BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Tidak
dapat dipungkiri bahwa manusia selalu haus akan rasa ingin tahu terhadap dzat
yang menciptakan dan memberikan rasa aman. Berbagai macam aktivitas ibadah
dengan berbagai ritualnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rohani dalam
rangka mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan. Mulai dari peribadatan terbuka
hingga ritual secara sembunyi-sembunyi dilakukan untuk mendapatkan tujuan
tersebut. Di Indonesia, hal yang demikian sudah tidak asing lagi. Gejala umum
yang tampak antara lain munculnya berbagai macam aliran kepercayaan, yang biasa
disebut dengan kebatinan, tasawuf, ilmu kesempurnaan, teosofi, mistik atau
dengan sebutan yang lain.
Munculnya berbagai macam aliran kepercayaan di Indonesia membuat
sebagian pihak merasa resah. Kita tidak bisa dengan mudah merubah apa yang
mereka yakini, karena tiap individu memiliki hak atas lepercayaannya. Oleh
karena itu penting adanya pengetahuan mengenai keberadaan mereka serta hal-hal
yang mendasari kepercayaan yang mereka anut.
Makalah ini akan menjelaskan tentang sejarah munculnya aliran
kepercayaan di Indonesia disertai dengan beberapa contoh aliran yang ada di
Indonesia saat ini. Sehingga diharapkan masyarakat dapat memahami serta tidak mudah
menyalahkan kepercayaan orang lain.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
hakekat dari aliran kepercayaan?
2.
Bagaimana sejarah munculnya aliran kepercayaan di
Indonesia?
3.
Apa sebab-sebab
munculnya aliran-aliran kepercayaan?
4.
Apa saja aliran
kepercayaan yang ada di Indonesia?
C.
Tujuan
Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan
makalah yaitu:
1.
Mengetahui hakekat dari aliran kepercayaan
2.
Mengetahui
sejarah munculnya aliran kepercayaan di Indonesia
3.
Mengetahui
sebab-sebab munculnya aliran-aliran kepercayaan
4.
Mengetahui aliran
kepercayaan yang ada di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Aliran Kepercayaan
Menurut M. As’at El
Hafidy, aliran adalah suatu cabang daripada faham yang rentannya masih berinduk
dari salah satu Agama (Madzhab, Orde, sekte dan lain-lain).[1]
Sedangkan kata
kepercayaan menurut ilmu makna kata (semantik), mempunyai beberapa arti:
a.
Iman kepada
agama.
b.
Anggapan
(keyakinan) bahwa benar sungguh ada, misalnya kepada dewa-dewa dan orang-orang
halus.
c.
Dianggap benar
dan jujur, misalnya orang kepercayaan.
d.
Setuju kepada
kebijaksanaan perintah atau pengurus.
Kata kepercayaan
menurut istilah (terminologi) di Indonesia pada waktu ini ialah keyakinan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa di luar agama atau tidak termasuk ke dalam
agama.Pengertian tersebutdi atas adalah pengertian “kepercayaan” yang diberikan
oleh Prof. Kamil Karthapraja di dalam bukunya “Aliran Kebatinan dan Kepercayaa
di Indonesia”.[2]
A.L. Huxley di dalam
bukunya The Parennial Philosiphy, seseorang pengarang dan ahli filsafat di
negeri Inggris, menyebutkan empat arti:
a.
Percaya/mengandalkan
(kepada orang tertentu).
b.
Percaya (faith)
kepada wibawa (dari para ahli di suatu bidang il mu pengetahuan).
c.
Percaya
(belife) kepada dalil-dalil yang kita sendiri tidak dapat menceknya, apabila kita mempunyai kesediaan, kesempatan,
dan kemampuan untuk itu.
d.
Percaya
(belife) kepada dalil-dalil, yang kita ketahui, bahwa kita tidak dapat menceknya, sekalipun kita
menghendakinya.
Huxley berpendapat,
bahwa ketiga arti yang pertama mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan
sehari-hari dan dalam arti yang keempat itu dipandangnyasama dengan apa yang
biasa disebut “kepercayaan agamani”.
Kamus umum
Purwadarminto 1976, menyatakan bahwa kepercayaan mempunyai pengertian:[3]
a.
Anggapan atau
keyakinan bahwa benar (ada, sungguh-sungguh).
b.
Sesuatu yang
dipercayai (dianggap benar).
Menurut Prof. Kamil Kartapradja dari IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta dan Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa aliran kepercayaan adalah
keyakinan dan kepercayaan rakyat Indonesia di luar agama, dan tidak termasuk ke
dalam salah satu agama. Aliran kepercayaan itu ada dua macam:
1.
Kepercayaan yang sifatnya tradisional dan animistis,
tanpa filosofi dan tidak ada pelajaran mistiknya, seperti kepercayaan
orang-orang Perlamin dan Pelebegu di Tapanuli.
2.
Golongan kepercayaan yang ajarannya ada filosofinya, juga
disertai mistik, golongan inilah yang disebut atau menamakan dirinya golongan
kebatinan. Golongan kebatinan ini dalam perkembangannya akhirnya menamakan
dirinya sebagai Golongan Kepercayaan Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.[4]
Jadi aliran kepercayaan
menurut M. As’ad El Hafidy, ialah suatu paham dogmatis, terjalin dengan adat
istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa yang masih terbelakang. Pokok
kepercayaannya, apa saja adat hidup nenk moyangnya sepanjang masa.
B.
Latar Belakang
Sejarah
Seperti keagamaan Suku Batak, Suku Dayak, Suku di Nusa
Tenggara Timur dan keagamaan orang Jawa. Yang menunjukkan bahwa sejak zaman
kuno, sebelum masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Kristen, dan
Islam, berbagai suku bangsa di Indonesia sudah menganut animisme, kepercayaan
kepada roh-roh ghaib, yang kemudian bercampur dengan agama-agama dunia yang
masuk di Indonesia, terutama agama Islam.[5]
1.
Masuknya Islam Tarekat
Agama Islam yang masuk di Indonesia bukan lagi Islam yang
murni tetapi yang sudah dipengaruhi ajaran mistik
(tarekat). Tarekat (jalan) adalah suatu aliran dan gerakan yang tumbuh dalam
masyarakat Islam dan kehormatan yang diberikan orang kepada para pemimpinnya.
