samawi) dengan berbagai istilah dan sebutan.
2.  Percaya kepada Nabi Baha’ullah
Dalam agama ini mempercayai bahwa Nabinya ialah Nabi Baha’ullah yang datang untuk mempersatukan berbagai agama sehingga menjadi satu agama saja.
3.  Percaya bahwa manusia itu pada hakikatnya satu
Kepercayaan ini menganggap semua manusia itu satu pada hakikatnya. Meskipun ada yang kulitnya hitam dan putih tetapi semuanya berasal dari satu keturunan, bagaikan sebuah pohon yang satu.
4.  Percaya bahwa semua agama itu bertujuan sama
Mereka mempercayai bahwa semua agama itu mempunyai tujuan yang sama, semuanya berasal dari Tuhan yang satu, dan dari satu kebenaran.
5.  Percaya bahwa Bab adalah utusan istimewa Tuhan
Kepercayaan kepada Bab sebagai Rasul Tuhan yang istimewa, karena dia yang pertama kali menyatakan sebagai Nabi yang dijanjikan untuk seluruh umat manusia.
d.   Ajaran Etika
Sebagaimana para Nabi telah mendapat petunjuk dari Tuhan untuk membimbing umat manusia, begitu pula Nabi Baha’ullah telah mendapat petunjuk, sebagaimana diajarkan Abdul Baha di bawah ini,
1.  Janganlah berperilaku yang membuat orang berduka cita, ramahlah terhadap semua orang, sayangilah sesama manusia dengan hati yang murni, janganlah perduli apa pun yang datang pada anda sekalipun anda ditantang atau dilukai. Jika terjadi bencana yang hebat, bergembiralah, karena hal itu adalah karnia dari Tuhan.
2.  Janganlah suka mengemukakan kesalahan orang lain, berdo’alah untuk mereka, tolonglah mereka dengan kebaikan hati agar mereka memperbaiki kesalahan mereka. pandanglah selalu yang baik dan jangan memandang yang buruk.
3.  Jangan mengucapkan satu katapun yang tidak baik tentang orang lain, walaupun musuh sekalipun. Lakukanlah perbuatan-perbuatan dengan baik hati. Pisahkanlah hati dari dirimu dan dari dunia. Rendahkanlah hati dan saling mengabdi dan mengetahui bahwa diri itu ada lebih kurang dari siapapun juga.
4.  Berperilakulah seolah-olah kita satu jiwa dalam banyak raga. Semakin banyak sayang menyayangi semakin dekat dengan Tuhan. Bertindaklah hati-hati dan bijaksana, berkatalah sebenar-benarnya, terimalah dengan ramah siapa saja yang datang padamu dan indahkanlah sesamamu.
5.  Usahakanlah kesembuhan bagi orang yang sakit, hiburlah orang yang dalam duka, air sejuk bagi setiap dahaga, hidangan lezat bagi yang lapar, bintang bagi setiap kaki langit, cahaya bagi setiap lampu, pembawa kabar baik bagi setiap orang yang rindu pada kerajaan Tuhan.
e.    Kehidupan Sesudah Mati
Menurut Agama Baha’i bahwa kehidupan didunia ini adalah persiapan menghadapi kehidupan dalam alam ghaib, yaitu alam roh yang tidak pernah mati. Apabila roh di dalam badan ketika hidup didunia itu baik, maka ia akan hidup sempurna dan penuh di alam roh, akan tetapi jika roh di dalam badan ketika hidup di dunia buruk maka ia akan menjadi tidak sempurna dan tidak penuh di alam roh yang abadi, karena tidak dekat dengan kerahmatan Tuhan.
Pada dasarnya agama ini tidak mengenal surga dan neraka. Apa yang dikatakan mereka ‘surga’ adalah dekat dengan Tuhan. Sedangkan ‘neraka’ berarti jauh dari Tuhan. Kehidupan baik manusia di dunia berarti ia akan mencapai kedamaian, mendapatkan karunia rohani, terkabulnya keinginan hati, dan bertemunya dengan Tuhan dalam alam abadi. Bagi kehidupan yang buruk di dunia, akan mendapatkan hukuman berupa pencabutan berkah, pencabutan anugerah, dan jatuh dalam kehidupan yang sangat rendah.
Karena dalam kenyataan prakteknya ajaran agama Baha’i ini dilaksanakan para penganutnya memecah belah dan mengacaukan kehidupan masyarakat maka agama ini di Indonesia telah dilarang oleh pemerintah Republik Indonesia bedasarkan Surat Keputusan Perdana Menteri No. 122/PM/1959 tanggal 21 Maret 1959.