Aliran-aliran tersebut memakai nama menurut nama pemimpinnya. Aliran-aliran
tarekat yang masuk di Indonesia misalnya Tarekat Syathariah (abad 16-17) yang didirikan Syekh Syatari, Tarekat Qadiriah
yang didirikan Abdul Qadir Jailani (wafat 1165), Tarekat Naksabandiyah yang didirikan Bahaudin Naksabandi (wafat 1315),
Tarekat Syadzaliah yang didirikan
Abdul Hasan Syadzali (wafat 1258), dan kemudian Tarekat Samaniyah, dan ada juga Tarekat Rifaiyah
yang didirikan Ahmad Rifa’i (wafat 1182).
Pada umumnya tujuan tarekat-tarekat itu adalah untuk
mencapai hakikat Ketuhanan, yang biasanya ditempuh oleh para anggota
(murid-muridnya), dengan melakukan bai’at
(janji) lebih dulu ketika memasuki tarekat, kemudian berusaha melalui empat
tingkat yaitu “syari’ah” (mempelajari
hukum), “tarekat” (menempuh cara-cara
tertentu), “ma’rifat” (mengetahui
ketuhanan) dan terakhir “hakekat”
(kebenaran yang tertinggi).
Di antara tarekat-tarekat itu terdapat yang menyimpang,
misalnya Tarekat Rifaiyah lambat laun
bukan lagi megutamakan pelajaran ibadah melainkan lebih menonjolkan seni pertunjukannya
melukai diri seperti permainan debus
dan sebagainya. Atau tarekat-tarekat itu mendalami ajaran yang sifatnya ekstrim
dan dapat diperalat untuk melakukan pemberontakan terhadap penguasa dan
sebagainya.
2.
Politik Adu Domba
Selama penjajahan Belanda sebagian besar pemberontakan
rakyat terhadap Belanda dilakukan oleh gerakan yang berlatar belakang
kepemimpinan Islam yang didukung kaum tarekat. Misalnya di Jawa sejak zaman
Sultan Agung Mataram, Pangeran di Ponegoro. Pihak Belanda untuk dapat menumpas gerakan
perlawanan rakyat itu memperalat para bangsawan pemuka adat, sehingga antara
golongan adat dan agama di adu domba.
Selain tidak ada lagi perlawanan rakyat, maka kehidupan
tarekat-tarekat dan pendidikan agama Islam dicurigai. Begitu pula dilakukan
politik adu domba penganut Islam modern (Muhammadiyah) yang diberi cap Wahabi, dengan penganut Islam (Nahdlatul
Ulama) Ahlussunnah, yang disebut kaum
lama. Perpecahan umat Islam ini berkelanjutan sampai zaman kemerdekaan.
Sementara itu misi Kristen mendapat kesempatan berkembang bebas dan baik.
3.
Zaman Kemerdekaan
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka perkembangan agama dan pendidikan
Islam berangsur maju di bawah bimbingan Departemen Agama. Begitu pula
aliran-aliran kepercayaan tumbuh dan berkembang di bawah pimpinannya yang
cendikiawan, sehingga aliran lama muncul kembali dan yang baru tumbuh subur
dengan bermacam ragamnya. Sehingga ada di antara kelompok aliran kepercayaan
itu yang dapat diperalat Partai Komunis Indonesia sampai meletusnya G30S/PKI.
Di masa orde baru suasana berubah. Umat Islam mereda dari
pertikaian masalah ‘furu’’ dan ‘khilafiyah’ yang diwarisi dari zaman
Hindia Belanda, kemajuan pendidikan Islam telah melahirkan sarjana-sarjana
Islam yang menyadari pentingnya persatuan Islam, diskusi-diskusi ilmiah tentang
Islam terus meningkat, tempat-tempat beribadah bertambah baik, umat beragama
diarahkan pada kerukunan seagama dan kerukunan antar agama. Sementara itu
aliran kepercayaan tumbuh berkembang dan menurut kesamaan haknya dan
kedudukannya dengan agama yang resmi diakui, dan di sana sini timbul masalah sosial
keagamaan yang baru, misalnya masalah pedukunan dan perkawinan.[6]
C.
Sebab-Sebab
Munculnya Aliran-Aliran Baru Dalam Kepercayaan
Sebab-sebab munculnya
aliran-aliran baru dalam kepercayaan menurut M. As’ad El Hafidy:[7]
a.
Karena salah
terima, salah faham di waktu menerima pelajaran dari guru agama yang mengambil
kiasan dan perlambang, ber dasar kebatinan mendalam dan falsafah yang
berpengertian rangkap (berkalimat banyak arti).
b.
Mencampur aduk
faktor-faktor penting yang diambil dari sumber-sumber pelajaran agama,
mengambil salah satu lafadz dan kalimat dari ayat atau bahasa Arab dengan
diberi arti-makna sesuka hatinya, sehingga terjadilah kekliruan murod dan
maksudnya dan hilanglah azas tujuan lafdz kalimatt yang asli.
Sehingga muncullah golongan Islam Mutihan
dan Islam Abangan.
c.
Sengaja
mengadakan aliran-aliran baru dalam kepercayaan, mistik atau kebatinan dengan
dalil “mengembalikan jiwa asli” karena agama Hindu dari India, agama Yahudi,
agama Masehi dari Eropa dan Islam Dari Arabia.
d.
Ingin
memasyhurkan namanya, membuka praktek perdukunan, meramalkan kebahagiaan, ilmu
rajah, perbintangan, bahkan terdapat yang mengharap-harap kedatangan Ratu Adil,
Imam Mahdi, Jayabaya, Heru Cokro dan lain-lain.
e.
Bermaksud
menenagkan jiwa, gemar menyendiri, bersemedi, bertapa dan mengamalkan Ascetisme
(zuhud, riyadhatan nafs) karena berpendapat “suasana keadaan dunia dewasa ini
terasa telah penuh berbagai penderitaan batin”.
f.
Bukan tidak
mungkin dalam suasana yang serba kacau, pencipta aliran-aliran baru memasang
gejala-gejala untuk keuntungan kekayaan pribadi. Jaringan-jaringannya
dikembangkan dengan propaganda aliran-aliran tersebut dengan nama-nama yang
menarik.
malah
ada pula yang sampai hati mempergunakan gelar-gelar kanjeng, kiyai, Bendoro,
Resi, Hajar, Begawan, bahkan menobatkan diri Nabi, penerima wahyu langsung dari
Tuhan. Dan yang sangat terlalu menganggap dirinya sedrajat dengan Tuhan.
g.
Beranggapan
bahwa “bunyi UUD 1945 pasal 18 ” adalah kesempatan untuk menjelmakan
aliran-aliran baru dalam kepercayaan. Setiap rang berhak atas kebebasan
beragama, keinsyafan batin dan fikiran, dijadikan alasan pokok umum menciptakan
agama baru yang dianggap sesuai untuk kepentingannya sendiri.
Menurut Abdurrahman
Wahid, sesuai faktor dalam perkembangan pesat dari aliran-aliran kebatinan
adalah “kegagalan hicrarchi dan struktur agama-agama besar di Indonesia untuk
memberikan pemecahan bagi persoalan-persoalan sosial yang pokok dari kehidupan
masyarakat dewasa ini”.[8]
Selain pendapat di atas
munculnya aliran keagamaan tidak terlepas dari faktor internal dan eksternal.
Faktor internal antara lain disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran
terhadap pokok-pokok ajaran agama, penekanan pengalaman agama secara eksklusif
yang hanya mengakui paham mereka saja yang benar sedangkan paham lain dianggap
sesat. Sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh pemikiran dari luar, seperti
pemikiran yang dianggap liberal atau literal dalam memahami teks-teks agama,
serta faktor politik.[9]
D. Aliran-Aliran Kepercayaan
1.
Agama Bahai
a.
Latar Belakang
Berdirinya
Di negara
Iran (Parsi) ada seseorang yang bernama Ali Muhammad As-Syaironzi pada tanggal
5 Jumadil Ula 1260 H (1844 M) mengangkat dirinya menjadi pesuruh Tuhan dengan
gelar “Bab” (pintu). Ia mengemukakan dan menyuruh agar semua orang bersiap-siap
untuk menerima kedatangan ‘Al-Mahdi Al-Munthadar’, yaitu Nabi yang akan datang
di muka bumi ini untuk mempersatukan umat manusia.tapi pada tahun 1850, ia
bersama pengikutnya dihukum mati karena mengganggu jalannya pemerintahan Iran.
Setelah
peristiwa tersebut pada tahun 1863datang lagi seseorang yang bernama Mat Husin
Al-Basyaro’i yang menyatakan dirinya sebagai Nabi yang dikatakan As-Syaironzi.
Orang ini berasal dari keturunan bangsawan Iran bernama Baha’ullah (Kemuliaan
Tuhan). Dari nama tersebut asal nama agama Baha’i yang artinya ialah agama
Kemuliaan.
Begitu
raja Iran mengetahui berita tersebut maka raja memerintahkan agar Baha’ullah
itu disingkirkan dan diasingkan ke Akka. Dari tempat pengasingan itulah ia
menyampaikan ajaran-ajarannya. Pada tahun 1892 sebelum Baha’ullah wafat ia
menunjuk putra sulungnya bernama Abdul Baha’ untuk meneruskan ajaran-ajarannya.
Begitu pula kemudian abdul Baha’ sebelum wafat ia telah menunjuk putranya Shogi
Effendi sebagai penerus ajaran kakeknya. Shogi Effendi ini wafat pada tanggal 4
November 1957 dan kini ajaran Baha’i ini telah menyebar ke berbagai penjuru
dunia termasuk di Indonesia.[10]
Apabila
diperhatikan apa yang dikatakan Bab cikal bakal agama tentang akan datangnya
‘Al-Mahdi Al-Muhtadhar’, maka agama ini berusaha mentenarkan paham Syi’ah
Imamiyah (imam 12) Muhammad Bin Hasal Al-Askary (255-260 H) yang ghaib di
Sardab, sebagai orang pertama yang meniupkan tentang Imam Mahdy.
b.
Kitab Suci
Kitab
suci agama Baha’i ialah sekumpulan dari berbagai amanat Ali Muhammad
As-Syaironzi alias Bab dan ajaran-ajaran Bahaullah, yang semula terpisah-pisah
dalam beberapa buku dan catatan, yang ditulis dalam bahasa Arab dan Parsi.
Dalam kitab ini juga terdapat tafsiran yang dibuat oleh Abdul Baha’, sedangkan
isinya yang lain tidak semata-mata tentang keagamaan tetapi juga tentang
keduniawian, seperti soal sosial, politik, dan ekonomi.[11]
Di
Indonesia kitab Baha’i diterbitkan oleh Majelis Rohani Baha’i Jakarta dan
dicetak dalam berbagai bahasa daerah, seperti bahasa Jawa, Sunda, Bugis,
Makasar, Minangkabau, dan bahasa Indonesia.
c.
Dasar-dasar Kepercayaan
Dasar-dasar
kepercayaan dalam agama Baha’i ada 5, yaitu:
1.
Percaya kepada
Tuhan Yang Maha Esa
Menurut
paham agama Baha’i semua ajaran dan syari’at agama dan ketuhanan yang
diturunkan Tuhan dari langit (samawi) dengan berbagai istilah dan sebutan.
2.
Percaya kepada
Nabi Baha’ullah
Dalam
agama ini mempercayai bahwa Nabinya ialah Nabi Baha’ullah yang datang untuk
mempersatukan berbagai agama sehingga menjadi satu agama saja.
3.
Percaya bahwa
manusia itu pada hakikatnya satu
Kepercayaan
ini menganggap semua manusia itu satu pada hakikatnya. Meskipun ada yang
kulitnya hitam dan putih tetapi semuanya berasal dari satu keturunan, bagaikan
sebuah pohon yang satu.
4.
Percaya bahwa
semua agama itu bertujuan sama
Mereka
mempercayai bahwa semua agama itu mempunyai tujuan yang sama, semuanya berasal
dari Tuhan yang satu, dan dari satu kebenaran.
5.
Percaya bahwa
Bab adalah utusan istimewa Tuhan
Kepercayaan
kepada Bab sebagai Rasul Tuhan yang istimewa, karena dia yang pertama kali
menyatakan sebagai Nabi yang dijanjikan untuk seluruh umat manusia.
d.