2.    Agama Sapta Darma
a.    Latar belakang berdirinya
Ketika zaman revolusi kemerdekaan tahun 1947 seorang bernama Hardjo Sapoetra yang biasa dipanggil pak Sepuro berasal dan dilahirkan di desa Sanding Kawedanan Pare Kediri pada tahun 1910. Berpendidikan sekolah rakyat lima tahun (1925), pernah menjadi pandu Kepanduan Sosrowidjajan (1937, pekerjaan tukang pangkas. Pada masa revolusi pernah ikut menjadi anggota pemuda Pesindo (pemuda Sosialis Indonesia)
Selain pekerjaannya sebagai tukang cukur pak Sepuri ini mempunyai pengetahuan ilmu dukun dapat mengobati orang sakit. Ilmunya ini bersumber dari orang bernama R.M. Suwono di Yogyakarta. Caranya mengobati orang sakit ialah dengan melakukan tafakur dan semedi, pada setiap waktu ganjil, misalnya pukul 1,3, 5, 7, 9 dan seterusnya, dengan duduk menghadap ke timur beberapa menit lamnya untuk menghilangkan rasa dan menggambarkan diri sendiri, sampai ia mendapatkan rasa yang luar biasa dari lingkungan pusar manusia. Demikian caranya untuk mendapatkan tenaga dalam mengobati orang. Kalau tidak sempat melakukan semadi pada setiap jam ganjil maka boleh sekaligus diambil dalam waktu satu jam sehari. [12]
b.    Panuntun Agung Sri Gautama
Lambat laun pengikutnya bertambah banyak yang terdiri dari kalangan pemuda, para pegawai negeri ada juga dari kalangan ABRI. Kepada para pengikutnya ia menyatakan bahwa ia pernah mendapatkan ilham dari Tuhan agar ia menggunakan getar ke-Nabian ‘Sri Gautama” (Sri : pemimpin, Gutama, Marga Utama atau jalan kebenaran). Jadi dari nama Hardjo Saputro ia kemudian menggelari dirinya Sri Gautama atau lengkapnya “ Penuntun Agung Sri Gautama” yang berarti Pemimpin jalan kebenaran, sebagaimana mana seorang Nabi atau Sang Budha.[13]
Setelah revolusi kemerdekaan selesai untuk beberapa waktu tidak terdengar kegiatan Sapta Darma. Tiba-tiba setelah tahun 1956 Sri Gautama muncul kembali dengan ajaran-ajarannya di Yogyakarta,  Semarang dan beberapa tempat di Jawa tengah. Kemunculannya sekali ini didampingi oleh seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada bernama Sri Suwartini yang kemudian bergelar Sri Pawenang. Tempat kedudukan Sapta Darma tidak lagi di Kediri tetapi dipindahkan ke Yogyakarta sampai tahun 1961 Sapta Darma telah mempunyai cabang-cabang tidak saja di pulau jawa, tetapi juga di Sumatra, seperti di Lematang (Palembang), Pringsew (Lampung dan juga Medan)
Hardjosapoetra yang bergelar Penuntun Agung Sri Gautama (Rsi Brahmana) alias penggembala jalan kebenaran yang tujuh itu, wafat pada tanggal 16 Desember 1963 dan jenazahnya dibakar kemudian abunya dilarung ke laut. Pemimpin pendukunan itu sudah tidak ada, tetapi mewariskan ilmu kepada para muridnya yang kerapkali menyebabkan timbulnya penyakit saraf, dan menimbulkan kegelisahan masyarakat setempat.[14]
c.    Pokok ajaran dan kitab suci