Ajaran Etika
Sebagaimana
para Nabi telah mendapat petunjuk dari Tuhan untuk membimbing umat manusia,
begitu pula Nabi Baha’ullah telah mendapat petunjuk, sebagaimana diajarkan
Abdul Baha di bawah ini,
1.
Janganlah
berperilaku yang membuat orang berduka cita, ramahlah terhadap semua orang,
sayangilah sesama manusia dengan hati yang murni, janganlah perduli apa pun
yang datang pada anda sekalipun anda ditantang atau dilukai. Jika terjadi bencana
yang hebat, bergembiralah, karena hal itu adalah karnia dari Tuhan.
2.
Janganlah suka
mengemukakan kesalahan orang lain, berdo’alah untuk mereka, tolonglah mereka
dengan kebaikan hati agar mereka memperbaiki kesalahan mereka. pandanglah
selalu yang baik dan jangan memandang yang buruk.
3.
Jangan
mengucapkan satu katapun yang tidak baik tentang orang lain, walaupun musuh
sekalipun. Lakukanlah perbuatan-perbuatan dengan baik hati. Pisahkanlah hati
dari dirimu dan dari dunia. Rendahkanlah hati dan saling mengabdi dan
mengetahui bahwa diri itu ada lebih kurang dari siapapun juga.
4.
Berperilakulah
seolah-olah kita satu jiwa dalam banyak raga. Semakin banyak sayang menyayangi
semakin dekat dengan Tuhan. Bertindaklah hati-hati dan bijaksana, berkatalah
sebenar-benarnya, terimalah dengan ramah siapa saja yang datang padamu dan
indahkanlah sesamamu.
5.
Usahakanlah
kesembuhan bagi orang yang sakit, hiburlah orang yang dalam duka, air sejuk
bagi setiap dahaga, hidangan lezat bagi yang lapar, bintang bagi setiap kaki
langit, cahaya bagi setiap lampu, pembawa kabar baik bagi setiap orang yang
rindu pada kerajaan Tuhan.
e.
Kehidupan
Sesudah Mati
Menurut
Agama Baha’i bahwa kehidupan didunia ini adalah persiapan menghadapi kehidupan
dalam alam ghaib, yaitu alam roh yang tidak pernah mati. Apabila roh di dalam
badan ketika hidup didunia itu baik, maka ia akan hidup sempurna dan penuh di
alam roh, akan tetapi jika roh di dalam badan ketika hidup di dunia buruk maka
ia akan menjadi tidak sempurna dan tidak penuh di alam roh yang abadi, karena
tidak dekat dengan kerahmatan Tuhan.
Pada
dasarnya agama ini tidak mengenal surga dan neraka. Apa yang dikatakan mereka
‘surga’ adalah dekat dengan Tuhan. Sedangkan ‘neraka’ berarti jauh dari Tuhan.
Kehidupan baik manusia di dunia berarti ia akan mencapai kedamaian, mendapatkan
karunia rohani, terkabulnya keinginan hati, dan bertemunya dengan Tuhan dalam
alam abadi. Bagi kehidupan yang buruk di dunia, akan mendapatkan hukuman berupa
pencabutan berkah, pencabutan anugerah, dan jatuh dalam kehidupan yang sangat
rendah.
Karena
dalam kenyataan prakteknya ajaran agama Baha’i ini dilaksanakan para
penganutnya memecah belah dan mengacaukan kehidupan masyarakat maka agama ini
di Indonesia telah dilarang oleh pemerintah Republik Indonesia bedasarkan Surat
Keputusan Perdana Menteri No. 122/PM/1959 tanggal 21 Maret 1959.
2.
Agama Sapta
Darma
a.
Latar belakang
berdirinya
Ketika zaman revolusi kemerdekaan tahun 1947 seorang bernama Hardjo
Sapoetra yang biasa dipanggil pak Sepuro berasal dan dilahirkan di desa Sanding
Kawedanan Pare Kediri pada tahun 1910. Berpendidikan sekolah rakyat lima tahun
(1925), pernah menjadi pandu Kepanduan Sosrowidjajan (1937, pekerjaan tukang
pangkas. Pada masa revolusi pernah ikut menjadi anggota pemuda Pesindo (pemuda
Sosialis Indonesia)
Selain pekerjaannya sebagai tukang cukur pak Sepuri ini mempunyai
pengetahuan ilmu dukun dapat mengobati orang sakit. Ilmunya ini bersumber dari
orang bernama R.M. Suwono di Yogyakarta. Caranya mengobati orang sakit ialah
dengan melakukan tafakur dan semedi, pada setiap waktu ganjil, misalnya pukul
1,3, 5, 7, 9 dan seterusnya, dengan duduk menghadap ke timur beberapa menit
lamnya untuk menghilangkan rasa dan menggambarkan diri sendiri, sampai ia
mendapatkan rasa yang luar biasa dari lingkungan pusar manusia. Demikian
caranya untuk mendapatkan tenaga dalam mengobati orang. Kalau tidak sempat
melakukan semadi pada setiap jam ganjil maka boleh sekaligus diambil dalam
waktu satu jam sehari. [12]
b.
Panuntun Agung
Sri Gautama
Lambat laun pengikutnya bertambah banyak yang terdiri dari kalangan
pemuda, para pegawai negeri ada juga dari kalangan ABRI. Kepada para
pengikutnya ia menyatakan bahwa ia pernah mendapatkan ilham dari Tuhan agar ia
menggunakan getar ke-Nabian ‘Sri Gautama” (Sri : pemimpin, Gutama, Marga Utama
atau jalan kebenaran). Jadi dari nama Hardjo Saputro ia kemudian menggelari
dirinya Sri Gautama atau lengkapnya “ Penuntun Agung Sri Gautama” yang berarti
Pemimpin jalan kebenaran, sebagaimana mana seorang Nabi atau Sang Budha.[13]
Setelah revolusi kemerdekaan selesai untuk beberapa waktu tidak
terdengar kegiatan Sapta Darma. Tiba-tiba setelah tahun 1956 Sri Gautama muncul
kembali dengan ajaran-ajarannya di Yogyakarta,
Semarang dan beberapa tempat di Jawa tengah. Kemunculannya sekali ini
didampingi oleh seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada bernama
Sri Suwartini yang kemudian bergelar Sri Pawenang. Tempat kedudukan Sapta Darma
tidak lagi di Kediri tetapi dipindahkan ke Yogyakarta sampai tahun 1961 Sapta
Darma telah mempunyai cabang-cabang tidak saja di pulau jawa, tetapi juga di
Sumatra, seperti di Lematang (Palembang), Pringsew (Lampung dan juga Medan)