Pada mulanya pak Sepuro di samping kegiatannya menjadi dukun mengobati orang sakit, ia juga menanamkan ajaran kepada para pengikutnya agar percaya kepada Tuhan dan percaya kepada diri sendiri, cintailah sesama manusia dan hiduplah bertolong-tolongan. Di samping itu ia menafsirkan ramalan-ramalan Jaya Baya yang menyatakan akan datangnya Ratu Adi asal kerajaan Ketangga (Madiun) dan penjelmaan Kyai Semar yang bergelar  Herucakra Asmarantra. Kemudian dikatakannya bahwa agama Islam, Kristen, Hindu, Budha itu kelak akan lenyap lebur bersama ke dalam agama Sapta Darma.
Selanjutnya menurut Sri Gautama dalam menjelaskan arti dari isi agama Sapta Darma bahwa Sapta artinya tujuh, Darma artinya tuntutan atau pedoman, yang terdiri dari :[15]
1)   Setia kepada Pancasila Tuhan yaitu : Yang Maha agung, Maharahim, Maha adil, Mahawesesa (Kuasa) dan yang langgeng (abadi)
2)   Agar jujur dan setia hati dan setia hati, setia menjalankan undang-undang negara.
3)   Ikur serta cancut tali wanda (siap sedia sewaktu-waktu) mempertahankan tegaknya negara, nusa dan bangsa.
4)   Menolong siapa saja yang memerlukan dengan tidak mengharap balasan bantuan apapun
5)   Berani hidup dengan kepercayaan dan kekuatan diri sendiri
6)   Tindakan kepada warga harus “Bebarayan” (gotong royong) bersama-sama dengan halus dan sopan santun serta memberikan “pepadhang” (penerangan) sehingga memuaskan.
7)   Yakin dan percaya bahwa dunia ini tidak langgeng (kekal) “owah gingsir” (berubah-ubah), ”cakra manggilingan” (berputar seperti roda, sekali diatas, sekali dibawah)
Sepeninggal Srigutama ajaran-ajarannya dilanjutkan oleh beberapa orang penuntun seperti Rr. Suwartini SH yang menjadi Sri Pawenang dan lainnya seperti pak Kasdi, R. Soepeno Surjosugondo, R. Rachmat Wirjokusumo dan R.S. Soegondo. Atas usaha para penerus ini maka buah ilham dan ajaran Sri Panuntun Gutama dikumpulkan dan dibukukan sehingga menjadi kitab suc yang disebut “Wewarah Agama Sapta Darma” . kitab suci tersebut kemudian diterbitkan oleh yayasan Srati Darma Yogyakarta. Selain kitab ini Sapta Darma mempunyai kelompok penyebar agamanya, yang menyebarkan berbagai buku, siaran bergambar tentang ajarannya yang dibagikan dengan percuma kepada para penganutnya. Di dalam kitab suci tersebut juga terdapat uraian pahamnya tentang roh dan alam serata cara-cara bersembahyang.[16]
d.   Alam, roh, dan sembahyang
Menurt pahan Sapta Darma alam itu terbagi menjadi tiga yaitu alam wajar yakni dunia kita sekarang, kemudian alam abadi yakni alam kaswargaan dan alam halus yaitu alam roh-roh yang penasaran.
Alam wajar adalah temapt umat Sapta Darma meyakini dan melaksanakan Sapta Darma dan Pancasila Allah, yaitu dunia sekarang sebagai tempat persinggahan untuk menuju ke alam kaswargaan yang merupakan idaman. Alam abadi adalah temapt yang langgeng dimana semua manusia meyakini dan mengamalkan Sapta Darma dan Pancasila Allah. Sedangkan alam halus adalah tempat para roh yang penasran karena tidak sanggup langsung menuju alam kaswargaan. Jadi tempat khusus bagi pelarian semua roh yang belum mampu naik ke tempat asalnya dengan demikian umat yang banyak dosanya selama masih hidup di alam wajar tidak mampu memasuki alam abadi. Dengan demikian roh-roh tersebut penasaran dan tidak dapatkembali ke hadapan Yang Maha Kuasa di tempat yang langgeng dan abadi. Untuk tidak menjadikan roh kita kelak menjadi penasaran maka harus dilaksanaka Sapta Darma dan sembah-yang (sembayang)