Hardjosapoetra yang bergelar Penuntun Agung Sri Gautama (Rsi
Brahmana) alias penggembala jalan kebenaran yang tujuh itu, wafat pada tanggal
16 Desember 1963 dan jenazahnya dibakar kemudian abunya dilarung ke laut.
Pemimpin pendukunan itu sudah tidak ada, tetapi mewariskan ilmu kepada para
muridnya yang kerapkali menyebabkan timbulnya penyakit saraf, dan menimbulkan
kegelisahan masyarakat setempat.[14]
c.
Pokok ajaran
dan kitab suci
Pada mulanya pak Sepuro di samping kegiatannya menjadi dukun
mengobati orang sakit, ia juga menanamkan ajaran kepada para pengikutnya agar
percaya kepada Tuhan dan percaya kepada diri sendiri, cintailah sesama manusia
dan hiduplah bertolong-tolongan. Di samping itu ia menafsirkan ramalan-ramalan Jaya Baya yang menyatakan akan datangnya
Ratu Adi asal kerajaan Ketangga
(Madiun) dan penjelmaan Kyai Semar yang bergelar Herucakra Asmarantra.
Kemudian dikatakannya bahwa agama Islam, Kristen, Hindu, Budha itu kelak akan
lenyap lebur bersama ke dalam agama Sapta Darma.
Selanjutnya menurut Sri Gautama dalam menjelaskan arti dari isi
agama Sapta Darma bahwa Sapta artinya tujuh, Darma artinya tuntutan atau
pedoman, yang terdiri dari :[15]
1)
Setia kepada
Pancasila Tuhan yaitu : Yang Maha agung, Maharahim, Maha adil, Mahawesesa
(Kuasa) dan yang langgeng (abadi)
2)
Agar jujur dan
setia hati dan setia hati, setia menjalankan undang-undang negara.
3)
Ikur serta cancut tali wanda (siap sedia
sewaktu-waktu) mempertahankan tegaknya negara, nusa dan bangsa.
4)
Menolong siapa
saja yang memerlukan dengan tidak mengharap balasan bantuan apapun
5)
Berani hidup
dengan kepercayaan dan kekuatan diri sendiri
6)
Tindakan kepada
warga harus “Bebarayan” (gotong
royong) bersama-sama dengan halus dan sopan santun serta memberikan “pepadhang” (penerangan) sehingga
memuaskan.
7)
Yakin dan
percaya bahwa dunia ini tidak langgeng (kekal) “owah gingsir” (berubah-ubah), ”cakra
manggilingan” (berputar seperti roda, sekali diatas, sekali dibawah)
Sepeninggal Srigutama ajaran-ajarannya dilanjutkan oleh beberapa
orang penuntun seperti Rr. Suwartini SH yang menjadi Sri Pawenang dan lainnya
seperti pak Kasdi, R. Soepeno Surjosugondo, R. Rachmat Wirjokusumo dan R.S.
Soegondo. Atas usaha para penerus ini maka buah ilham dan ajaran Sri Panuntun
Gutama dikumpulkan dan dibukukan sehingga menjadi kitab suc yang disebut “Wewarah Agama Sapta Darma” . kitab suci
tersebut kemudian diterbitkan oleh yayasan Srati Darma Yogyakarta. Selain kitab
ini Sapta Darma mempunyai kelompok penyebar agamanya, yang menyebarkan berbagai
buku, siaran bergambar tentang ajarannya yang dibagikan dengan percuma kepada
para penganutnya. Di dalam kitab suci tersebut juga terdapat uraian pahamnya
tentang roh dan alam serata cara-cara bersembahyang.[16]
d.
Alam, roh, dan
sembahyang
Menurt pahan Sapta Darma alam itu terbagi menjadi tiga yaitu alam
wajar yakni dunia kita sekarang, kemudian alam abadi yakni alam kaswargaan dan
alam halus yaitu alam roh-roh yang penasaran.
Alam wajar adalah temapt umat Sapta Darma meyakini dan melaksanakan
Sapta Darma dan Pancasila Allah, yaitu dunia sekarang sebagai tempat
persinggahan untuk menuju ke alam kaswargaan yang merupakan idaman. Alam abadi
adalah temapt yang langgeng dimana semua manusia meyakini dan mengamalkan Sapta
Darma dan Pancasila Allah. Sedangkan alam halus adalah tempat para roh yang
penasran karena tidak sanggup langsung menuju alam kaswargaan. Jadi tempat
khusus bagi pelarian semua roh yang belum mampu naik ke tempat asalnya dengan
demikian umat yang banyak dosanya selama masih hidup di alam wajar tidak mampu
memasuki alam abadi. Dengan demikian roh-roh tersebut penasaran dan tidak
dapatkembali ke hadapan Yang Maha Kuasa di tempat yang langgeng dan abadi.
Untuk tidak menjadikan roh kita kelak menjadi penasaran maka harus dilaksanaka
Sapta Darma dan sembah-yang (sembayang)
Bagi warga Sapta Darma di dalam sehari semalam wajib dilakukan
sembahyang atau sujud satu kali, dan sebaiknya lebih dari satu kali. Cara
melakukan sembahyang atau itu sebagai berikut :[17]
a) Duduk tegap dan menenangkan tubuh dan pikiran, bagi pria duduk
bersilah dan bagi wanita bersimpuh lalu mengucapkan Allah Yang Maha Agung.
Allah Maha rakhim, Allah Yang Maha Adil.
b) Tetep duduk dengan mengheningkan rasa dengan mata terpejam. Apabila
rasa telah dirasakan berkumpul di kepala, pada bagian di atas kepala, dan badan
terasa terayun maka rasa harus diikuti. Disinilah letak nikmat dari rasa yang
mulai naik sedetik demi sedetik dari bagian bawah punggung melalui susm-sum
terus naik ke kepala serta mendorong menundukkan kepala perlahan-lahan untuk
bersujud dan menatap ke bawah. Lalu ucapkanlah dalam batin Hyang Maha Suci
sujud Hyang Kudus tiga kali.
c) Setelah itu duduk kembali dan masih tetap dalam keadaan tenang,
setelah badan terasa terayun lagi, maka rasa yang menanjak itu diikuti sebagai
semula. Tetapi ketika kepala menatap ke bawah, ucapkan kesalahane Hyang Maha
Suci nyuwon nagpuro yang Maha Kuasa, di dalam batin, maksudnya kesalahannya
Yang Maha Suci mohon ampun Yang Maha Kuasa, diucapkan tiga kali.
d) Kemudian duduk kembali dengan hening(tenang) seperti semula,
setelah badan terasa terayun lagi, maka rasa mulai memanjat ke kepaladiikuti
lagi kemudian waktu kepala menatap ke bawah ucapkan lagi di dalam batin tiga
kali Hyang Maha Suci mertobat Hyang Maha Kuasa, artinya Yang Maha Suci mohon
taubat Yang Maha Kuasa. Setelah itu duduk lagi seperti biasa, tenang sementara,
maka selasailah satu sujud yang merupakan sujud dasar.
Menurut paham Sapta Darma setiap warga Sapta Darma yang te;ah
melaksanakan sujud dasar akan memperoleh
sabda Tuhan untuk menolong sesama makhluk tanpa mengharapkan upah apapun juga.
Sabda Tuhan tidak boleh diperjual belikan, barang siapa melanggarnya maka ia
akan menerima hukuman Tuhan. Jadi mereka yang telah menerima Sabda Tuhan dapat
mempergunakannya untuk mengobati orang sakit. Jika yang sakit adalah wanita
maka yang menolongnya hendaknya juga wanita, begitu pula pasien pria adalah
ditolong oleh pria, dan jika pasien
orang tua hendaknya orang tua juga kecuali dalam keadaan terpaksa. Cara
pengobatan tersebut dinamakan “Sabda Waras” dan hendaknya tetap terjaga yang
susila.[18]
e.
Hening dan
Racut
Hening adalah perilaku menenangkan badan seluruhnya dengan
menghilangkan semua angan-angan pikiran. Untuk sesuatu maksud yang boleh
dilakukan sebelum melakukan sujud dasar. Maksud hening misalnya untuk :[19]
1)
Melihat atau
mengetahui keadaan keluarga yang jauh atau untuk melihat segala sesuatu yang
tidak dapat dilihat dengan mata jasmani
2)
Murwakani,
yaitu meneliti ucapan dan tindakan sebelum dilakukan
3)
Mengirim dan
menerima telegram rasa
Hening itu dapat dilakukan dengan mata terbuka atau tertutup ketika
sewaktu-waktu diperlukan. Sebaiknya dimulai dengan mengucap dalam batin ”Allah
Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rahim, Allah Hyang Maha Adil”. Maka berarti
datanglah yang dimaksudkan. Hening seperti ini dapat dilaksanakan dalam
berbagai keadaan.
Racut, adalah memisah rasa dengan pengrasa (angan-angan) dengan
tujuan berlatih menghadap Yang Maha Suci terhadap Yang Maha Kuasa. Tetapi Racut
itu harus didahului dengan melakukan sujud dasar ditambah dengan membungkuk
satu kali sam bail mengucapkan :
“Hyang Maha Suci Sowan Hyang Maha Kuwasa (Yang Maha Suci menghadap
Yang Maha Kuasa” setelah mengucapkan itu harus melakukan “Sedakep Saluku Tunggal” dan berbaring membujur ke Timur. Sedekep
Saluku Tunggal artinya meletakkan kedua telapak tangan ke atas tulang tangkar
kedua rususk dadabaris ketiga dari atas, jari tengah kanan terletak diatas jari
tengah kiri. Kemudian hening melihat dengan rasa di Satria Utama. Ditunjukkan
di atas ubun-ubun dari mana wujud keluarnya Nur
Roh Suci untuk menghadap Hyang Maha Kuasa.
f.
Olah rasa dan
semadi
Olah rasa adalah suatu cara untuk mencapai budi luhur yang harus
dimiliki setiap Satria Utama, yaitu mereka yang ingin senantiasa waspada penuh
“waskita” bijaksana dan melihat, mendengar, atau berkata ataupun mencium
sesuatu bau. Dilakukan setelah selesai sujud dasar, lalu berbaring seperti
Racut, kemudian kedua tangan diletakkan terlentang di kanan kiri badan. Pakaian
yang terasa kencang dikendorkan agar tidak mengganggu jalannya rasa. Badan
terlentang lemas, anagan-angan dan pikiran dikosongkan, lalu dirasakan jalannya
rasa itu mulau dari ibu jari kaki ke atas samapi terasa di seluruh badan.
Begitu pula jalannya darah dan denyut jantung.
Ke luar masuknya nafas agar benar-benar dirasakan senikmatnya,
sehingga merata ke sel-sel seluruh badan, jika sudah nikmat betul jalannya
nafas, telah dirasa terpisahnya Nafas, Nafas Tengah dan Nafas Bawah. Setelah
rasa terkumpul di kepala atau ubun-ubun seterusnya dapat diarahkan apada
tujuannya, misalnya untuk kewaspadaan mendengar diarahkan ke telingan, waspada
melihat ke mata yang dapat dilakukan sewaktu-waktu. Tetapi untuk menghilangkan
rasa lemah digunakan “tukar hawa” dengan cara tidur berbaring seperti olah raga
dengan mengosongkan pikiran dan anagan-angan dengan membiarkan jalannya nafas.
Suatu hal yang hendaknya berhati-hati bahwa manusia itu mempunyai
dua belas saudara, janganlah hendaknya kedua belas saudara itu atau salah satu
dari padanya dapat menguasai seseorang dikuasainya bisa kelihatan seperti
“orang gila” atau motah”. Kedua belas saudara manusia itu ialah :[20]
1.
Hyang Maha Suci 7. Suko Roso Kentjono
2.
Premono 8. Mayangkoro
3.