Bagi warga Sapta Darma di dalam sehari semalam wajib dilakukan sembahyang atau sujud satu kali, dan sebaiknya lebih dari satu kali. Cara melakukan sembahyang atau itu sebagai berikut :[17]
a)    Duduk tegap dan menenangkan tubuh dan pikiran, bagi pria duduk bersilah dan bagi wanita bersimpuh lalu mengucapkan Allah Yang Maha Agung. Allah Maha rakhim, Allah Yang Maha Adil.
b)   Tetep duduk dengan mengheningkan rasa dengan mata terpejam. Apabila rasa telah dirasakan berkumpul di kepala, pada bagian di atas kepala, dan badan terasa terayun maka rasa harus diikuti. Disinilah letak nikmat dari rasa yang mulai naik sedetik demi sedetik dari bagian bawah punggung melalui susm-sum terus naik ke kepala serta mendorong menundukkan kepala perlahan-lahan untuk bersujud dan menatap ke bawah. Lalu ucapkanlah dalam batin Hyang Maha Suci sujud Hyang Kudus tiga kali.
c)    Setelah itu duduk kembali dan masih tetap dalam keadaan tenang, setelah badan terasa terayun lagi, maka rasa yang menanjak itu diikuti sebagai semula. Tetapi ketika kepala menatap ke bawah, ucapkan kesalahane Hyang Maha Suci nyuwon nagpuro yang Maha Kuasa, di dalam batin, maksudnya kesalahannya Yang Maha Suci mohon ampun Yang Maha Kuasa, diucapkan tiga kali.
d)   Kemudian duduk kembali dengan hening(tenang) seperti semula, setelah badan terasa terayun lagi, maka rasa mulai memanjat ke kepaladiikuti lagi kemudian waktu kepala menatap ke bawah ucapkan lagi di dalam batin tiga kali Hyang Maha Suci mertobat Hyang Maha Kuasa, artinya Yang Maha Suci mohon taubat Yang Maha Kuasa. Setelah itu duduk lagi seperti biasa, tenang sementara, maka selasailah satu sujud yang merupakan sujud dasar.
Menurut paham Sapta Darma setiap warga Sapta Darma yang te;ah melaksanakan  sujud dasar akan memperoleh sabda Tuhan untuk menolong sesama makhluk tanpa mengharapkan upah apapun juga. Sabda Tuhan tidak boleh diperjual belikan, barang siapa melanggarnya maka ia akan menerima hukuman Tuhan. Jadi mereka yang telah menerima Sabda Tuhan dapat mempergunakannya untuk mengobati orang sakit. Jika yang sakit adalah wanita maka yang menolongnya hendaknya juga wanita, begitu pula pasien pria adalah ditolong oleh pria, dan jika pasien  orang tua hendaknya orang tua juga kecuali dalam keadaan terpaksa. Cara pengobatan tersebut dinamakan “Sabda Waras” dan hendaknya tetap terjaga yang susila.[18]
e.    Hening dan Racut
Hening adalah perilaku menenangkan badan seluruhnya dengan menghilangkan semua angan-angan pikiran. Untuk sesuatu maksud yang boleh dilakukan sebelum melakukan sujud dasar. Maksud hening misalnya untuk :[19]
1)   Melihat atau mengetahui keadaan keluarga yang jauh atau untuk melihat segala sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan mata jasmani
2)   Murwakani, yaitu meneliti ucapan dan tindakan sebelum dilakukan
3)   Mengirim dan menerima telegram rasa
Hening itu dapat dilakukan dengan mata terbuka atau tertutup ketika sewaktu-waktu diperlukan. Sebaiknya dimulai dengan mengucap dalam batin ”Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rahim, Allah Hyang Maha Adil”. Maka berarti datanglah yang dimaksudkan. Hening seperti ini dapat dilaksanakan dalam berbagai keadaan.
Racut, adalah memisah rasa dengan pengrasa (angan-angan) dengan tujuan berlatih menghadap Yang Maha Suci terhadap Yang Maha Kuasa. Tetapi Racut itu harus didahului dengan melakukan sujud dasar ditambah dengan membungkuk satu kali sam bail mengucapkan :
“Hyang Maha Suci Sowan Hyang Maha Kuwasa (Yang Maha Suci menghadap Yang Maha Kuasa” setelah mengucapkan itu harus melakukan “Sedakep Saluku Tunggal” dan berbaring membujur ke Timur. Sedekep Saluku Tunggal artinya meletakkan kedua telapak tangan ke atas tulang tangkar kedua rususk dadabaris ketiga dari atas, jari tengah kanan terletak diatas jari tengah kiri. Kemudian hening melihat dengan rasa di Satria Utama. Ditunjukkan di atas ubun-ubun dari mana wujud keluarnya Nur Roh Suci untuk menghadap Hyang Maha Kuasa.
f.     Olah rasa dan semadi
Olah rasa adalah suatu cara untuk mencapai budi luhur yang harus dimiliki setiap Satria Utama, yaitu mereka yang ingin senantiasa waspada penuh “waskita” bijaksana dan melihat, mendengar, atau berkata ataupun mencium sesuatu bau. Dilakukan setelah selesai sujud dasar, lalu berbaring seperti Racut, kemudian kedua tangan diletakkan terlentang di kanan kiri badan. Pakaian yang terasa kencang dikendorkan agar tidak mengganggu jalannya rasa. Badan terlentang lemas, anagan-angan dan pikiran dikosongkan, lalu dirasakan jalannya rasa itu mulau dari ibu jari kaki ke atas samapi terasa di seluruh badan. Begitu pula jalannya darah dan denyut jantung.
Ke luar masuknya nafas agar benar-benar dirasakan senikmatnya, sehingga merata ke sel-sel seluruh badan, jika sudah nikmat betul jalannya nafas, telah dirasa terpisahnya Nafas, Nafas Tengah dan Nafas Bawah. Setelah rasa terkumpul di kepala atau ubun-ubun seterusnya dapat diarahkan apada tujuannya, misalnya untuk kewaspadaan mendengar diarahkan ke telingan, waspada melihat ke mata yang dapat dilakukan sewaktu-waktu. Tetapi untuk menghilangkan rasa lemah digunakan “tukar hawa” dengan cara tidur berbaring seperti olah raga dengan mengosongkan pikiran dan anagan-angan dengan membiarkan jalannya nafas.
Suatu hal yang hendaknya berhati-hati bahwa manusia itu mempunyai dua belas saudara, janganlah hendaknya kedua belas saudara itu atau salah satu dari padanya dapat menguasai seseorang dikuasainya bisa kelihatan seperti “orang gila” atau motah”. Kedua belas saudara manusia itu ialah :[20]