Endro 9. Gandarwarodjo (Sukmo Seno)
4.
Bromo 10.
Nogotahun (Sukmo Nogo)
5.
Bayu 11.
Djatingarang (Sukmo Djati)
6.
Suko roso 12. Bagendo
Kilir (Sukmo Roso)
Jadi di dalam ajaran Sapta Darma dilakukan pula seperti Semadi yang
khusus, yang dilakukan setelah Sujud Dasar Caranya ialah sesudah melakukan
Sujud Dasar, pikiran dipusatkan dan rasa dipindahkan pada kedua belah tangan
dengan ucapan “Njaluk Gerake Bagindo
Kilir” (meminta geranya Bagindo Kilir)berkenan mengobati.
Semadi khusus ini dilakukan di ruangan “Sanggar” yang dijaga oleh
seorang Panintun. Tata cara ini berbahaya jika sampai terjadi motah atau gila,
karena penyelewengan di antara mereka. Untuk itu perlu diatur semacam
perkenalan dengan kedua belas saudara itu satu persatu melalui Semadi. Yang
bertindak sebagai panuntun adalah pimpinan pengurus Sapta Darma.[21]
3.
Agama Jawa Asli
Republik Indonesia
a.
Latar belakang
berdirinya
Aliran kepercayaan ini bernama agama djawa asli Republik Indonesia
(ADARI) dari pendirinya adalah S.W Mangunwidjojo yang juga disebut ‘Djowowulu’
dan kemudian berganti nama ki Mangunwasito. Ia dilahirkan di Surakarta tahun
1892, berpendidikan sekolah rakyat dan sejak tahun 1922 bekerja di bengkel
djawatan kereta api di pengok Yokyakarta sampai masa pensiunnya. Ia pernah
masuk menjadi anggota Barisan Semedi Republik Indonesia (BASRI) yang dipimpin
Ki Cokrowardoyo pendiri laskarv rakyat Kasunanan dan Mangkunegaran pada masa
revolusi. Pada tanggal 1 Agustus 1946 pernah bertapa di Pesareyan (makam)
Paku Buwono IX dialmogiri. Pada waktu itu ia mendapat ilham tentang ajarannya.[22]
Ketika Yokyakarta diduduki
Belanda (Nica) ia ditahan Belanda sebulan lamanya. Setelah Yokyakarta kembali
ke tangan Republik Indonesia ia ditahan Corps Polisi Militer (CPM) selama 6
bulan dan dalam tahanan di penjara Wirogunan Yogyakarta ia memperoleh ajaran
tentang ‘Manunggaling Kawulo Gusti’ yaiti bersatu dengan Tuhan atau
Tuhan menitis pada diri seseorang.[23]
Menurut Ki Manguwasito
setelah runtuhnya Majapahit orang memasuki Islam, sewaktu penjajahan Jepang
orang tunduk kepada Tenno Heika an sekarang setelah kemerdekaan kita harus
memeluk agama Jawa asli.
b.
Nabi ADARI dan
tujuannya
Menurut ajaran ADARI Gusti Yang Maha Esa telah manunggal menjadi
satu dalam diri Bung Karno Presiden Republik Indonesia ketika itu, Bung Karno
adalah Titisan Gusti Yang Maha Esa, yang berarti bahwa Bung Karno adalah
titisan Tuhan dan sama dengan Tuhan., maka apa yang dikatakan dan lakukannya
adalah tidak lain sebagai kata dan perbuatan Tuhan. Pancasila dan semua
peraturan pemerintah Republi Indonesia sama dengan aturan Tuhan dan merupakan
kitab agama bagi ADARI. Walaupun Bung Karno sendiri menolak dianggap sebagai
Nabi (Harian Kedaulatan Rakyat 22 April 1959).[24]
Atas penolakan Bung Karno tersebut Ki Mangunwasito selaku pimpinan
pusat ADARI mengemukakan alasannya mengapa ADARI menganggap Bung Karno sebagai
Nabi, karena beliau memproklamasikan Kemerdekaan Rakyat Indonesia dan
menciptakan Pancasila. Jadi Bung Karno adalah ‘Hyang Wasesa Ning Tunggal’.
Tetapi ternyata ADARI tidak mengumpulkan dalil-dalil Nabinya Sukarno.
Tujuan ADARI adalah melaksanakan Pancasila, Kebebasan, Keadilan
Sosial, Ketuhanan Yang Maha Esa dan mempertinggi kebudayaan Indonesia (Jawa
Asli), yang dalam pelaksanannya :[25]
1)
Tidak menganut
salah satu ideologi politik
2) Ajaran Kebatinannya menuju Ketuhanan Yang Maha Esa yang asli dan
kesempurnaan hidup.
3) Mengadakan perkawinan sendiri, yang caranya harus ada persetujuan
antara calon mempelai pria dan wanita dengan mufakat dari wali kedua pihak,
disaksikan oleh pimpinan ADARI setempat dan diberikan sutar keterangan kawin
dengan membayar Rp 8.50.
4) Setiap hari Ahad mengadakan selamatan yang disebut Rasulan,
5)
Tidak menarik
Iuran (Kami Kartapradja, 1990: 171).
Bahwa lebih lanjut dikemukakan pengertian ajaran ‘Jawa Asli’
bukankah suatu hal yang pokok, bukan pula nama ilmu atau nama organisasi,
tetapi sekedar titik tolak ajarannya, yang terlepas dari ajaran kitab-kitab Al-Qur’an, injil dan
Taurat dan tidak pula mengambil dari kitab-kitab yang ada. Begitu juga do’a
atau mantera-mantera bukan bersumber dari kitab-kitab tersebut. Kesemua
ajarannya diberikan dengan lisan dan ibadahnya bukan bersendikan agama,
melainkan mengutamakan kebaktian kepada ‘Pengeran Pribadi’ (Tuhan Dirinya).[26]
c.
Keanggotaanya
dan Kegiatannya
Bagi seseorang yang akan masuk menjadi anggota ADARI harus terlebih
dulu membersihkan diri dengan berpuasa tujuh hari, setelah itu barulah
kepadanya diberikan pelajaran seperlunya. Seseorang yang telah membersihkan
diri itu akan lebih mudah bertemu dengan Pengeran Pribadi (Tuhan).