1.  Hyang Maha Suci                         7.  Suko Roso Kentjono
2.  Premono                                        8.  Mayangkoro
3.  Endro                                            9.  Gandarwarodjo (Sukmo Seno)
4.  Bromo                                           10. Nogotahun (Sukmo Nogo)
5.  Bayu                                              11. Djatingarang (Sukmo Djati)
6.  Suko roso                                      12. Bagendo Kilir (Sukmo Roso)
Jadi di dalam ajaran Sapta Darma dilakukan pula seperti Semadi yang khusus, yang dilakukan setelah Sujud Dasar Caranya ialah sesudah melakukan Sujud Dasar, pikiran dipusatkan dan rasa dipindahkan pada kedua belah tangan dengan ucapan “Njaluk Gerake Bagindo Kilir” (meminta geranya Bagindo Kilir)berkenan mengobati.
Semadi khusus ini dilakukan di ruangan “Sanggar” yang dijaga oleh seorang Panintun. Tata cara ini berbahaya jika sampai terjadi motah atau gila, karena penyelewengan di antara mereka. Untuk itu perlu diatur semacam perkenalan dengan kedua belas saudara itu satu persatu melalui Semadi. Yang bertindak sebagai panuntun adalah pimpinan pengurus Sapta Darma.[21]

3.    Agama Jawa Asli Republik Indonesia
a.    Latar belakang berdirinya
Aliran kepercayaan ini bernama agama djawa asli Republik Indonesia (ADARI) dari pendirinya adalah S.W Mangunwidjojo yang juga disebut ‘Djowowulu’ dan kemudian berganti nama ki Mangunwasito. Ia dilahirkan di Surakarta tahun 1892, berpendidikan sekolah rakyat dan sejak tahun 1922 bekerja di bengkel djawatan kereta api di pengok Yokyakarta sampai masa pensiunnya. Ia pernah masuk menjadi anggota Barisan Semedi Republik Indonesia (BASRI) yang dipimpin Ki Cokrowardoyo pendiri laskarv rakyat Kasunanan dan Mangkunegaran pada masa revolusi. Pada tanggal 1 Agustus 1946 pernah bertapa di Pesareyan (makam) Paku Buwono IX dialmogiri. Pada waktu itu ia mendapat ilham tentang ajarannya.[22]
    Ketika Yokyakarta diduduki Belanda (Nica) ia ditahan Belanda sebulan lamanya. Setelah Yokyakarta kembali ke tangan Republik Indonesia ia ditahan Corps Polisi Militer (CPM) selama 6 bulan dan dalam tahanan di penjara Wirogunan Yogyakarta ia memperoleh ajaran tentang ‘Manunggaling Kawulo Gusti’ yaiti bersatu dengan Tuhan atau Tuhan menitis pada diri seseorang.[23]
    Menurut Ki Manguwasito setelah runtuhnya Majapahit orang memasuki Islam, sewaktu penjajahan Jepang orang tunduk kepada Tenno Heika an sekarang setelah kemerdekaan kita harus memeluk agama Jawa asli.
b.    Nabi ADARI dan tujuannya
Menurut ajaran ADARI Gusti Yang Maha Esa telah manunggal menjadi satu dalam diri Bung Karno Presiden Republik Indonesia ketika itu, Bung Karno adalah Titisan Gusti Yang Maha Esa, yang berarti bahwa Bung Karno adalah titisan Tuhan dan sama dengan Tuhan., maka apa yang dikatakan dan lakukannya adalah tidak lain sebagai kata dan perbuatan Tuhan. Pancasila dan semua peraturan pemerintah Republi Indonesia sama dengan aturan Tuhan dan merupakan kitab agama bagi ADARI. Walaupun Bung Karno sendiri menolak dianggap sebagai Nabi (Harian Kedaulatan Rakyat 22 April 1959).[24]
Atas penolakan Bung Karno tersebut Ki Mangunwasito selaku pimpinan pusat ADARI mengemukakan alasannya mengapa ADARI menganggap Bung Karno sebagai Nabi, karena beliau memproklamasikan Kemerdekaan Rakyat Indonesia dan menciptakan Pancasila. Jadi Bung Karno adalah ‘Hyang Wasesa Ning Tunggal’. Tetapi ternyata ADARI tidak mengumpulkan dalil-dalil Nabinya Sukarno.
Tujuan ADARI adalah melaksanakan Pancasila, Kebebasan, Keadilan Sosial, Ketuhanan Yang Maha Esa dan mempertinggi kebudayaan Indonesia (Jawa Asli), yang dalam pelaksanannya :[25]
1)   Tidak menganut salah satu ideologi politik
2)   Ajaran Kebatinannya menuju Ketuhanan Yang Maha Esa yang asli dan kesempurnaan hidup.
3)   Mengadakan perkawinan sendiri, yang caranya harus ada persetujuan antara calon mempelai pria dan wanita dengan mufakat dari wali kedua pihak, disaksikan oleh pimpinan ADARI setempat dan diberikan sutar keterangan kawin dengan membayar Rp 8.50.
4)   Setiap hari Ahad mengadakan selamatan yang disebut Rasulan,
5)   Tidak menarik Iuran (Kami Kartapradja, 1990: 171).
Bahwa lebih lanjut dikemukakan pengertian ajaran ‘Jawa Asli’ bukankah suatu hal yang pokok, bukan pula nama ilmu atau nama organisasi, tetapi sekedar titik tolak ajarannya, yang terlepas dari  ajaran kitab-kitab Al-Qur’an, injil dan Taurat dan tidak pula mengambil dari kitab-kitab yang ada. Begitu juga do’a atau mantera-mantera bukan bersumber dari kitab-kitab tersebut. Kesemua ajarannya diberikan dengan lisan dan ibadahnya bukan bersendikan agama, melainkan mengutamakan kebaktian kepada ‘Pengeran Pribadi’  (Tuhan Dirinya).[26]
c.    Keanggotaanya dan Kegiatannya
Bagi seseorang yang akan masuk menjadi anggota ADARI harus terlebih dulu membersihkan diri dengan berpuasa tujuh hari, setelah itu barulah kepadanya diberikan pelajaran seperlunya. Seseorang yang telah membersihkan diri itu akan lebih mudah bertemu dengan Pengeran Pribadi (Tuhan).
Ketika perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia Ki Mangunwasito alias Djoyowulu pernah kirim surat kepada Presiden Republik Indonesia yang mengatakan bahwa ia selalu melakukan ‘tapa brata kungkum’, yaitu tapa dengan berendam diri di kali Opak setiap ‘selapan dina’ (35 hari) sekali dan para anggota pengikutnya diperintahkan melakukan ‘tirakat puasa mutih’  yaitu hanya makan nasi saja dan meminta kepada tuhan agar:[27]
1)   Tuhan Yang Maha Esa melindungi tentara kita,
2)   Tuhan Yang Maha Esa member bimbingan yang baik kepada pemimpin-pemimpin kita,
3)    Tuhan Yang Maha Esa lekas memasukkan Irian Barat ke wilayah Republik Indonesia,
4)   Tuhan Yang Maha Esa menghancurkan koruptor-koruptor,
5)   Pemberontak-pemberontak mendapat hukuman yang setimpal
6)   Pemerintah Republik Indonesia lekas membuat undang-undang Perkawinan
7)   Pemerintah mengakui ADARI sebagai agama seperti agama-agama yang lain.
Para anggota ADARI dalam melakukan kegiatan keagamaan sehari-hari ialah dengan cara duduk mengheningkan cipta, setiap pagi menghadap kea rah Timur, siang ke atas, sore ke Barat dan malam semadi.[28]
Jika menghadiri acara perkawinan atau acara lainnya, para anggota memakai pakaian serba hitam. Hari Raya bagi ADARI adalah tanggal 1 Syura, yaitu ‘tanggap warsa’ (Tahun Baru) dan tanggal 17 Pasa (Ramadhan) dianggap hari kemerdekaan karena tanggal 17 Agustus 1945 jatuh bertepatan dengan tanggal 17 Pasa 1876 H.[29]




