Ketika perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah
Republik Indonesia Ki Mangunwasito alias Djoyowulu pernah kirim surat kepada
Presiden Republik Indonesia yang mengatakan bahwa ia selalu melakukan ‘tapa
brata kungkum’, yaitu tapa dengan berendam diri di kali Opak setiap ‘selapan
dina’ (35 hari) sekali dan para anggota pengikutnya diperintahkan melakukan
‘tirakat puasa mutih’ yaitu hanya makan nasi saja dan meminta kepada
tuhan agar:[27]
1)
Tuhan Yang Maha
Esa melindungi tentara kita,
2)
Tuhan Yang Maha
Esa member bimbingan yang baik kepada pemimpin-pemimpin kita,
3)
Tuhan Yang Maha Esa lekas memasukkan Irian
Barat ke wilayah Republik Indonesia,
4)
Tuhan Yang Maha
Esa menghancurkan koruptor-koruptor,
5)
Pemberontak-pemberontak
mendapat hukuman yang setimpal
6)
Pemerintah
Republik Indonesia lekas membuat undang-undang Perkawinan
7)
Pemerintah
mengakui ADARI sebagai agama seperti agama-agama yang lain.
Para anggota ADARI dalam melakukan kegiatan keagamaan sehari-hari
ialah dengan cara duduk mengheningkan cipta, setiap pagi menghadap kea rah
Timur, siang ke atas, sore ke Barat dan malam semadi.[28]
Jika menghadiri acara perkawinan atau acara lainnya, para anggota
memakai pakaian serba hitam. Hari Raya bagi ADARI adalah tanggal 1 Syura, yaitu
‘tanggap warsa’ (Tahun Baru) dan tanggal 17 Pasa (Ramadhan) dianggap
hari kemerdekaan karena tanggal 17 Agustus 1945 jatuh bertepatan dengan tanggal
17 Pasa 1876 H.[29]
BAB III
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan
1.
Aliran
kepercayaan menurut M. As’ad El Hafidy, ialah suatu paham dogmatis, terjalin
dengan adat istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa yang masih
terbelakang. Pokok kepercayaannya, apa saja adat hidup nenk moyangnya sepanjang
masa.
2.
Latar belakang
munculnya aliran-aliran kepercayaan ditandai dengan masuknya Islam tarekat,
politik adu domba, dan zaman kemerdekaan.
3.
Sebab-sebab
munculnya aliran-aliran kepercayaan
a.
Karena salah
terima
b.
Mencampur aduk
faktor-faktor penting yang diambil dari sumber-sumber pelajaran agama
c.
Sengaja
mengadakan aliran-aliran baru dalam kepercayaan
d.
Ingin
memasyhurkan namanya
e.
Bermaksud
menenangkan jiwa
f.
keuntungan
kekayaan pribadi
g.
Beranggapan
bahwa “bunyi UUD 1945 pasal 18 ” adalah kesempatan untuk menjelmakan
aliran-aliran baru dalam kepercayaan.
4. macam- macam aliran-aliran kepercayaan.
a. Agama Baha’i
b. Agama Sapta Dharma
c. Agama Jawa Asli Republik
Indonesia
DAFTAR RUJUKAN
Badan Litbang
dan Diklat Kementrian Agama, Puslitbang Kehidupan Keagamaan. 2010. Aliran-Aliran Keagamaan Aktual di Indonesia.
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian
Agama
Hadikusuma,
Hilman. 1993. Antropologi Agama. Bandung
: PT. Citra Aditya Bakti
Permadi, K.
1992-1993. Pandangan Aliran Kepercayaan Terhadap Islam. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI. Direktorat Jendral
Kebudayaan. Direktorat Pembinaan
Penghayatan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Ritchard,
Evans. 1983. Teori-teori Tentang Agama Primitif. Yogyakarta: PLP2M
Mulder, Niels.
1984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta: PT Gramedia
[1] K. Permadi,
Pandangan Aliran Kepercayaan terhadap Islam (Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan RI. Direktorat Jendral Kebudayaan. Direktorat Pembinaan Penghayatan
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 1992-1994), hal. 8
[2] Ibid., hlm. 2
[3] Ibid., hlm. 3
[4] Hilman Hadi
Kusuma, Antropologi Agama, Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1993, hal.
85-86
[6] Ibid, hal.
86-89
[7] K. Permadi,
Pandangan Aliran Kepercayaan terhadap Islam (Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan RI. Direktorat Jendral Kebudayaan. Direktorat Pembinaan Penghayatan
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 1992-1994), hlm. 17-18
[8] Ibid., hlm. 18
[9]Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, Puslitbang Kehidupan
Keagamaan. Aliran-Aliran Keagamaan
Aktual di Indonesia, ( Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama).
hal. 210
[10] H. Hilman
Hadikusuma, Antropologi Agama, (PT. Citra Aditya Bakti, 1983). Hal, 99
[11]Ibid, 100
[12] Hilman,
Hadikusuma, Antropologi Agama bagian I, (Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 1993) hal. 111
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid, hal. 113
[16] Ibid, hal. 114
[17] Ibid, hal. 115
[18] Ibid
[19] Ibid. hal. 116
[20] Ibid , hal.
118
[21] Ibid, hal. 119
[22] Hadikusuma
Hilman, Antropologi Agama Bagian 1,Pt Citra Aditya Sakti, Bandung :
1993, hal. 119
[23] Ibid,.
[24] Hadikusuma
Hilman, Antropologi Agama Bagian 1,Pt Citra Aditya Sakti, Bandung :
1993, hal. 120
[25] Ibid,.
[26] Hadikusuma
Hilman, Antropologi Agama Bagian 1,Pt Citra Aditya Sakti, Bandung :
1993, hal. 121
[27] Ibid,.
[28] Hadikusuma
Hilman, Antropologi Agama Bagian 1,Pt Citra Aditya Sakti, Bandung :
1993, hal. 121
[29] Ibid,.
wahhh.................buruk sekali makala anda ini............ koreksi kembali lah ya...
BalasHapusbagus, saya sendiri juga penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Rahayu 3X
BalasHapusWong jowo Bali Jowone...
BalasHapusJawa..JAya ing jiWA.., Wong Jawa Bali Jawane..
BalasHapus