BAB III
PENUTUPAN

A.  Kesimpulan
1.    Aliran kepercayaan menurut M. As’ad El Hafidy, ialah suatu paham dogmatis, terjalin dengan adat istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa yang masih terbelakang. Pokok kepercayaannya, apa saja adat hidup nenk moyangnya sepanjang masa.
2.    Latar belakang munculnya aliran-aliran kepercayaan ditandai dengan masuknya Islam tarekat, politik adu domba, dan zaman kemerdekaan.
3.    Sebab-sebab munculnya aliran-aliran kepercayaan
a.    Karena salah terima
b.    Mencampur aduk faktor-faktor penting yang diambil dari sumber-sumber pelajaran agama
c.    Sengaja mengadakan aliran-aliran baru dalam kepercayaan
d.   Ingin memasyhurkan namanya
e.    Bermaksud menenangkan jiwa
f.     keuntungan kekayaan pribadi
g.    Beranggapan bahwa “bunyi UUD 1945 pasal 18 ” adalah kesempatan untuk menjelmakan aliran-aliran baru dalam kepercayaan.
4. macam- macam aliran-aliran kepercayaan.
a. Agama Baha’i
b. Agama Sapta Dharma
c. Agama Jawa Asli Republik Indonesia











DAFTAR  RUJUKAN
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, Puslitbang Kehidupan Keagamaan. 2010. Aliran-Aliran Keagamaan Aktual di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat        Kementrian Agama
Hadikusuma, Hilman. 1993. Antropologi Agama. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
Permadi, K. 1992-1993. Pandangan Aliran Kepercayaan Terhadap Islam. Departemen     Pendidikan Dan Kebudayaan RI. Direktorat Jendral Kebudayaan. Direktorat            Pembinaan Penghayatan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Ritchard, Evans. 1983. Teori-teori Tentang Agama Primitif. Yogyakarta: PLP2M
Mulder, Niels. 1984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta: PT Gramedia




[1] K. Permadi, Pandangan Aliran Kepercayaan terhadap Islam (Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI. Direktorat Jendral Kebudayaan. Direktorat Pembinaan Penghayatan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 1992-1994), hal. 8
[2] Ibid., hlm. 2
[3] Ibid., hlm. 3
[4] Hilman Hadi Kusuma, Antropologi Agama, Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 85-86

[6] Ibid, hal. 86-89
[7] K. Permadi, Pandangan Aliran Kepercayaan terhadap Islam (Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI. Direktorat Jendral Kebudayaan. Direktorat Pembinaan Penghayatan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 1992-1994),  hlm. 17-18

[8] Ibid., hlm. 18
[9]Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, Puslitbang Kehidupan Keagamaan.  Aliran-Aliran Keagamaan Aktual di Indonesia, ( Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama).  hal. 210
[10] H. Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (PT. Citra Aditya Bakti, 1983). Hal, 99
[11]Ibid, 100
[12] Hilman, Hadikusuma, Antropologi Agama bagian I, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993) hal. 111
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid, hal. 113
[16] Ibid, hal. 114
[17] Ibid, hal. 115
[18] Ibid
[19] Ibid. hal. 116
[20] Ibid , hal. 118
[21] Ibid, hal. 119
[22] Hadikusuma Hilman, Antropologi Agama Bagian 1,Pt Citra Aditya Sakti, Bandung : 1993, hal. 119
[23] Ibid,.
[24] Hadikusuma Hilman, Antropologi Agama Bagian 1,Pt Citra Aditya Sakti, Bandung : 1993, hal. 120
[25] Ibid,.
[26] Hadikusuma Hilman, Antropologi Agama Bagian 1,Pt Citra Aditya Sakti, Bandung : 1993, hal. 121
[27] Ibid,.
[28] Hadikusuma Hilman, Antropologi Agama Bagian 1,Pt Citra Aditya Sakti, Bandung : 1993, hal. 121
[29] Ibid,.

4 komentar:

  1. wahhh.................buruk sekali makala anda ini............ koreksi kembali lah ya...

    BalasHapus
  2. bagus, saya sendiri juga penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Rahayu 3X

    BalasHapus
  3. Jawa..JAya ing jiWA.., Wong Jawa Bali Jawane..

    BalasHapus

GALERI

Photobucket